Dimuat di Republika, 30 Oktober 2012
Dahulu, Kotagede adalah ibukota Kerajaan Mataram Islam. Kini, kecamatan di Yogyakarta yang dikenal sebagai daerah penghasil kerajinan perak ini menjadi saksi bisu perjalanan panjang kerajaan Islam tertua di Jawa.
Kerajaan ini memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan agama Islam di Nusantara. Pada masa kejayaannya, Mataram Islam sempat menguasai daerah di seluruh Jawa hingga Madura, kecuali Banten dan Batavia, lalu menciptakan kebudayaan bercorak Islam di tanah Jawa.

Dinasti Mataram Islam bermula ketika Ki Ageng Pemanahan berhasil membangun Alas Mentaok. Semakin lama, daerah itu semakin ramai dan akhirnya terbentuklah Kerajaan Mataram Islam. Saat Ki Ageng Pemanahan wafat, kedudukannya digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya yang terkenal dengan sebutan Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Ketika sudah menjadi raja, dia mendapat gelar Panembahan Senopati.
Pasar Legi

Pasar inilah yang membuat Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati) dijuluki Pangeran Ngabehi Loring Pasar (pangeran yang tinggal di sebelah utara pasar). Pasar yang sudah beroperasi sejak raja itu memerintah di Mataram (1582-1601), hingga kini masih aktif. Meskipun bangunannya sudah direnovasi berkali-kali, letak pasar ini tidak berubah sejak ratusan tahun yang lalu.
Masjid Agung Kotagede

Sekitar 100 m dari Pasar Legi, terdapat kompleks makam raja-raja yang dahulu pernah memerintah di Mataram. Di halaman kompleks terdapat sebuah pohon beringin yang sangat besar. Konon, pohon beringin yang disebut Wringin Sepuh itu ditanam oleh Sunan Kalijaga.
Untuk memasuki area Masjid Agung Kotagede, saya melewati gapura berwarna merah bata. Sesampainya di halaman masjid terlihat prasasti berwarna hijau, dengan tinggi 3 m. Bagian bawah prasasti berbentuk bujur sangkar dan salah satu sisinya dilengkapi jam. Prasasti ini dibuat sebagai pertanda bahwa Paku Buwono X pernah merenovasi masjid.

Masjid Agung Kotagede dibangun pada 1640-an. Pembuatannya melalui dua tahap. Tahap pertama, Sultan Agung membangun bagian inti masjid dengan tiang yang terbuat dari kayu . Raja itu juga membangun tembok pada bagian kiri halaman, menggunakan perekat berupa air aren yang dapat mengeras dan menyatu, sehingga tembok tersebut lebih kuat. Tahap kedua, Paku Buwono X, membangun bagian serambi masjid menggunakan tiang yang terbuat dari besi.
Bagian inti masjid merupakan bangunan khas Jawa dengan ciri-ciri atap yang berbentuk limas. Masjid ini dikelilingi parit yang dahulu digunakan sebagai saluran pembuangan air dari tempat wudhu. Kini, parit tersebut sudah dipasangi keramik di seluruh permukaannya, dan digunakan untuk memelihara ikan. Untuk memudahkan orang yang akan melakukan sholat, di atas parit tersebut dibuat jembatan kecil.

