• Home
  • About
  • Contact
  • Portfolio
  • Secret!

Nunik Utami

Menulis adalah Merekam Jejak untuk Anak Cucu

  • Artikel
    • Beauty
    • Events
    • Fashion
    • Healthy
    • Tips
  • Finance
  • Parenting
  • Review
    • Book
    • Food
    • Film
    • Hotel
    • Place
    • Product
  • Travel
    • Indonesia
    • Malaysia
    • Thailand
    • Singapore
  • Working
    • Writer
    • Editor
    • Blogger
    • Trainer
  • Story
    • Cerpen
    • Dongeng
  • Savana Hijab
    • Hijab Tutorial
  • Dewangga Publisher
You are here: Home / Artikel / Kisah dari Satu Dekade Lampau

Kisah dari Satu Dekade Lampau

June 27, 2025 Nunik Utami Leave a Comment

Suatu pagi, bus TransJakarta yang saya tumpangi melintas di jalan yang ramai, di Jakarta. Sebuah mobil box berjalan tepat di samping bus. Saya membaca tulisan di badan mobil itu. JNE – Express Accros Nation. Senyum saya langsung mengembang.

Setiap melihat armada JNE, ingatan saya melayang pada kejadian lebih dari sepuluh tahun lalu. Masa ketika saya membuktikan bahwa slogan JNE “Melayani dengan Hati” bukan sekadar slogan, tapi benar-benar diterapkan dengan baik. Pada saat itu, saya mengalami kejadian mendebarkan yang membuktikan bahwa sesuatu yang datang dari hati, akan sampai pula ke hati.

Saat itu saya masih bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan makanan. Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 500 karyawan. Atasan saya adalah seorang perempuan dengan jabatan direktur utama. Namanya, sebut saja, Ibu Anna. Layaknya sekretaris pada umumnya, saya membantu Bu Anna, terkait pekerjaan di perusahaan ini.

Dahulu, pekerjaan sehari-hari saya memastikan semua keperluan Bu Anna terpenuhi.

Tugas saya adalah mengurus surat menyurat, memesan tiket penerbangan dan akomodasi saat Bu Anna melakukan perjalanan dinas, membantu divisi lain untuk mendapatkan tanda tangan Bu Anna, dan sederet pekerjaan lain yang lazim dilakukan oleh sekretaris.

Suatu hari, Bu Anna akan melakukan perjalanan dinas ke Yogyakarta lalu lanjut ke Australia. Seperti biasa, saya menyiapkan dokumen yang diperlukan. Semua hal saya pastikan beres. Tiket perjalanan, hotel tempat menginap, transportasi di lokasi, saya siapkan sejak awal.

Berhubung Bu Anna melakukan perjalanan sekaligus ke dua tempat, saya harus lebih hati-hati menyiapkan dokumennya. Jangan sampai ada dokumen yang belum disiapkan. Jangan sampai juga dokumen tertukar atau salah menentukan tanggal. Ini perjalanan orang penting, untuk tujuan menyejahterakan para karyawan yang tak kalah penting. Ya, di balik perjalanan dinas seorang direktur, ada ratusan karyawan yang pasti juga menginginkan perjalanan dinas itu lancar, karena ini untuk kepentingan bersama. Kepentingan keluarga besar perusahaan.

Hari Selasa, Bu Anna berangkat. Saya merasa lega karena semua keperluannya sudah beres. Jadi nanti di Yogyakarta dan Australia, Bu Anna bisa rapat bersama klien dengan tenang. Bu Anna baru akan kembali ke kantor (di Jakarta), pertengahan minggu depan.

Setelah Bu Anna berangkat, saya mengerjakan pekerjaan seperti biasa. Satu hari setelah keberangkatan Bu Anna, tiba-tiba Pak Surya, manager HRD, datang ke ruangan saya. Pak Surya meminta tolong saya menyampaikan surat kepada Bu Anna, untuk ditandatangani. Katanya, itu adalah surat persetujuan direktur yang ditujukan pada bank, untuk mencairkan uang gaji karyawan.

Hah? Saya terkesiap. Surat persetujuan pencairan gaji? Saya pikir Pak Surya sudah langsung meminta pada Bu Anna sejak minggu kemarin. Sebab, Bu Anna ada jadwal perjalanan ke luar kota dan luar negeri pada minggu ini

Kadang-kadang Pak Surya memang langsung menghadap Bu Anna untuk minta tanda tangan. Tidak melalui saya. Sekarang Bu Anna tidak ada di tempat, sementara tanda tangan itu harus didapat secepat mungkin agar para karyawan bisa menerima gaji tepat waktu.

Saat itu belum masuk era digital. Semua hal masih dilakukan secara manual. Begitu juga pemberian gaji karyawan. Setiap menjelang akhir bulan, Manager HRD harus meminta Bu Anna menandatangani dokumen. Dokumen itu menjadi syarat agar dapat meminta pihak bank untuk mencairkan gaji para karyawan.

