Saya tidak tahu persis memiliki jiwa seni atau tidak. Yang saya tahu, semua anak perempuan senang menari. Kesenangan ini pun dimulai sejak dini. Mungkin sejak anak memasuki usia pra TK dan terus berkembang hingga TK, atau bahkan hingga dewasa.
Seperti anak-anak pada umumnya, di masa kanak-kanak, saya juga senang menari. Sejak TK, saya sudah ikut menari. Kemungkinan besar karena semua TK memang mengharuskan murid ikut menari, paling tidak di acara ulang tahun sekolah atau perpisahan sekolah.

Kegiatan menari saya tidak berhenti sampai di situ. Saya lupa cerita awalnya, tahu-tahu kelas tiga atau empat SD saya masuk ke sanggar tari. Namanya Bentara Indonesia. Sanggar yang berlokasi di Cipinang, Jakarta Timur ini memberikan materi tari kreasi berdasarkan tari tradisional Indonesia. Pelatihnya berasal dari Bali, tapi sayangnya beliau tidak mengajarkan tari Bali. Dari sanggar ini, saya beberapa kali pentas. Lumayan senang sih, karena saya jadi berkesempatan memakai pakaian adat daerah.

Setahun kemudian, saya pindah sanggar, bernama Sanggar Citra. Lokasinya di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Yang saya sukai dari sanggar ini, kegiatannya lebih banyak, yaitu menari, menyanyi, dan teater. Kebetulan seluruh anak yang tergabung di sanggar tersebut harus mengikuti seluruh kegiatan. Saya pun rutin latihan menari, menyanyi, dan teater. Saat itu adik dan beberapa teman sekolah juga ikut bergabung.

Untuk latihan di sanggar ini tidak dipungut biaya. Sebab, sanggar ini bersifat sosial. Anak-anak sanggar rutin pentas di hotel-hotel di Jakarta, dalam rangka charity untuk anak-anak terlantar. Acaranya tidak jauh dari kegiatan bakti sosial, seperti sunatan massal, pernikahan massal, dan acara baksos lainnya. Dari sini, kemampuan menari saya lumayan meningkat. Saya mulai mengenal tari Jawa, meskipun saya lupa nama tariannya. Di sini pula saya mengenal dunia teater. Sebenarnya saya juga mulai mengenal dunia tarik suara. Namun, entah mengapa yang terakhir ini saya tidak terlalu mendalami.
Pelatih-pelatihnya lumayan mumpuni. Mereka guru yang tegas sehingga seluruh muridnya pun serius mendalami kegiatan. Pelatih teater saya saat itu adalah orang yang benar-benar menyelami dunia teater sekaligus literasi. Karya tulis beliau sering dimuat di majalah ibukota. Saya sering kepengin seperti dia. Kepengin punya karya tulis yang dimuat di media. Dari sinilah cikal bakal saya menjadi penulis, tapi bagian ini akan saya ceritakan di tulisan khusus ya, biar tulisan ini nggak terlalu panjang.
Sebenarnya saya nggak merasa memiliki jiwa seni yang tinggi. Namun nyatanya sejak kecil memang kebetulan menggeluti dunia seni, dan hampir tidak pernah jeda, selama bertahun-tahun, hingga saya dewasa.
Mama saya yang senang anaknya punya kegiatan seni, ikutan senang juga. Mama saya yang paling mendorong saya untuk rajin latihan. Suatu hari ada adik kelas di sekolah yang menjadi pemain sinetron. Eh, saya kepengin juga. Mama juga dong, pengin banget anaknya main sinetron. Paling tidak, masuk TV lah. Mulailah saya cari informasi ke adik kelas yang saat itu sudah terkenal sebagai aktris. Ternyata, dia bisa main sinetron karena aktif latihan di Sanggar Ananda.


