Kalau ditanya lebih mudah mana, menulis naskah buku atau blog? Jawaban saya adalah ….
Jadi, gini. Saya menulis blog sejak 2005. Pada saat itu tujuan utama saya membuat blog adalah untuk belajar membuat tulisan liputan. Isi blog saya ya liputan hal-hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Temanya random banget. Sekali waktu saya nulis tentang pasar pagi kagetan yang hanya ada di Minggu pagi, kali lain saya nulis curhatan tentang jalanan macet yang tiap hari saya lewati saat berangkat dan pulang dari kantor, besoknya saya nulis tentang makanan. Nggak penting banget, sih, tapi, saya merasa nyaman.
Nulis blog itu santai dan terserah saya. Maksudnya, kita bisa bebas menggunakan gaya bahasa apa pun yang cocok dengan kita. Bisa menggunakan kata aku-kamu, saya-kamu, bahkan, lo-gue. Satu-satunya “beban” menulis blog adalah, informasinya harus akurat. Misalnya, kalau nulis tentang Asemka, lokasinya kan, di kawasan Kota, jadi kita ngasih info angkutan umumnya ya yang jurusan ke Kota. Jangan sampai salah.
Setahun kemudian, di sebuah grup khusus blogger ada lomba nulis cerita anak. Saya ikutan dan dapat juara 2. Sejak itulah beberapa penerbit minta saya nulis buku. Akhirnya saya keasyikan nulis buku dan nulis blog-nya agak terpinggirkan dulu. Saat tekun nulis buku inilah saya merasakan banget bahwa nulis naskah untuk buku dan nulis naskah blog itu beda banget. Seratus delapan puluh derajat!
Nulis naskah buku itu harus mikirin kaidah-kaidah kepenulisan. Gaya bahasanya harus disesuaikan dengan pembaca. Kalau nulis buku buat anak-anak ya bahasanya harus bisa dimengerti anak. Jadi, saya harus membayangkan, kalimat-kalimat yang saya buat kira-kira dimengerti anak-anak atau nggak. Begitu juga jika menulis naskah buku untuk remaja. Nggak mungkin kan, kalimat untuk bacaan remaja dibikin ala anak-anak?
Susunan kalimat juga harus diperhatikan. SPOK yang saya pelajari waktu sekolah dan sempat jadi momok para pelajar sekaligus diangggap sepele, saat nulis naskah buku harus diperhatikan banget. EYD (yang sekarang istilahnya diganti EBI) juga harus dikuasai banget. Bahasa baku, tidak baku, elipsis, tanda baca, semua harus dikuasai. Bukan cuma itu. Sebagai penulis, saya juga harus memahami gaya selingkung masing-masing penerbit. Beda penerbit, beda juga gaya selingkungnya. Kalau penulis nggak menguasai ini semua, bakalan stres karena editor akan ngacak-acak, minta revisi, komen ini itu, sampai saya menyelesaikan tulisan dengan baik. Satu hal lagi, gaya menulis kita akan dikenali sebagai ciri khas. Ini penting. Ironisnya, kalau nulis novel, saya disarankan untuk keluar dari diri sendiri, terutama saat menggarap tokoh dengan karakter tertentu.
Dari sini sudah kelihatan kan, ya, bahwa nulis naskah buku itu jauh lebih ribet, rumit, dan memerlukan ketekunan serta keseriusan. Nulis blog juga nggak bisa asal sih, tapi juga nggak “sesempurna” nulis buku.
Sampai sini kesimpulannya adalah, nulis buku jauh lebih sulit daripada nulis blog.
Eh, tunggu dulu!
Sekarang, coba kalau diminta ikutan lomba nulis.
Pertama kita bicarakan lomba nulis naskah buku atau cerpen, deh. Dengan berbekal ilmu kaidah-kaidah kepenulisan, saya sudah bisa sedikit menebak. Tulisan yang alurnya rapi, tanda bacanya betul, nggak ada yang typo, SPOK-nya diterapkan, Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)-nya oke banget, tulisan enak dibaca, dan semua persyaratan lomba terpenuhi, sudah pasti akan masuk hitungan juri. Setelah itu kita tinggal membidik sasaran melalui juri. Kalau jurinya adalah sastrawan, buatlah tulisan yang agak sastra, berbau filosofi, dan temanya dalam. Sebaliknya, kalau jurinya adalah penulis bacaan bergaya pop, buatlah tulisan yang gaul, kekinian, dan menggunakan bahasa lugas. Sampai sini kita sudah bisa memegang dua poin. Sisanya tinggal kerja keras, tekun, niat ikut lomba, dan faktor keberuntungan. Kalau semua sudah dikuasai, kesempatan untuk menang menjadi semakin besar.
