Masih ingat pada (alm) Mbah Maridjan? Sosok ini namanya mencuat bersamaan dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi tahun 2010 lalu. Mbah Maridjan adalah seorang juru kunci yang dipercaya untuk menjaga kelestarian alam di sekitar gunung api tersebut.
Gunung Merapi yang pada lereng sisi selatannya berada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, adalah salah satu gunung api paling aktif di Indonesia. Konon, gunung ini memiliki siklus erupsi dahsyat setiap seratus tahun sekali. Namun, pada kenyataannya, erupsi ini bisa terjadi kapan saja. Bahkan, ada pihak yang berpendapat bahwa erupsi gunung ini memiliki siklus empat tahunan.
Kini, daerah bekas aliran awan panas Gunung Merapi yang meletus pada 2010, dijadikan sebuah kawasan wisata yang disebut “Lava Tour”. Saat menyusuri sisa-sisa terjangan awan panas, saya menemukan banyak hal di luar batas pikiran manusia.
Desa Kinahrejo
Perjalanan dimulai dari Desa Kinahrejo. Desa ini terletak 4,5 km dari puncak Merapi. Selain menjadi desa terakhir, Kinahrejo juga merupakan pintu masuk menuju pendakian Merapi. Desa yang memiliki tujuh mata air ini semakin menarik wisatawan karena pihak Keraton Yogyakarta mengadakan Upacara Labuhan Merapi di sini setiap bulan Rajab.
Sampai di pintu masuk Desa Kinahrejo, saya disambut oleh spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang di Volcano Tour” dan spanduk penunjuk arah berbagai lokasi yang bisa didatangi. Di pintu masuk ini, seluruh kendaraan harus diparkir di tempat yang telah disediakan. Perjalanan dapat dilanjutkan dengan berjalan kaki, naik ojek, menyewa motor trail, atau menyewa mobil jip.
Sepanjang jalan menanjak menuju Desa Kinahrejo, saya disuguhi pemandangan berupa pohon dan tanaman hijau yang menyegarkan mata. Menurut pemandu wisata, tanaman-tanaman itu baru tumbuh tiga bulan yang lalu (saya mengunjungi desa ini pada September 2012). Sebelumnya, daerah itu sangat gersang akibat terjangan awan panas pada Oktober-November 2010.
Desa Kinahrejo yang fenomenal ini hanya menyisakan puing-puing yang berserakan. Dahulu, ada sebuah penginapan paling laris di Kinahrejo. Ada perasaan miris di hati saat menyaksikan penginapan tersebut sudah tidak berbentuk. Bagian sebelah kiri jalan yang dahulu dipadati rumah penduduk, kini sangat sepi. Yang ada tinggal ilalang-ilalang yang bergemeresak tertiup angin.
Konon, awan panas atau awan pyroclastic atau (menurut penduduk setempat disebut) wedus gembel itu bersuhu 600-1.000 derajat celcius. Bayangkan! Air mendidih yang “hanya” bersuhu 100 derajat celcius saja dapat merusak kehidupan, apalagi wedus gembel yang suhunya sampai 6-10 kali lipat! Sungguh, saya tidak dapat membayangkan keadaan seluruh desa ini saat tersapu wedus gembel. Kuasa Allah benar-benar di luar batas kemampuan berpikir manusia. Dan, tentu saja kedahsyatan ini hanya “seujung kuku” dari kebesaranNya.
Untuk mengenang para penduduk yang menjadi korban, dibuatlah sebuah monumen kecil yang memuat 39 nama penduduk yang menjadi korban wedus gembel tanggal 26 Oktober 2010.
Saya melempar pandangan ke arah ngarai Kaliadem. Di sana terhampar ratusan pohon akasia yang sangat subur. Menurut pemandu wisata, dahulu, yang tumbuh di tempat itu adalah pohon jati. Setelah erupsi Merapi terjadi, berbulan-bulan kemudian bukan pohon jati lagi yang tumbuh, melainkan pohon akasia. Tak ada seorang pun yang tahu penyebab jenis pohon yang tumbuh di sana bisa berubah. Saya sangat takjub mendengar cerita ini.