Akhirnya kelas enam saya masuk Sanggar Ananda. Hal yang paling berat latihan di sini adalah lokasinya jauh dari rumah. Rumah di Rawamangun, tempat latihan di Gedung Kemenpora, Senayan (kemudian pindah ke Gedung Kridaloka dan Pintu VII, keduanya di Gelora Bung Karno, Senayan). Orangtua saya mengantar latihan hanya di minggu-minggu awal. Selanjutnya, saya yang saat itu sudah masuk SMP harus berangkat sendiri ke tempat latihan, naik bus.
Meskipun jauh, saya senang saja menjalani latihan demi latihan. Sebab, di sanggar ini materi pelajarannya sudah lebih asyik. Medianya lebih banyak TV daripada panggung. Tingkatnya juga sudah nasional karena sanggar banyak memproduksi drama untuk anak yang ditayangkan di TVRI maupun TV swasta. Dulu hanya ada kelas teater. Beda dengan Sanggar Ananda sekarang yang ada materi vokal, presenter, dan modeling.
Nah, di sinilah saya mulai sangat menikmati dunia teater. Latihan teater setiap hari Minggu bikin saya “kecanduan”. Saya betah ikut latihan terus selama tujuh tahun. Tanpa saya sadari, teater menjadi ajang relaksasi. Latihan-latihannya membuat emosi saya terkendali dan tersalurkan. Lebaynya sih, teater itu begitu merasuki jiwa saya bahkan membuat saya tenang.
Selama latihan teater, saya juga tetap menari. Selama bertahun-tahun pula saya menggeluti aktivitas sebagai penari, dengan jenis modern dance dan semi balet jazz. Saya sering pentas di acara-acara baik media TV maupun panggung. Tari dan teater memang seiring sejalan, tapi karena pada saat itu produksi TV teater sedang sibuk-sibuknya, kegiatan tari pun saya kurangi.


Kata orang, masa remaja itu penuh gejolak. Tapi saya nggak mengalami itu. Saya merasa masa remaja saya asyik, nggak penuh drama, dan nggak ada hal buruk yang saya alami seputar gejolak-gejolak itu. Setiap hari Senin, ketika semua murid bete karena harus masuk sekolah lagi, upacara lagi, dan ketemu rumus-rumus yang memusingkan, saya malah merasa bahagia. Hari Senin hati saya malah ringan banget. Saya lebih senang dan penuh tawa daripada hari-hari lainnya. Bahkan saya santai saja berada di baris paling depan saat upacara, yang buat murid lain itu bikin deg-degan, cemas, dan menyiksa.
Semua itu karena hari Minggunya saya habis latihan teater. Semua perasaan negatif seakan pergi. Semua beban hilang. Berganti dengan ketenangan. Teater itu benar-benar membuat saya “kecanduan”.


Sampai akhirnya, saat lulus SMA, saya sudah nggak bisa ikutan latihan teater lagi. Produksi drama rutin sejak empat tahun sebelumnya pun sudah selesai. Jadwal syuting terakhir tepat banget selesai di saat saya sudah harus rutin melanjutkan kehidupan yang lain. Di situlah saya mulai kehilangan dunia saya. Dunia teater yang membuat tenang. Meninggalkan dunia teater yang sudah saya geluti selama tujuh tahun, terasa berat.
Sejak saat itu saya belum menemukan lagi kegiatan yang mampu meredam stres, seperti saat main teater. Saya sempat cari lagi kegiatan yang sama asyik dan nyamannya dengan dunia teater, tapi belum ada lagi yang seperti itu.
Belasan tahun kemudian, sekitar beberapa bulan yang lalu, saya terpikir lagi untuk kembali ke dunia tari. Saya butuh kegiatan yang bisa membuat saya setidaknya mampu memperlambat ritme hidup. Main teater lagi? Rasanya nggak mungkin. Teater membuat para pemainnya berada “di depan”, penuh ide dan kreativitas, rajin melatih ekspresi, serta syuting sana-sini. Sementara, saya ingin kegiatan yang membuat saya bisa diam tenang, serta mobilitas tidak terlalu tinggi.
Ketika bulan lalu ada acara Latihan Menari Bersama di TMII, saya ikutan. Di sinilah saya kemudian berpikir untuk kembali beraktivitas di dunia tari. Apalagi, tari klasik gaya Yogyakarta ini gerakannya lembut, tenang, dan bersahaja. Saya butuh itu. Butuh yang kalem-kalem. Akhirnya, saya memutuskan untuk trial tari tersebut. Dan … asyik banget! Saya seperti menemukan kembali dunia yang sempat hilang. Saya mantap lah kembali ke dunia tari, meskipun harus dari nol lagi.