Bagaimana ini? Kalau tanda tangan itu tidak segera didapat, ada 500 karyawan yang haknya tertunda. Sementara, mereka semua membutuhkan biaya hidup yang tidak bisa ditunda. Hidup terus berjalan. Uang hasil jerih payah mereka selama sebulan, harus segera ditunaikan.

Belum lagi, di balik 500 karyawan, ada keluarga yang mengandalkan penghasilan mereka. Ada istri (atau suami) dan anak-anak mereka yang menggantungkan hidup. Itu berarti mungkin ada 1.000 atau lebih jiwa yang menunggu uang itu, untuk biaya melanjutkan hidup.

Saya terdiam sesaat. Setelah berhasil mencerna keadaan, otak saya berputar cepat mencari solusi. Pak Surya tak kalah terkejutnya. Kalau sampai gajian terlambat, dia bisa merugikan para karyawan dan dihujat banyak orang. Performa kerjanya pun bisa dipertanyakan oleh pihak perusahaan, termasuk oleh Bu Anna.

Ini hari Rabu pagi. Bu Anna sudah berada di Yogyakarta. Kamis siang, Bu Anna harus bertolak ke Australia. Sementara, persetujuan ke bank hanya bisa dilakukan pada hari dan jam kerja. Itu berarti Pak Surya sudah harus mendapatkan tanda tangan Bu Anna, paling lambat lusa, Jumat pagi. Kalau tidak, berarti kami baru bisa memproses pencairan bank, pertengahan minggu depan, menunggu Bu Anna kembali ke Jakarta. Tentu saja itu sudah sangat terlambat. Ini tidak bisa diterima. Lagi pula, terlambat memberikan gaji karyawan, tidak ada di dalam kamus perusahaan kami,

Pak Surya tercekat. Tangannya memegang dokumen dengan gemetar. Saya menelan ludah yang terasa pahit. Gawat! Berarti dokumen yang sekarang masih ada di tangan Pak Surya, harus sampai di tangan Bu Anna, besok pagi, di Yogyakarta, sebelum Bu Anna berangkat ke Australia. Kalau dokumen itu sampai ketika Bu Anna sudah telanjur berangkat ke Australia, risikonya akan sama saja dengan kalau Pak Surya baru mendapatkan tanda tangan Bu Anna setelah beliau kembali ke Jakarta.

Sekarang yang bisa saya bantu untuk Pak Surya adalah mencari agen pengiriman dokumen yang bisa sampai secepat kilat. Kalau perlu, dalam hitungan detik, dokumen itu harus sudah berada di tangan Bu Anna dan dikembalikan lagi secepatnya ke Pak Surya. Namun, di zaman yang masih manual tersebut, tanda tangan digital belum lazim digunakan. Dokumen fisik tetap harus dikirim.

Saya langsung ingat JNE. Agen pengiriman ini punya layanan Yakin Esok Sampai (YES), yaitu pengiriman yang bisa sampai esok harinya. Dengan jantung berdebar kencang, saya membantu Pak Surya menyiapkan dokumen yang harus dikirim ke Bu Anna. Menjelang siang, saya dan Pak Surya menuju agen JNE terdekat untuk mengirimkan dokumen itu. Kami sangat berharap dokumen tersebut benar-benar sudah sampai esok, hari Kamis pagi, seperti janji JNE.

Setelah ditandatangani oleh Bu Anna, dokumen itu harus langsung dikirim kembali ke Pak Surya. Masalahnya, siapa yang akan mengirim dokumen itu kembali? Siapa yang akan mengantar dokumen itu ke agen JNE yang paling dekat dengan posisi Bu Anna di Yogyakarta? Dengan kepala pening, saya datangi saja dahulu agen JNE dekat kantor.

Saya dan Pak Surya berkonsultasi dengan pihak JNE. Ternyata kurir yang nanti akan membawa dokumen kepada Bu Anna, bisa dimintai tolong membawa dokumen itu kembali ke agen JNE dan mengurus pengirimannya langsung ke kami.

Masya Allah! Alhamdulillah! Saya dan Pak Surya merasa lega. Betapa kagumnya saya pada JNE. JNE dan seluruh personal bagian-bagiannya memang sat set. Mereka sudah punya sistem yang sangat memudahkan pelanggan. Mereka punya jalan yang melegakan bagi kami yang sedang kepepet seperti ini. Mereka melesat tanpa batas.

Saya pun langsung membayar biaya pengiriman, sekaligus biaya kirim balik dokumen itu. Setelahnya, saya pasrahkan semua pada kinerja JNE.

Hari Kamis pagi, saya sulit fokus bekerja. Pikiran saya terus ke dokumen yang sedang dikirim. Apakah JNE bisa menepati janji akan mengirim tepat pada esok hari (yaitu hari ini)? Apakah kami bisa membayar gaji tepat waktu? Apa yang akan terjadi kalau JNE terlambat mengirim? Ah, kalau ini terjadi, sia-sialah saya dan Pak Surya gigih mencari solusi dalam mengirim dokumen ke Bu Anna.

