Saya terkejut melihat seorang teman yang kehidupannya berubah drastis. Sebelum subuh, ia sudah bangun mendahului teman-teman yang lain. Ia juga paling dulu mandi, berpakaian rapi, dan sarapan, saat yang lain masih terlelap.
Padahal dulu si teman adalah orang yang paling malas dan cuek sedunia. Bangun paling siang, tidur lagi setelah matahari tergelincir, dan hobi ngaret. Masih jelas dalam ingatan saya, apabila istrinya meminta antar ke supermarket untuk membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga pagi hari, ia baru menyiapkan diri lima belas menit sebelum supermarket tutup!
Penasaran dengan perubahan hidupnya, saya bertanya tentang penyebab itu semua. Jawabannya sungguh diluar dugaan. Ia berubah setelah istrinya meninggal. Kepergian istri untuk selama-lamanya membuatnya jatuh bangun menata hidup. Padahal, selama istrinya masih ada, ia acuh tak acuh, bahkan terkesan masa bodoh terhadap urusan istri. Setelah istrinya meninggal karena sakit parah, si teman merasa mata dan hatinya terbuka. Ia juga terhenyak, dan baru menyesal bahwa selama ini telah menyia-nyiakan istri. Maka, tak heran kalau sekarang si teman bisa bersikap lebih menghargai segala yang masih dia miliki.
Lain lagi dengan Si B. Belum lama ini dia menceritakan kisah hidupnya pada saya. Selama ini ia mengaku tak pernah menganggap istrinya ada. Si B terlalu asyik “menikmati” wanita lain. Padahal seluruh biaya perekonomian keluarga ditanggung oleh istrinya. Asal tahu saja, biaya cicilan motor pun ditanggung oleh si istri. Tapi saat istrinya meminta antar ke dokter untuk imunisasi anak, Si B menolak mentah-mentah. Motor itu tak pernah boleh digunakan untuk keperluan istri dan anak. Sementara, Si B selalu menggunakan motor itu sebagai fasilitas aktivitasnya bersama wanita idaman lainnya.
Hidup Si B benar-benar berbalik seratus delapan puluh derajat saat istrinya tak tahan dan nekad ingin menggugat cerai. Si B tercengang dan matanya terbuka seketika. Ia pun langsung menyadari kesalahan besarnya, dan memohon agar sang istri membatalkan niatnya. Si B terpuruk, merasa putus asa dan hampir gila ketika istrinya bersikukuh ingin cerai.
Beruntung, sang istri mau mengabulkan keinginan Si B dan batal menggugat cerai. Sejak itu Si B benar-benar pulih. Ia kembali pada istrinya dan “menceraikan” wanita idaman lain yang selama ini membuatnya buta. Si B pun berubah drastis. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk anak dan istrinya.
Dua teman tersebut membuat saya berpikir. Mengapa biasanya manusia harus menunggu badai untuk berubah? Mungkin saya tak akan berpikir sejauh itu jika belum pernah mengalami hal serupa.
Saya pernah menganggap seseorang sebagai “dewa”. Orang itu saya anggap segala-galanya. Tidak ada orang lain yang lebih baik dari pada dia. Tidak ada orang yang sempurna sesempurna dia. Mata dan hati saya benar-benar buta, sehingga tak mampu melihat kekurangannya. Telinga saya juga seperti tuli, sehingga tak sanggup mendengar nasihat kiri kanan mengenai dia.
Setelah sebuah kejadian dahsyat menimpa, mata, hati, telinga, dan pikiran saya baru terbuka. Bahwa dia adalah manusia biasa yang juga bisa membuat kesalahan besar. Sayapun berhenti “mendewakan” dia.
Setelah badai menerpa, segalanya menjadi jernih dan keadaan menjadi lebih tenang dibanding sebelum badai. Yang membuat saya tak habis pikir, mengapa harus terjadi badai baru kita bisa berpikir jernih? Setelah memelajari semuanya, saya mendapat jawabannya. Ternyata, Tuhan memberi badai dalam kehidupan agar kita lebih waspada dan mampu mengusir kabut yang selama ini menutupi mata, hati, dan telinga.
Satu hal yang paling ampuh untuk mengatasi “derita” saat badai melanda adalah kenyataan bahwa saat kita mengharap kekuatan, Tuhan akan memberi badai agar kita menjadi lebih kuat.
Namun, kalau boleh memilih, alangkah baiknya menyadari adanya ancaman besar, sebelum badai itu datang. Kalau bisa diantisipasi, mengapa harus menunggu badai?
Gambar diambil dari sini
Leave a Reply