Yogyakarta. Kota berjuta rasa bagi setiap orang. Yup, siapa yang nggak suka kota Yogyakarta? Semua orang selalu ingin ke sini, terutama untuk berlibur.
Berbeda dengan saya. Yogyakarta bukan sekadar tempat berlibur, tapi tempat untuk pulang. Saya yang lahir di kota ini, tentu sejak kecil punya ikatan batin yang lebih daripada yang dirasakan orang lain yang sekadar ingin kembali lagi untuk berlibur.
Di Yogya ada banyak saudara. Ada adiknya Bapak, sepupunya Bapak, bude saya, bulik, para sepupu, dan masih banyak lagi. Jadi, ketika pulang ke Yogya, saya bukan sekadar berlibur, tapi memang benar-benar pulang ke rumah.
Living Berbeda dengan Traveling
November tahun lalu, saya memutuskan kembali lagi ke Yogyakarta. Kali ini niat saya berbeda dari sebelumnya. Biasanya, kalau pulang ke Yogya, saya hanya menginap selama beberapa hari. Paling lama hanya sebulan. Biasanya pun niatnya hanya pulang kampung.
Nah, saat ini, niat saya adalah benar-benar tinggal di Yogyakarta. Memang, belum semua barang saya pindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Saya masih menyusun strategi dan menimbang-nimbang, kota mana yang lebih nyaman untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Pertimbangan saya, pada saat itu sedang tidak banyak pekerjaan yang bisa saya lakukan di Jakarta. Kalaupun ada pekerjaan, bisa dikerjakan secara jarak jauh. Sementara, di Yogya, saya bisa memulai usaha baru atau mengembangkan usaha lama yang pernah berjalan.
Jadi, ketika memutuskan pindah (kadang-kadang saya menyebutnya tinggal sementara) ke Yogyakarta, saya benar-benar living. Bukan traveling. Kedua istilah ini tentu saja sangat berbeda.
Living, karena saya memang benar-benar hidup di Yogya. Saya tinggal di Yogya dan menjalani kehidupan sehari-hari layaknya penduduk setempat. Sementara, traveling, menurut saya hanya berlibur sesaat di kota ini.
Merangkul Perajin UMKM
Ketika sampai di Yogya, agenda utama saya bukan mengunjungi tempat-tempat wisata. Saya justru mencari peluang usaha. Di kota ini banyak perajin yang tekun dan hasil produksinya berkualitas tinggi.
Setiap hari saya pergi ke tempat-tempat para perajin. Saya berniat mendatangi mereka satu per satu dan melakukan penjajakan serta kemungkinan membuka usaha bersama.
Baru satu perajin yang saya datangi, ternyata sudah berjodoh. Sebut saja Mas A. Mas A adalah perajin batik. Sebelum pandemi, batik-batik itu biasa dipasarkan di Jakarta, di sebuah gerai batik terkenal. Saya tahu persis, harga batik di gerai besar itu harganya fantastis.
Sayangnya usahanya tergerus pandemi. Batik-batik di gerai terkenal itu sepi pembeli. Padahal Mas A sudah telanjur mengeluarkan biaya produksi dan membayar para penjahit.
Mas A setuju bekerja sama dengan saya. Saya bisa memproduksi batik di workshop-nya, dengan harga jauh di bawah harga produksi biasanya. Saya juga bisa memilih motif serta kualitas kain batik untuk dijadikan pakaian batik yang saya inginkan.
Akhirnya, usaha batik pun mulai berjalan. Saya memilih kain batik, lalu mengarahkan para penjahitnya untuk “menyulap” kain tersebut menjadi dres, tunik, blus, atau rok batik yang cantik.
Kegiatan sehari-hari saya di Yogya adalah sesekali datang ke workshop untuk melihat para penjahit bekerja, mengarahkan para pekerja untuk bisa mengirim barang, dan mengajarinya untuk terbiasa mendapatkan pesanan secara online.
Satu penjahit berhasil saya rangkul. Lalu, saya mblusuk-mblusuk ke berbagai tempat di Yogya untuk mencari tambahan penjahit. Setiap mendapatkan info penjahit, saya langsung mendatangi lokasinya. Saya ingin melihat sendiri cara kerja mereka dan untuk memastikan bahwa mereka bisa diajak bekerja sama.
Tidak jarang para penjahit itu setuju bekerja sama, tetapi ketika saya akan mulai menjalankan usaha, mereka mandeg. Sampai sekarang, ada empat penjahit yang sudah bisa saya ajak kerja sama dengan lancar.
Transfer Antar Bank Gratis
Lama kelamaan para penjahit itu sudah tidak perlu saya cek lagi pekerjaannya. Mereka sudah hafal keinginan saya dan alur pekerjaan yang harus dilakukan. Pekerja yang lain pun sudah lihai mengirim barang dan menerima pesanan batik melalui online.
Bekerja sama dengan berbagai pihak membuat saya harus mentransfer uang beberapa kali dalam sehari. Sayangnya tidak semua penjahit menggunakan rekening bank yang sama. Transfer ke bank yang berbeda kan, ada biaya adminnya. Kalau dalam sehari harus melakukan 10 kali transfer antar bank, berapa biaya admin yang harus saya keluarkan setiap bulan, coba? Saya jadi boros banget dalam hal ini.
Eh, untung saya “mengeluhkan” hal ini ke adik saya. Dia yang memberi tahu saya bahwa ada aplikasi transfer uang yang bisa transfer antar bank tanpa biaya admin. Namanya aplikasi Flip.
Cihuy! Saya bisa berhemat, dong! Saya langsung tanya adik saya lebih lanjut dan minta diajarkan cara pakai Flip.
Saya langsung instal aplikasinya dan mulai membuka akun Flip. Saya juga langsung menggunakan aplikasi itu untuk transfer uang ke para vendor. Caranya mudah banget.
Cukup tiga langkah, instal aplikasi, isi data, transaksi. Nggak pakai ribet.
Penasaran dengan Flip, saya cari dong, website-nya. Jadi, Flip adalah aplikasi untuk melakukan transfer antar bank tanpa biaya. Saya baru tahu bahwa sampai saat ini Flip sudah membantu masyarakat Indonesia menghemat biaya transfer bank sebesar miliaran rupiah! Wow banget, ya!
Begini cara kerja Flip. Kita transfer uang ke Flip dulu, lalu Flip yang akan mentransfer uang tersebut ke bank yang dituju. Jadi Flip itu semacam jembatan antara bank kita dengan bank yang dituju.
Saya nyaman banget pakai Flip. Uang saya nggak habis hanya untuk biaya transfer bank. Sejak pakai Flip, saya sudah bisa hemat ratusan ribu rupiah. Banyak, kan?
Kamu, gimana? Sudah pakai Flip?
Sejak pandemi, apalagi usaha offline mengalami penurunan, berapun biayanya pasti jadi sorotan, salah satunya dengan biaya tranfer… Bahkan yang biayanya hanya 6 ribu per transaksi, kalo dihitung misalnya untuk beli bahan saja 10x bisa berlipat biaya yang dikeluarkan.
Makanya jadi kepikiran buat make flip, kemarin saja ada yang tranfer karena ada keluarganya yang isoman tranfer ke rek pakai aplikasi lain biayanya bisa sampai 13.500. Makanya bener juga kalo harus pakai flip.
Tengkiu infonya ya mbak…btw sdh lama gak ke Jogja…Jogja memang selalu dihati…