Beberapa bulan belakangan ini saya lagi senang-senangnya menengok masa lalu. Throwback ke masa di mana saya masih remaja dan hobi banget baca majalah. Ada satu akun Instagram yang setiap hari saya pantengin karena isinya adalah cover-cover majalah zaman saya remaja dahulu. Sebagian besar cover majalah di akun Instagram itu dulu saya punya. Makanya saat memandangi cover-cover itu lagi, masa remaja saya seakan hadir lagi. Saya bisa merasakan saat-saat bahagia dulu sewaktu masih rutin baca majalah.
Eh, ternyata nostalgia saya berlanjut. Kali ini bukan berupa mandangin cover majalah, tapi berupa undangan nonton konser musik. Tanpa berlama-lama, langsung saja saya terima ajakan nonton musik tersebut.

Koes Plus dan Panbers
Siapa yang nggak kenal Koes Plus? Mungkin cuma anak-anak yang lahir tahun 2000-an yang nggak kenal band papan atas superhits dan sangat terkenal di zamannya ini. Ya tergantung juga, sih. Anak yang lahir tahun 2000-an kalau orangtuanya nge-fans dan sering memutar lagu-lagu Koes Plus, mungkin akan kenal juga. Minimal tahu lagu-lagunya.
Buat saya sendiri, Koes Plus adalah band angkatan Mama saya. Iya, band yang lagu-lagunya saya kenal dari Mama. Dulu, sewaktu Mama masih ada, Mama suka nyanyi-nyanyi kecil, nyanyiin lagunya Koes Plus. Nama “Koes” diambil dari kata “Koeswoyo” karena personilnya adalah kakak beradik dari keluarga Koeswoyo. Mereka adalah Yok, Yon, Murry, Nomo. Nama “Plus” dibuat karena seringkali para Koeswoyo ini manggung bersama rekan-rekannya yang bukan dari keluarga Koeswoyo.

Nomo Koeswoyo adalah bapaknya Chicha Koeswoyo yang penyanyi cilik. Sedangkan Yok Koeswoyo adalah bapaknya Sari Koeswoyo yang juga penyanyi cilik. Bingung? Sudah, nggak usah dipikirin. Itu saya juga tahunya karena diceritain sama Mama. Para penyanyi cilik yang saya sebutkan barusan juga penyanyi cilik di eranya Mama.
Saya juga tahu dari Mama bahwa Panbers itu kependekan dari Panjaitan Bersaudara. Dulu Mama sering cerita-cerita tentang dua band terkenal ini. Sebagian besar lagu mereka juga saya tahu berkat Mama. Makanya pas nonton konser musik ini, saya jadi ikutan nostalgia masa-masa saya akrab banget sama Mama, kayak kakak adik. Iya sih, dekat banget karena umur kami cuma terpaut 18 tahun.

The Professor Band
Nah, The Professor Band (TPB) inilah yang tampil membawakan lagu-lagunya Koes Ploes dan Panbers di konser bertajuk Tribute to Koes Plus and Panbers. The Professor Band adalah grup band yang sudah berkiprah selama 15 tahun. Mereka sudah terbentuk sejak 2002. Personilnya adalah kalangan akademisi mulai dari profesor, dosen, sampai mahasiswa dari civitas akademika Universitas Indonesia (UI). Pada saat terbentuk, TPB hanya terdiri atas beberapa orang. Namun, hingga saat ini anggotanya terus bertambah dan pada saat konser, mereka tampil bergantian.

Beberapa personil yang tampil di konser yang diselenggarakan di Gedung Makara Art Center, Universitas Indonesia tanggal 27 Juli 2018 lalu, adalah Prof. DR. Triyatno Yudoharyoko, Prof. DR. Agus Sardjono, SH. MH, Prof. DR. Roni Nitibaskara, Prof. DR. Paulus Wiroutomo. MSc, Prof. DR. Budi Susilo Supanji, serta Dr. Iriani Shopiaan, MSi, Drs. AG. Sudibyo, MSi dan Eki Melinawati. Kalau nggak melihat sendiri penampilan mereka, agak nggak percaya juga bahwa orang-orang yang biasanya serius ngajar ini tampil bermusik dengan begitu lihainya.
Lagu-lagu yang mereka bawakan adalah Bujangan, Kisah Sedih di Hari Minggu, Andaikan Kau Datang Kembali, Kembali ke Jakarta, dan beberapa judul lainnya. Saat mereka bawain lagu-lagu ini, semua penonton terhanyut. Ada yang sedih karena mengalami kisah hidup yang sama dengan lirik lagu itu, ada yang terkenang mantan dan kisah cinta lamanya, ada juga yang terharu karena ingat hidup yang dulu-dulu. Saya termasuk yang terakhir, nih. Ingat Mama saya 😀
Saat lagu Kembali ke Jakarta, saya menikmati banget. Saya selalu ingat lagu ini ketika selesai mudik dan akan kembali ke Jakarta. TPB membawakan Bujangan sebagai lagu penutup. Di sini, semua penonton bergoyang sambil bernyanyi. Ada juga sih, yang sambil ledek-ledekan dengan teman-temannya karena merasa bujangan dan senasib dengan lagu tersebut.
Penampilan para pemain musik dan penyanyi TPB juga profesional. Mereka mengenakan blazer hitam. Tampak rapi dan elegan. Wanitanya memakai gaun berwarna merah, sebagian dengan sentuhan tenun. Merah dan hitam memang perpaduan yang bersahaja.
Omong-omong soal prestasi, TPB sudah sering tampil memenuhi undangan untuk tampil di panggung-panggung besar baik di dalam maupun luar negeri. Band ini juga sudah tiga kali mengikuti Jakarta Jazz Festival dan enam kali Java Jazz Festival. Bahkan, pernah mendapat penghargaan dari MURI sebagai band dengan jumlah anggota profesor terbanyak!
Awalnya, mereka bermain musik adalah sebagai hiburan sekaligus menyeimbangkan otak kiri dan kanan. Masuk akal, sih. Mereka yang sehari-harinya mengajar atau memikirkan tentang pendidikan yang merupakan kinerja otak kiri, wajar banget kalau ingin menyeimbangkannya dengan bermusik, sebagai bagian dari kinerja otak kanan. Mereka pun merasa bahwa dengan bermusik, mereka menjadi awet muda. TPB juga sudah memiliki album sendiri yang dirilis tahun 2015, berjudul Seribu Satu Malam.
Keren banget, ya. Biasanya orang-orang dari akademisi terlalu serius dan kaku, tapi yang ini sangat cair dan bisa banget membuat acara jadi hangat dan santai melalui permainan musiknya. Kapan-kapan saya kepengen lagi nonton konsernya The Professor Band.

Leave a Reply