Saya berkali-kali memeriksa ponsel, harap-harap cemas menanti kabar dari Bu Anna. Jantung ini dag dig dug tak karuan. Akhirnya, menjelang siang, tepat sebelum berangkat ke bandara, Bu Anna memberi kabar. Katanya, dokumen itu sudah sampai di tangannya, sudah ditandatangani, dan sudah dikirim kembali melalui kurir yang tadi mengantar.

Saya mengucap syukur tak terhingga. Setidaknya, tujuan kami sudah 80 persen berhasil. Tinggallah saya dan Pak Surya berdebar-debar menanti dokumen itu sampai di kantor.

Ternyata JNE kembali menepati janji. Jumat pagi, dokumen itu sampai di kantor. Saya sendiri yang menerima. Betapa lega hati kami saat itu. Kalau tidak malu karena sedang di kantor, mungkin saya bisa menangis saking terharunya. Bahkan saya lihat mata Pak Surya juga sudah berkaca-kaca. #JNE benar-benar #ConnectingHappiness

Kerja para personal JNE yang serba sat set membuat saya sulit berkata-kata.

Manager HRD itu cepat-cepat pergi menyerahkan dokumen itu ke bank, agar pihak bank bisa mengirimkan gaji karyawan. Saya tetap berada di kantor dan bekerja seperti biasa, dengan perasaan tak menentu.  Sorenya, saya bisa tersenyum lebar. Sebab, saldo di rekening saya sudah bertambah. Itu artinya kami sudah menerima gaji. Kami berhasil mengirim gaji karyawan, tepat waktu.

Wajah Pak Surya sepanjang sisa jam kerja hari itu, semakin ceria. Saya dan Pak Surya menjadi saksi bahwa JNE menjadi bagian penting dalam perjalanan kami menunaikan kewajiban kepada karyawan. Apalah artinya kinerja kami di kantor tanpa bantuan JNE yang begitu sat set?

Sepanjang perjalanan di bus TransJakarta ini, saya melamun. Pandangan saya tak lepas-lepas dari mobil box berlogo JNE. Tanpa sadar, saya melambaikan tangan pada mobil itu. Mengingat kejadian yang sudah berlalu lebih dari satu dekade itu, hati saya menghangat kembali.

JNE sudah membantu saya dan Pak Surya menyelamatkan kehidupan banyak orang. JNE berhasil membantu kami memberikan hak pada ratusan karyawan plus keluarganya, tepat waktu. JNE bergerak sat set penuh perhitungan agar segalanya berjalan lancar. JNE bukan robot pengantar pesan, tapi hati yang sedang mengantar cinta.

Detik itu juga – dan sampai detik ini – saya percaya, segala sesuatu yang datangnya dari hati, pasti akan sampai pula ke hati.

#JNE #ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025 #JNEInspirasiTanpaBatas

Artikel, Opinion

About Nunik Utami

Penulis, Editor, Trainer Penulisan, Mommy.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Search Here

Welcome

Penulis, Editor, Trainer Penulisan, Mommy. More…

  • Email
  • Facebook
  • Instagram
  • LinkedIn
  • Twitter

Archive

Follow Instagram @nunikutami

Part of

 Blogger Perempuan
PRchecker.info

Lets Eat

Tag

batik bayi tabung belanja online bisnis bitcoin blog budaya buku cerpen crypto entrepreneur fashion film financial planner finansial gadget hijab hotel indonesia investasi jalan-jalan jawa tengah jilbab kerudung kesehatan keuangan kosmetik kripto kuliner lombok makanan enak menerbitkan buku menulis buku mobil musik otomotif parenting pashmina penulis properti seni teknologi traveling UMKM voucher diskon

Posting Terbaru

  • Inspirasi dari BSI Expo 2025 dalam Membangun Diri dan Mewujudkan Mimpi
  • Kisah dari Satu Dekade Lampau
  • AmarthaFin dan Celengan Amartha, Investasi Aman yang Bikin Hidup Lebih Tenang
  • Jalani Prosedur Program Bayi Tabung Bersama dokter Indra Anwar
  • Cara Menjaga Kesehatan Mata bagi Editor Buku agar Tetap Produktif

Komentar Terbaru

  • Novi Anggraini on [TERBIT ULANG] KETIKA BUNGA BICARA
  • bisot on 7 Manfaat Game Kuliner bagi Anak-anak dan Tips Bermain yang Sehat
  • bisot on 7 Bagian Motor yang Harus Dicek Saat Service Motor Matic, Perempuan Wajib Tahu
  • Firdaus Saputra on Arky Gilang Wahab, Pelopor Konversi Limbah Organik untuk Ketahanan Pangan
  • Risalah on Tips Menciptakan Rumah Ideal yang Aman dan Nyaman
Copyright © 2025 Nunik Utami · Part of Blogger Perempuan. built on the Genesis