Bagian depan masjid ini berwarna hijau dan putih, tetapi bagian serambi berwarna cokelat. Pada bagian langit-langitnya terpasang lampu-lampu antik khas perabotan zaman dahulu. Beduk yang ada di serambi masjid ini juga berusia ratusan tahun. Hingga saat ini, masjid dan beduk tua yang bersejarah ini masih aktif digunakan.
Pintu menuju bagian dalam masjid terbuat dari kayu. Bagian atasnya dihiasi ukiran kaligrafi. Masjid ini dilengkapi mimbar kayu berhias ukiran yang sangat indah. Untuk menjaga keasliannya, mimbar berwarna cokelat tua yang sudah berusia ratusan tahun ini sudah tidak digunakan. Dahulu, Adipati Palembang menghadiahi mimbar ini ketika Sultan Agung datang sepulang dari menunaikan ibadah haji.
Seluruh dinding masjid sudah direnovasi. Namun, ada sebidang dinding yang ditutup oleh pigura kaca. Dinding yang terbuat dari batu bata tanpa ditutup semen itu adalah dinding asli masjid yang sengaja disisakan.
Makam Raja-Raja
Makam raja-raja yang pernah berkuasa di Mataram berada di kompleks yang sama dengan Masjid Agung Kotagede. Untuk mencapai makam tersebut, saya berjalan kembali melewati beberapa gapura. Makam ini berisi 81 makam raja dan keturunannya, yang seluruhnya terbuat dari marmer. Pada hari tertentu diadakan pengajian rutin untuk mendo’akan arwah para raja.
Dengan tarif Rp. 20.000/orang, pengunjung dapat memasuki area makam. Pada saat memasuki makam, pengunjung diharuskan memakai pakaian tradisional yang dapat disewa dengan harga Rp. 10.000/orang. Tempat ini hanya dibuka pada hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jum’at pukul 08.00-16.00 wib. Selama berada di dalam area makam, pengunjung tidak diperkenankan mengambil gambar dalam bentuk apapun.
Tempat Pemandian

Sendang Seliran atau tempat pemandian yang ada di kompleks itu terbagi atas pemandian untuk laki-laki (Sendang Kakung) dan untuk perempuan (Sendang Putri). Pada Sendang Kakung terdapat sumur tua yang dahulu digunakan oleh Panembahan Senopati untuk berwudhu. Di dekatnya terlihat sebuah tempat duduk dari batu. Konon, ketika terjadi kemarau panjang, Panembahan Senopati tidak mendapatkan air untuk berwudhu. Kemudian raja itu memanjatkan do’a kepada Allah secara khusyuk sambil duduk di batu itu. Seketika, keluarlah air dari bawah batu tersebut.
Watu Padasan

Setelah keluar dari kompleks, beberapa ratus meter ke selatan terdapat sebuah rumah berukuran 3×3 m. Saya menghubungi juru kunci untuk dapat melihat-lihat ke dalam. Di sebelah kanan pintu masuk terdapat gentong yang disebut Watu Padasan. Gentong setinggi 80 cm ini digunakan untuk berwudhu oleh Ki Juru Martani (adik sepupu sekaligus ipar Ki Ageng Pamanahan).
Watu Gatheng

Di sebelah kiri terdapat tiga buah batu besar berwarna kuning. Batu itu adalah mainan Raden Rangga, putra Panembahan Senopati. Konon, Raden Rangga memiliki kekuatan yang lebih dari manusia biasa sehingga bisa memainkan Watu Gatheng dengan cara melempar-lemparnya, meskipun batu itu sangat berat.
Watu Gilang

Singgasana yang disebut Watu Gilang ini berada di bagian tengah ruangan. Bentuknya berupa batu bujur sangkar berwarna hitam, berukuran 2 meter dengan tinggi 30 cm. Di salah satu sisi batu itu terdapat cekungan bekas dahi Ki Ageng Mangir. Dia adalah pemberontak Mataram. Ketika Ki Ageng Mangir menghadap, Panembahan Senopati langsung membenturkan kepala si pemberontak ke singgasananya.
Reruntuhan Benteng
Panembahan Senopati yang bijaksana membangun cepuri (benteng yang mengelilingi keraton) dan baluwarti (benteng yang mengelilingi kota seluas 200 ha). Benteng cepuri ini tidak simetris. Pada bagian tenggara, cepuri agak membulat dan membentuk sudut tumpul. Bentuk ini membuat para penduduk menjulukinya sebagai Bokong Semar. Sisa-sisa cepuri Bokong Semar masih bisa disaksikan hingga saat ini.
Untuk mencapai Kotagede, kita harus datang ke Yogyakarta melalui jalan udara atau darat. Dari bandara Adi Sutjipto, Kotagede dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat atau roda dua ke arah selatan, dalam waktu kurang dari satu jam.
Tips selama menyusuri Kotagede:
· Selalu menjaga kesopanan sebab masyarakat di sana sangat menjunjung tinggi sopan santun, bahkan terhadap raja yang sudah meninggal.
· Meskipun tidak dipungut biaya resmi, sediakan sejumlah uang untuk dimasukkan ke dalam kotak uang yang telah disediakan.
Leave a Reply