Kalau kita mau menerbitkan buku, bayar nggak, sih?
Sampai saat ini masih banyak teman yang tanya seperti itu ke saya. Saya agak sulit menjawabnya, karena saat ini ada dua jenis penerbit, yaitu penerbit mayor dan indie. Jadi, bayar atau tidaknya, tergantung, kamu nerbitkan buku di mana?
Nah, timbul lagi deh, pertanyaan. Apa itu penerbit mayor? Apa bedanya antara penerbit indie dengan penerbit mayor?
Kalau begitu, sekalian aja saya jelaskan melalui tulisan ini, ya.
Penerbit Mayor
Ini penerbit besar. Punya modal besar juga untuk melakukan penerbitan. Tim yang bekerja di dalamnya juga banyak, terdiri atas editor, lay outer, ilustrator, bagian marketing, dan distribusi. Naskah yang masuk akan diedit dengan ketat, baik isi, tata bahasa, dan gaya penulisan. Naskah juga akan dibuatkan ilustrasinya. Setelah itu baru masuk lay out, cetak, lalu didistribusikan ke jaringan toko buku yang bekerja sama dengan penerbit ini.
Oh ya, buku yang diterbitkan di penerbit mayor sudah pasti ada ISBN-nya. International Standard Book Number (ISBN) adalah kode identifikasi buku. Kode ini terdiri atas 13 digit angka. Semua informasi buku seperti judul, nama penulis, nama penerbit, dan tahun terbit, tercantum dalam ISBN. Jadi, satu buku hanya punya satu ISBN dan ISBN buku yang satu akan berbeda dengan buku yang lain.
Untuk menerbitkan satu judul buku, ibaratnya penerbit sudah mengeluarkan modal. Mereka menanggung semua biaya sejak proses awal hingga buku terpajang di toko. Tahun 2012 salah satu editor dari sebuah penerbit cerita ke saya bahwa untuk menerbitkan satu judul buku saja mereka harus mengeluarkan modal hingga Rp30juta. Sekarang sudah pasti lebih dari itu. Besar juga, ya?
Berhubung harus mengeluarkan modal sebegitu besarnya, sebelum menerbitkan sebuah buku, penerbit juga harus mempertimbangkan berbagai aspek. Editor akan menyeleksi tulisan. Tentu saja tulisan yang dipilih adalah yang bagus, unik, dan dari segi marketing, tulisan harus “menjual”. Untuk itu, editor akan bekerja sama dengan bagian marketing. Desain cover berikut warna, gambar, dan font yang dipilih, benar-benar diperhatikan agar menarik minat pembeli. Nggak heran ya kalau editor akan menyeleksi ketat semua tulisan yang masuk. Para editor ini punya insting yang kuat naskah tersebut bagus atau tidak, menjual atau tidak, hanya dengan membaca beberapa kalimat atau beberapa halaman awal naskah. Kalau bagian awal langsung dirasa “kurang” naskah itu sudah pasti ditolak.
Penerbit mayor menerima naskah puluhan hingga ratusan judul dalam sehari. Tentu saja mereka tidak bisa menerbitkan semuanya. Penerbit punya jatah menerbitkan, misalnya satu bulan hanya beberapa naskah. Bisa dibayangkan kan, gimana sulitnya penulis menembus seleksi penerbit?
Di penerbit mayor, penulis hanya bertugas menulis dan mengirimkan hasil tulisannya ke penerbit. Penulis sama sekali tidak dibebankan biaya. Nanti, setelah bukunya terbit, penulis malah akan mendapat royalti. Biasanya 10% dari harga buku dan dipotong pajak 15%.
Penulis akan dapat bukti terbit. Biasanya lima hingga 10 eksemplar. Gratis.
Sampai di sini sudah kebayang tentang penerbit mayor kan, ya?

Penerbit Indie
Sesuai namanya, ini adalah penerbit independen. Untuk menerbitkan naskah di penerbit ini, nggak perlu diseleksi. Semua orang bisa kasih naskah untuk diterbitkan. Penerbit indie juga punya editor dan lay outer. Naskah yang masuk akan diedit ringan. Mereka hanya memeriksa kesalahan typo atau tanda bahasa yang standar, tetapi tidak ikut mengubah isi.
Untuk memakai jasa editor dan lay outer tentu saja ada biayanya. Penulis juga akan dibebankan biaya cetak. Di sinilah terkesan bahwa menulis buku di penerbit indie, harus bayar. Belakangan ada juga lho, penerbit indie yang sama sekali nggak memungut biaya.
Buku yang terbit melalui penerbit indie belum tentu ada ISBN-nya. Kalau mau pakai ISBN bisa juga. Tinggal bilang ke penerbitnya. Untuk urusan yang ini, penerbit kan perlu ngurus ISBN, ya. Penerbit perlu memberikan beberapa eksemplar bukunya untuk contoh, sebagai syarat pembuatan ISBN. Di sini, penerbit perlu biaya untuk mencetak bukunya. Nah, biaya untuk mencetak buku tersebut, dibebankan ke penulis. Hal ini juga memberi kesan bahwa menulis buku di penerbit indie, perlu biaya.