Saya tidak tahu, saya ini punya jiwa seni atau tidak. Yang jelas, menari mampu menciptakan jiwa seni, pada siapa saja. Termasuk saya, yang sudah lama jauh dari dunia seni.
Wuih aku tuh waktu itu search di google “Nunik Utami Lenong Bocah” eh sama Mbak Nunik diupload sendiri hahaha. Btw aku juga sempat mau masuk ananda, tapi enggak jadi soalnya aku sadar diri aku kalo nari kaku. Dulu waktu sd suka sok sok modern dance haha.
Ngapain searching? Rajin amat :)))
Kenapa gak jadi masuk sanggar? Kan, bisa latihan barengan kita.
Whoaaaa…. Seru banget yah kegiatan berkeseniannya Mbak Nunik. Sempet nari juga pas TK tapi ga dilanjut, sepertinya saya ga berbakat… Hehehe…
Bener nih, nggak kangen nari? Hehehe
What an inspiring story mbak ??????
Kata org bakat itu ada yg dari bawaan lahir, ada yg dr hasil kerja keras.. Mungkin mbak termasuk yg kedua, karena bakat tanpa kerja keras sama dengan nol..
Iya bener, udah berbakat pun harus kerja keras untuk ngasahnya ya.
Salut buat para pecinta tari, menurut aku mereka kebanyakan lebih kalem pembawaannya.
Aku waktu muda lebih sering dilapangan basket atau volley
Tergantung jenis tariannya. Kalo modern dance ya nggak ada kalem-kalemnya. Hihihi
Wah mba Nunik ternyata dancer 🙂
Dulu. Sekarang udah nggak 😀
Gagal fokus sama foto-foto kecenya, ih aku mah enggak bisa nari 🙁
Oalah mbanya yang pernah main di lenong bocah toh, ah acara tv yang berkesan. Kalau sudah mengalir darah seni dalam diri susah untuk diabaikan ya mba. Semoga latihan narinya jalan terus 🙂
Fokus ke poto yang sama oky lukman wkwkwk, eh sayapun juga pernah ikut nari dan pentas waktu sd ?…
mak obladi,, ya Allah Okki Lukman, , mbak Nunik pasti rindu saat-saat itu ya? kenangan nya lucu-lucu. prstasi kegiatan seni menarinya banyak. sukses terus ya Mbak Nun…
nomaden dari sanggar ke sanggar nih dulunya,,,, itu okky lukman klo di lenong bocah dulu cablak bangett.
Kalo ada Lenong Bocah selalu terpampang nama Aditya Gumay. Keren…. walaupun gak tau orangnya seperti apa.
Mba Nunik dari kecil udah penuh dengan seni yaa..
Wah lanjutkan, Mba. temukan kembali duniamu hihi
Hal, Mbak. salam kenal. saya kebetulan lagi nyari sanggar tari untuk anak saya. jadi dapat banyak info di postingan ini. Btw kalau ikut yang di TMII seru pastinya ya. Apalagi kalau bisa barengan sama anak, hehehe. Saya juga pengen belajar beneran, selama ini cuma nari sendiri di depan kaca
Kalau kata temanku yg penari, dengan menari dia spt meditasi, karena di situ dia merasa tenang dan nyaman.
https://helloinez.com
Aku g suka nari, tapi klo aerobik suka
Ya ampun! Ternyata dirimu sudah jadi bintang teve dari kecil ya Kak. Kayaknya aku pernah nonton deh tayangan yang ada Oki Lukman itu. Lanjut nari lagi aja, Kak. Biar bisa menyalurkan energi positif ke banyak hal lainnya. 😀
Duluuu kepingin banget masuk sanggar Ananda, taunya dari majalah Bobo.
Kata ibu : “Jauh. Berani nanti kalo berangkat sendiri?”
Dan aku mundur ..wkwkkw
“Mampu memperlambat ritme” > nice point mbak. Kalo aku naik gunung sama snorkeling pelampiasannya, kemudian ritme waktu melambat sketika.
Finally foto obladi oblada di posting jugak. Aku searching di google n youtube ga dapet. Ha hahaha…
“Yang saya tahu, semua anak perempuan senang menari” dan baca ini saya jadi ngakak sendiri teringat dulu waktu SMP “dipaksa”guru kesenian untuk menari. Bahkan sampe pergi kursus ke sanggar tari, huhu
Dan saya setuju, soalnya selepas dari sanggar dan sampai sekarang – walaupun nggak pernah nari2 lagi dan emang nggak suka – gatau kenapa selalu tertarik dengan yang namanya seni, tapi sekedar jadi penikmat saja hihi