Berada di tempat ini membuat hati saya tergetar. Betapa nyata kebesaranNya. Sesuatu yang dalam pikiran manusia tidak mungkin terjadi, benar-benar terjadi di desa ini. Sesuatu yang tak terbayangkan, menjadi terbuktikan di tempat ini.
Bekas Rumah Mbah Maridjan
Pemandu wisata membawa saya menuju bekas rumah Mbah Maridjan. Lagi-lagi bulu kuduk saya meremang menyaksikan daerah ini. Rumah Mbah Maridjan dan rumah lain di sekitarnya telah rata dengan tanah. Di sebelah kanan berdiri sebuah cungkup beratap genteng. Cungkup itu adalah penanda bahwa di titik itulah tubuh Mbah Maridjan ditemukan sudah tidak bernyawa, dalam posisi bersujud dan seluruhnya tertutup debu tebal.
Sosok yang rajin beribadah itu mempertaruhkan hidupnya demi menjaga amanah yang diemban. Kabarnya, laki-laki sepuh itu ikut tersapu awan panas ketika sedang menjalankan sholat di atas sajadahnya, di dalam kamar. Mbah Maridjan menjadi satu di antara 37 korban yang tak sempat menyelamatkan diri ketika wedus gembel meluncur dengan kecepatan 60 km/jam dengan jarak luncuran sejauh 15 km.
Detik-detik Terjangan Wedus Gembel
Tepat di sebelah kanan bekas rumah Mbah Maridjan, terdapat spanduk yang berisi kisah tentang detik-detik mencekam saat awan pyroclastic meluluhlantakkan desa itu. Di situ diceritakan bahwa pada saat awan panas mulai menyembur, dua orang relawan dengan sekuat tenaga membantu penduduk untuk mengungsi. Sayangnya, hanya ada satu kendaraan yang dapat digunakan untuk mengevakuasi warga. Dan ketika belum semua warga terevakuasi, dua relawan berikut mobil tersebut ikut tersapu awan panas, tepat di depan rumah Mbah Maridjan.
Masjid Al-Amin
Masjid yang letaknya hanya 100 m dari rumah Mbah Maridjan ini sempat mendapat mukjizat dariNya. Ketika awan panas menghancurkan bangunan-bangunan di sekitarnya pada 26 Oktober 2010, masjid ini masih utuh. Bahkan, barang-barang yang ada di dalamnya, termasuk sebuah Al-Qur’an, hanya tertimbun pasir dan tidak rusak sedikit pun. Kenyataan ini membuat saya tercengang. Secara akal pikiran manusia, hal ini tidak mungkin terjadi. Tapi, kalau Allah berkehendak, sekali ucapan kun fayakun, maka segalanya bisa terjadi. Ketika wedus gembel menerjang lagi pada 5 November 2010 barulah masjid ini rata dengan tanah.
Menara Pandang dan Gamelan
Setahun setelah erupsi terjadi, para penduduk mendapatkan pemasukan dari wisatawan yang berkunjung ke desa-desa di kawasan yang terkena awan panas serta aliran lahar. Mereka tidak berminat pindah dari lereng Merapi karena muntahan lahar membawa mineral yang membuat lahan menjadi subur dan menghidupi para penduduk.
Saat ini di area dekat bekas rumah Mbah Maridjan dibangun menara pandang. Hanya dengan Rp. 2.000 (untuk naik ke menara pandang) dan Rp. 5.000 (untuk menyewa keker), para pengunjung dapat melihat area yang diterjang awan panas dari ketinggian.
Satu lagi, tepat di depan cungkup Mbah Maridjan terdapat seperangkat gamelan milik juru kunci Gunung Merapi itu. Gamelan-gamelan tersebut ditemukan dalam keadaan tertimbun material dan abu vulkanik. Ketika digali dan dibersihkan lagi, kondisinya sudah berkarat di beberapa bagian. Alat-alat musik tradisional itu dipajang tepat di tempat benda-benda itu ditemukan.