Kedua, kita bicarakan lomba blog. Ciri khas tulisan ala blogger adalah jujur alias menulis secara apa adanya, sesuai dengan pengalaman. Penuhi dulu syarat ini. Lalu, tulisan rapi, enak dibaca, berbobot, serta informatif. Nah, sampai sini sudah tampak tantangannya, kan? Blogger harus cerdas dalam menuangkan tulisan, harus kreatif dalam menyampaikan isi tulisan, dan tulisan harus berisi. Kita bisa mengusahakan hal ini dengan cara memelajarinya. Sulit, tapi bisa dipelajari.
Coba perhatikan! Kalau lomba nulis naskah buku atau cerpen, kita bisa memelajari gaya selera para juri. Kalau nulis blog, mana bisa? Sebab, kebanyakan lomba blog kan diselenggarakan oleh brand. Kita bisa membidik dari segi ciri khas brand, tapi sangat sulit menebak selera juri. Kan, kita nggak tahu siapa jurinya. Ya, nggak?
Dari sinilah saya menyadari bahwa, bagi saya, memenangi lomba menulis buku atau cerpen itu sulit, tapi menjadi pemenang lomba menulis blog itu jauh lebih sulit.
Menurut kamu sendiri, bagaimana?
Maya Siswadi (bunda3f) says
Betool. Memenangkan lomba blog itu kesulitannya kita ga bisa nebak selera juri, karena orangnya bisa beda2
Nunik Utami says
Jadi mbidiknya sulit ya, Mbak 😀
endang cippy says
karena aku penikmat dan pembaca buku aktif.
jadi, menurutku.. menulis buku lbh sulit dibandingkan blog.
meriset bahan untuk tulisan lebih detail dan dituangkan ke dlm buku itu butuh perjuangan
dan aku sbg pembaca akan sgt2 menikmati ketika riset dr penulisnya terjalin dgn baik di dlm cerita. ini membuat uang yg aku keluarkan utk membeli buku tersebut tdk sia2 dan penilaian yg aku berikan pun sgt tinggi ?
iyoo..selikung tiap penerbit beda-beda hahaha
apapun bentuk tulisannya. di blog atau dituangkan ke dalam buku semuanya bisa dipelajari ?
yg penting : niat utk maju dan belajar ?
Nunik Utami says
Nulis blog juga harus riset dulu sih, Ndang. Tapi memang nggak seluas buku, karena nulis blog juga nggak sepanjang buku. Btw kamu nggak minat nulis buku? Referensi bacaanmu udah banyak banget 😀
endang cippy says
Gak berani Mba hahahaha
masih lari-lari dalam menuangkan alur cerita ?
perlu disiplin tinggi untuk melahirkan sebuah buku yang baik ?
Anisah Ku says
Kalau untuk mudahnya tentu Blog bisa menjadi pilihan. Sementara untuk penulis buku terbilang sangat – sangat susah. Bahasa Yang digunakan benar – benar harus jelas, sementara untuk blog sendiri bisa bebas, bahkan bahasa gaul pun boleh kita masukkan…
Dianisa says
kalau menurutku jelas lebih mudah di blog, soalnya kata – katanya bisa bebas,,, heheh
syuhada says
Kalau blogger tentu pendapatnya lebih mudah nulis blog. Bahasanya bisa lebih bebas, dan referensi lebih mudah.
Triani Retno A says
Nuniiiiik….ajarin dong cara ngeblog pake mesin ketiiiiik. ? ? #ngerusuh
Kalo aku bikin blog tahun 2009 karena disuruh sama Mas Benny. Disuruhnya sih dari tahun 2006 (semoga blio nggak mampir ke sini :D) Udah punya blog pun dianggurin aja karena keasikan nulis buku. Baru tahun 2014 dapat hidayah buat ngeblog.
Rancah Post says
Blog lah, bebas meski gak bebas banget, tapi setidaknya bisa mencurahkan lebih banyak dan lebih bebas dibanding menulis buku.
Teknolime says
Sebetulnya sama aja sih, gimana Mood dan juga skill dalam hal penulisan nya aja, tapi keren sih hehe