Peraturan dari setiap penerbit indie, berbeda-beda. Ada penerbit indie yang menawarkan paket. Misalnya, cetak sekian eksemplar, biayanya sekian. Benefitnya, buku akan dipajang di web selama sekian hari. Ada penerbit yang tidak memberikan sistem paket tapi memberi syarat jumlah minimal pemesanan. Ada juga yang tetap melayani pemesanan/pencetakan meskipun hanya satu eksemplar.
Masalah distribusi, penulis yang bukunya terbit di penerbit indie harus lebih berjuang daripada penulis buku penerbit mayor. Sebab, penerbit indie tidak mendistribusikan bukunya ke toko. Biasanya mereka hanya akan memajang covernya di web penerbit. Itu pun biasanya hanya beberapa waktu. Wajar dong, soalnya banyak buku yang terbit di penerbit indie, jadi display-nya harus bergantian.
Berbeda dengan penulis buku di penerbit mayor yang bukunya mudah didapat di toko buku terdekat, penulis buku penerbit indie harus melakukan usaha ekstra agar bukunya bisa dikenal atau didapat. Biasanya penulis akan membuka pemesanan atau pre order (PO).
Royalti, dapat juga, dong. Besarnya tergantung kesepakatan antara penulis dengan penerbit atau sesuai peraturan yang sudah ditetapkan oleh penerbit.
Oh ya, untuk mendapatkan bukti terbit, penulis bisa membelinya ke penerbit. Penulis tidak mendapat secara gratis, karena penerbit juga harus mencetak dahulu bukunya. Tapi kadang-kadang kalau yang memesan adalah penulisnya langsung, dapat harga khusus penulis.
Gimana? Sudah tahu bedanya penerbit mayor dan indie, kan?
Ada yang ingin menambahkan?
Semoga bisa nembus ke pernerbit mayor.. aminnn allahuma amin..
Terima kasih infonya..
Semakin paham, semakin mengerti, semoga bisa segera mbuntuti Mbak Nunik, yang naskahnya bisa tembus penerbit mayor.
Aku penulis pemula. Aku mulai menulis awal 2015 sampai sekarang. Karya tulisanku sudah berjumlah 14 judul baik fiksi mau pun non fiksi. Tapi baru beberapa naskah yang aku kiri, ke penerbit tahun ini. Tapi sempat di gantung. terus gimana cara mencari penerbit yang meyakinkan.
Saya lebih memilih penerbit mayor untuk beberapa buku saya. Ada seleksi naskah yang membuat saya merasa naskah saya memang layak terbit dan diterima pasar.
Makasihhhh banyak tehh ini penjelasan paling mudah dipahami, makasih ya teh.. semangat
Gimana sih caranya agar kita yakin tulisan kita layak terbit di Penerbit Mayor?
Mantap blogger perempuan.. Salam Dari Semarang
Bismillah semoga cerita saya bisa terbit di penerbit mayor. Terimakasih kak ini sangat membantu saya untuk memahaminya☺️
Aamiin. Semangat, yaa. Kabar2i kalau sudah terbit ya
Hallo kak, aku mau nanya dong. Kalau kita kirim ke penerbit mayor bener bener nggak dibebani pembayaran apapun?
Bener banget. Saat kirim, gratis. Nanti kalau naskah kita diterbitkan, kita justru dapat royalti yang besarnya tergantung besar presentase royalti dan jumlah buku yang terjual. Makanya untuk bisa diterbitkan, seleksinya sangat ketat, karena penerbit akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Terima kasih mbak Nunik informasi nya Sampai saat ini saya masih belajar. Belum berani mengajukan tulisan ke penerbit mayor, jadi baru sebatas di penerbit indie. Mudah2an bisa menjadi penulis seperti mbak Nunik, dan saya juga baru belajar menjadi blogger. Salam kenal
Bener ulasannya Mb Nunik, lengkap 🙂
Dulu kami pernah mengerjakan layout bukunya Mb Nunik ya, diterbitin oleh Gramedia, judulnya lupa, hehe
Sukses selalu ya….
Iyaa, gimana kabarnya? Judulnya, Gue Bisa Jadi No 1 ya kalo gak salah?
Kak, kalau kita sudah terbitkan light novel dengan penerbit Indie, apakah kita bisa terbitkan juga buku yang sama ke penerbit mayor? Jadi ketika ada yang plagiat karya kita, kita sudah punya bukti jika itu adalah karya kita dan kita yang buat duluan, selain itu, lumayan jika bisa diterbitkan oleh penerbit mayor
Terima kasih pemahamannya, Kak. Aku lagi ada rencana kirim ke mayor, nih. Tapi, kurang percaya diri sama seleksi pasarnya😖