Bekas Kali Opak dan Watu Tumpeng
Dahulu, di belakang rumah Mbah Maridjan terdapat Kali Opak (Sungai Opak) yang airnya mengalir sepanjang 19 km dengan hulu sungai berada di Gunung Merapi. Kini, Kali Opak sudah penuh dengan material berupa pasir dan bebatuan yang membuat sungai ini tampak seperti daratan. Bahkan, di bagian tengah sungai ini terdapat sebuah batu berukuran sangat besar yang terbawa ketika Merapi memuntahkan isi perutnya. Karena bentuknya yang kerucut, penduduk setempat menyebutnya dengan nama Watu Tumpeng (Batu Tumpeng).
Bunker Kaliadem
Dusun Kaliadem terletak 1-2 km di sebelah barat Desa Kinahrejo. Di dusun ini terdapat sebuah bunker yang digunakan sebagai tempat berlindung dari lahar. Sayangnya, bunker ini hanya dapat melindungi dari lahar dingin. Sehingga, pada 2006, dua orang mahasiswa UII yang masuk untuk berlindung dari awan panas, justru terperangkap dan tewas di dalam bunker.
Rumah Bukti Kebesaran Illahi
Di dusun ini juga terdapat sebuah rumah yang menjadi saksi bisu dahsyatnya aliran awan panas. Saat wedus gembel turun dari Merapi pada 5 November 2010 dini hari, rumah yang masih berisi barang-barang dan hewan ternak ini ditinggalkan oleh penghuninya untuk mengungsi. Kini, jam dinding yang tetap dibiarkan berada di tempatnya, seakan bercerita tentang kekuatan di luar kuasa manusia yang sanggup memporak-porandakan kawasan besar dalam waktu yang sangat singkat.
Selain barang-barang yang hangus, ada juga tulang-tulang ternak yang dagingnya telah habis terpanggang. Melihat sisa-sisa tulang ini, hati saya serasa teriris. Ngeri!
Naik apa? Habis Berapa?
• Untuk menuju Kaliadem, dari Jakarta dapat ditempuh dengan naik pesawat (dengan tarif Rp. 400 ribu-800 ribu/orang), travel (Rp. 150 ribu-180 ribu/orang pada low season atau Rp. 400 ribu pada high season), atau kendaraan pribadi menuju Yogyakarta.
• Dari Yogyakarta ke Kaliadem dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi, melalui Ring Road Utara dan terus ke arah utara, dalam waktu ± 1 jam perjalanan hingga ke gerbang masuk Desa Kinahrejo.
Dari gerbang Desa Kinahrejo ada beberapa pilihan untuk melanjutkan perjalanan, yaitu:
• Berjalan kaki, jika kuat berjalan berkilo-kilometer (hanya sampai batas akhir Desa Kinahrejo)
• Naik ojek seharga Rp. 20 ribu (napak tilas sampai bekas rumah Mbah Maridjan),
• Menyewa motor trail seharga Rp. 50 ribu (dapat mengunjungi hingga lokasi bunker)
• Menyewa mobil jip seharga Rp. 250 ribu (sopir akan mengantar sampai ke timbunan material vulkanik yang tidak dapat dilewati oleh kendaraan biasa).
Tips untuk mengunjungi Desa Kinahrejo dan sekitarnya:
• Selalu mengenakan masker karena debu tebal dan pasir masih bertebaran di sepanjang jalan.
• Apabila memilih rute napak tilas yang agak jauh, membawa bekal minuman dan makanan kecil akan membantu mengganjal perut karena penjual makanan dan minuman di lokasi tersebut masih sedikit.
• Membeli souvenir yang dijajakan di tempat tersebut akan sangat membantu penduduk desa dalam membangun kembali kehidupannya.
Tetty Hermawati says
Kepingin banget mak, jalan-jalan ke tempat ‘bersejarah’ ky gini. Subhanalloh yang cerita ttg Al-Qur’an, besi aja habis terbakar, Al-Qur’an tetap terlindungi. Saya masih punya balita Mak, jadi belum bisa ke tempat wisata yang jauh-jauh deh.
