Saat ini sedang “musim” UKK atau Ujian Kenaikan Kelas. Mama mana yang tidak ikut-ikutan cemas menghadapi UKK? Malah, yang terjadi adalah, para mama jauh lebih cemas daripada anak yang menghadapi UKK.
Saya termasuk satu dari sekian banyaknya mama yang cemas ketika anak menghadapi UKK. Bahkan, kecemasan ini sudah menjadi beban tersendiri. Beberapa minggu menjelang UKK, saya sudah uring-uringan. Duh, sudah mau UKK tapi Mas Rexy belum mencicil pelajaran sedikit pun. Sedangkan, materi yang harus dikuasai nggak tanggung-tanggung, ada 4 buku tematik! Belum lagi pelajaran lainnya.

Sebenarnya, perlukah kita cemas?
Kalau lagi “sadar” saya juga tahu, kecemasan itu nggak perlu. Jalani saja semua sesuai jadwal, dengan perasaan tenang.
Lalu, kalau anak malas belajar, gimana?
Mas Rexy termasuk anak yang nyaris nggak pernah belajar. Sebenarnya saya nggak suka anak tipe begini. Sebab, sejak kecil orangtua saya sudah menanamkan sistem belajar yang benar-benar tekun.
Sepulang sekolah, mengulang materi yang tadi diajarkan di sekolah. Malamnya, mempelajari materi yang besok akan diajarkan. Jadi, kalau keesokan harinya guru mengajarkan materi itu, kita sudah tahu duluan dan tinggal diperdalam.
Saya sangat menikmati sistem belajar seperti itu.
Ternyata, sistem seperti itu tidak bisa saya terapkan ke Mas Rexy. Materi zaman saya sekolah dulu tidak terlalu berat dibandingkan beban materi yang harus dikuasai anak zaman sekarang. Apalagi, mata pelajaran di sekolah swasta sangat banyak.
Jangankan belajar untuk materi besok, wong kalau pulang sekolah saja wajah Mas Rexy sudah tampak capek banget. Saya nggak mau lagi membebani Mas Rexy dengan belajar di rumah. Saya juga ingin Mas Rexy menikmati masa kanak-kanak dengan puas bermain.

Untuk mensiasatinya, saya pesankan ke Mas Rexy bahwa ketika guru memberikan materi di sekolah, Mas Rexy harus benar-benar menyimak. Dengan begitu, dia tidak harus selalu belajar di rumah. Paling hanya membaca ulang, itu pun sangat jarang. Kalau ada yang benar-benar tidak mengerti atau butuh latihan lagi, barulah materi ini diperdalam di rumah. Matematika, misalnya. Ini pun saya lakukan kalau ujian saja.
Kalau nggak pernah belajar, nilainya jelek, dong?
Inilah kecemasan utama saya. Saat ulangan harian pun Rexy nggak pernah belajar. Tapi, saya lega. Nilai ulangan hariannya berkisar antara 75-100. Kalaupun ada nilai ulangan yang di bawah itu (60 misalnya), ternyata teman-teman di kelasnya justru mendapatkan nilai di bawah 60.

Wah, hilanglah sebagian rasa cemas saya. Tidak pernah belajar tapi nilai ulangannya bisa segitu, sudah merupakan prestasi besar.
Setelah dipikir-pikir, orangtua seperti saya memang kebanyakan cemas. Kita sering menganggap bahwa anak belum bisa melakukan ini itu, belum mampu mengerjakan ini itu. Padahal, anak tinggal diberi kepercayaan saja.
Salah seorang teman memberi saran, biarlah anak rileks. Jangan dibebani bahwa ujian adalah sesuatu yang berat. Jangan selalu diingatkan bahwa ujian adalah sesuatu yang menakutkan. Nanti malah jadi momok bagi mereka. Bahkan, bisa-bisa mereka malah ngeri melihat wajah kita. Seakan-akan wajah kita adalah hantu paling mengerikan bernama ujian.

Kelegaan saya bertambah setelah mendengar saran ini. Akhirnya, saya berusaha tidak terlalu mengejar-ngejar Mas Rexy lagi untuk terus menerus belajar, seperti sedang mengejar tawanan perang.
Kebutuhan dia hanya kepercayaan dari saya. Percaya bahwa dia bisa menghadapi ujian dengan baik. Percaya bahwa kemampuannya sudah di atas rata-rata. Tugas saya hanya mengarahkan. Bukan memaksa. Apalagi “meneror”.
Kecemasan saya yang berlebihan hanya akan membuatnya semakin antibelajar.

Saat ulangan harian berlangsung, saya malah memberinya beberapa novel untuk dibaca sebagai hiburan. Satu hari menjelang UKK, saya mengajaknya nonton film DVD. Ketika saya lebih santai membacakan buku pelajaran, Mas Rexy malah “ketagihan” diajak belajar. Sehingga, kalau saya belum juga mengajaknya belajar, dia akan bilang, “Ma, ayo belajar, dong!”
Wuah! Mama mana yang nggak bahagia banget kalau anaknya minta belajar?
Iya betul mak Nunik.
Biarkan anak rileks dan menikmati apa yang dia kerjakan sekarang.
Anak memang jangan terlalu banyak beban. Supaya menikmati masa mudanya.
Soon I will through this 🙂
Lagipula, kayaknya kalau dia enjoy, materi pun lebih gampang terserap, ya. Selamat menikmati, Lin. hehehe
Nice post, mba Nunik. Bener banget, anak harus diberi ruang dan waktu utk bermain ya, agar tak jenuh dengan tugas belajar melulu.
Jd ingat saat2 menyiasati kk Intan belajar dulu… Etapi, skrg jg kk Intan masih sering nyolek Uminya utk belajar bareng ih…, pdhl udh kuliah. Hehe
Malah senang ya kalau anak udah besar tapi masih mau belajar sama uminya. Jadi makin dekat. Hehehe
Kalau dipaksa sangat sulit, kalau dibawa santai malah enjoy…
Anak jaman sekarang .. beda banget ya…
#happy parenting 🙂
Kayaknya memang harus lebih santai ya, Bang. Anak-anak, gitu. Disuruh atau dipaksa, malah nggak mau.
Kalo kata Bu Elly Risman, anak-anak sekarang kebanyakan “beban” pelajaran di sekolah. Belum lagi kalo dikasih kursus ini itu. Terlalu kuat dikekang, begitu lepas kayak kuda liar. Hiks. Naudzubillah, jangan sampe.
Ya Allah, serem banget. Dilema juga, ya. Zaman menuntut mereka untuk bisa ini itu untuk bekal dewasa nanti. Tapi kalau harus belajar ini itu, kasian anaknya.
wah mbak anaknya heebat..
ibunya juga hebat
gak banyak ibu yang ‘membebaskan’ anaknya untuk bermain, seringkali malah sebaliknya.. disuruh belajar terus
Kasihan kalau disuruh belajar terus. Kan, di sekolah juga sudah belajar, dari pagi sampai sore 😀