Saya membacanya dengan cita rasa indahnya perjalanan kesenian seorang Nunik Utami. Sangat inspiratif .
saya juga dulu anak tari sampai SMP lalu malas mendadak dan berhenti total 🙁
Terlepas dari bakat atau tidak dalam seni, kak Nunik sudah menunjukkan ketertarikan yang luar biasa dalam dunia Tari. Semoga bisa tetap konsisten kak.
Ahh mbakku ini memang idola. hhe
Aku malah kebalik mbak. Dari TK smpe kuliah aku merasa gak berbakat olahraga dan seni. Kebetulan juga orang tua gak terlalu impress di 2 hal itu. Di les-in pun, b.inggris. Hobbynya belajar, cintanya sama angka.
Pas mulai kerja,mulai tertrik ini itu dari renang, gym, muay thai… belakangan mulai suka dance. Enggak ahli sih semuanya, cuma baru tahu, seni dan olah raga adalah kegiatan yang mengagumkan, “melambatkan ritme hidup”, setuju.
Dulu saya penggemar lenong bocah tuh mba. Ternyata mba nunik belajar di sanggar ananda toh. Keren..
Brrti aku dulu pernah nonton Kak Nunik. Dulu Lenong Bocah jadi tontonan favorit banyak orang soalnya ?
Teater lagi yuk Mba. Banyak banget ya manfaat berteater. koq poto si sampur toska ga dimasukkan di sini hihihiii
Mbk idolaaa.. keren banget sih baca artikel ini.. setuju banget kita butuh kegiatan untuk melambatkan ritme hidup kita.. saya suka dance dari dulu tapi gak terlatih… tapi pengen bisa nari.. sekarang narinya body jam dulu.. hahah
Hahaha kita sealiran, kalau aku lebih suka main gamelan. Padahal waktu kecil sebel banget dengerin keluarga nyetel gamelan tiap hari. Sekarang jadi kecanduan.
Menari selain membangkitkan jiwa seni jika bisa meningkatkan mood, ada orang-orang yang merasa bahagia dan stress berkurang dengan belajar tari.
akhirnyah…
Tahu juga nih mb nun waktu di lenong bocah yang mna. Wkwk…
Cie skrf udah punya tempat main baru, yang bisa merasakan sensasi masa kecil dulu dan merasakan sensasi masa depan…sampur mba 😀
Baca tulisan mbak Nunik jadi inget waktu SD. Bahkan dulu di SD saya semuanya kudu dan wajib ikut Kelas menari, saya paling suka nari piring, lucuk piringnya pasti selalu jatuh hahaha.
Alhamdulillah, akhirnya bisa nari lagi yaa mbak.
Anyway, tahun lalu sempet mau daftar kelas presenter di Sanggar Ananda, udah survey juga, tapi malah mikir “Am I too old?” jadi minder hahaha.
Mba nunik memang sudah hits dari kecil ya, keren banget sih ???
rasanya ngga ada yang ga bisa dikagumi dari mbak nunik…semuanya mengagumkan..
Waahhh….beda bgt mba nunik masih kecil sama yg skrg, cantik dan bikin pangling
Aku juga senang menari mba. Ketika menari aku merasa sedikit seksi.
Sudah jelas2 itu jiwa seni mbakyu…hehehe..yuks nari lagi kitah.
Seru ya masa kecil Mba Nunik banyak kegiatan yang bermanfaat hehe. Btw, ditunggu Mba Nunik cerita soal awal mula jadi penulisnya hehe
kuy lah…. lanjut lagi jadi penari….
wow, ternyata mbak nunik jago nari.
memang beda mbak idola ini
Aku juga suka nari, nari dangdut
Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga, bersyukurlah pada yg Kuasa, cinta kita di dunia.. selamanya
*jadi inget lagunya laskar pelangi, hehhee
aku kok jadi lebih fokus ke fotonya ya .. hehee
foto masa kecilnya seperti ga berubah sampe sekarang. tajam banget sorotan matanya 🙂 suka
Keren bgt bisa nari bisa teater. Cool!
Mbak Nunik dari kecil udah berkecimpung di dunia seni ya. Pas dewasa pekerjaannya juga gak jauh2 dari dunia kreatif. keren! Kalo masa kecilku sampai sekarang kok suram ya, hehe