Salam kenal. 🙂
Nunik Utami says
Iya, menakjubkan banget, ya. Banyak hal di luar akal sehat manusia. Apalagi kalau bisa menyentuh secara langsung. Rasanya beda banget. Nanti kalau balitanya udah agak besar, bisa sekalian ngenalin tempat yang kayak gini. Dia pasti senang. Salam kenal juga ya, Mbak Tetty 🙂
Noorma says
Emaakk,,, kapan yaa aku ke sana,. Horor ga si mak di sana?
Nunik Utami says
Nggak horor, Mak. Apalagi erupsinya udah lama gini. Udah 5 tahun berlalu. Asal jangan pas lagi mau meletus :). Semoga suatu saat bisa ke sana, ya.
Noorma says
Oiya mak, hehe..
Padahal Semarang Jogja lumayan deket ya mak.. Hihihi
Nunik Utami says
Iya. Hehehe
Indah Juli says
Aku udah tinggal di Yogya, malah belum sempat-sempat ke Merapi ini 🙁
Anak-anak yang sudah bolak balik, karena enggak begitu jauh dari rumah.
Nunik Utami says
Kapan-kapan bareng yuk, Mbak. Aku penasaran sama Ketep Pass. Hehehe
Vhoy Syazwana says
Saya udah pernah kesana pasca erupsi Mbak. Indah sekali pemandangannya sekaligus miris membayangkan kedahsyatan erupsinya.
Nunik Utami says
Menakjubkan ya, Mbak. Kita miris sekaligus terharu sekaligus tercengang melihat fenomena alam kayak gini.
asuransi jiwa astra life says
Mantaps 😀
fanny fristhika nila says
aku blm prnh ikutan turnya, tapi prnh dtg kesana setahun setelah merapi meletus… Serem mbaaa 🙁 Ampe merinding ngeliat kondisinya yg bnr2 masih fresh akibat terjangan wedus gembel… Apalagi ngeliat mobil motor dan hewan2 yg kepanggang itu.. ya ampuun, ga kebayang diterjang awan sepanas itu 🙁
Nunik Utami says
Euugghh betul bangeett. Mau menjelajah juga clingak clinguk dulu ya takut masih ada api bekas gunung meletus yang masih nyala. Hehehhe lebay sih, tapi memang masih ada rasa takut.
Adi pradana says
Subhanallah, mari kita terus bersyukur kpd Allah, masih diberi umur panjang…
aneka aksesoris wanita says
Mantaps 😀
Fita Chakra says
Merinding nggak, Nik?
Nunik Utami says
Ya gitu deh, Fit. Merinding!
Sivia says
Aku jg pengen ksna tp…bert di ongks nyak…Padang-Yogja kan jauh bingits..
Nunik Utami says
Kita kebalikan, ya. Aku pengin ke Padang belum kesampaian. Semoga suatu saat Mbak Silvia bisa ke Yogya dan aku ke Padang, ya. Aamiin 😀
Kota yang dilalui garis khatulistiwa says
wow, kebetula lagi di jogya.. thankss ya reviewnyaaa. lagi bingung nih mau kemana.. tercerahkan berkat ini.. 😀
perawatan wajah berminyak says
Mantap tercerahkan berkat ini 😀
adde says
Pernah kessana beuuhhh g bisa ngebayangin gmn pas kjadian nya liat motor mobil pda kbakara kaya gitu..apa lg pas liat sungai yg penuh dgn batu2an ..;jdi pngen ksana lagi..
Faisal says
Terima kasih info yg sangat inspiratif
william says
terima kasih infonya. bisa menambah iman nih dan juga bahan perenungan
kasihberita says
jadi mengingatkan kematian agar bisa beramal baik masih di dunia, terimkasih infonya
Lintang Sunu says
Tadi siang saya lihat ke sana, tempatnya sudah tertata rapih. Sudah ada pendopo, ada petilasan Mbah Marijan yang dipasang keramik, dll.
Nunik Utami says
Alhamdulillaah… Kepengen ke sana lagi suatu saat nanti 🙂