Pernah berbuat baik?
Kalau ditanya seperti itu, tentu saja kita pernah berbuat baik. Apalagi kita rutin membayar zakat dan menyisihkan sebagian harta untuk diberikan kepada orang lain. Lihat saja di sekitar kita. Ada orang yang menyumbangkan rezekinya untuk anak-anak yatim. Ada yang rutin membuatkan makanan untuk orang-orang yang membutuhkan. Ada juga yang menyumbangkan bahan bangunan untuk membangun sarana pendidikan dan kesehatan. Ya, semua orang pernah berbuat baik.
Eh, tunggu!
Kalau begitu, berarti berbuat baik adalah perkara memberi materi? Bagaimana dengan orang lain yang tidak memiliki harta cukup? Jangankan memberi, untuk menafkahi diri sendiri dan keluarga pun, harus mencari dengan susah payah. Apakah berarti mereka tidak pernah berbuat baik?
Dahulu, saya pernah hidup di lingkungan yang menganggap bahwa orang baik adalah orang yang suka memberi materi. Sementara, orang yang tidak pernah memberi, ya tidak dianggap baik. Itu berarti, orang yang tidak pernah memberi, tidak akan pernah berkesempatan berbuat baik?
Hati saya teriris. Sebab, pada saat itu, saya termasuk orang yang tidak bisa sering-sering memberi materi. Aduh, saya kok, jadi merasa rendah diri, ya? Sudah tidak bisa sering memberi materi, eh, saat memberi pun tidak bisa dalam jumlah besar.
Kecil hati? Ya.
Merasa tidak diterima di lingkungan? Tentu saja.
Tapi, saya bisa apa?
Meskipun lingkungan ini membawa dampak yang kurang baik bagi mental, toh saya tidak bisa keluar dari sini begitu saja. Saya memang tidak bisa memberi materi dalam jumlah besar seperti mereka. Namun, bukankah Allah memberi kesempatan yang sama pada semua orang, termasuk kesempatan untuk menjadi orang baik? Bukankah kebaikan berbagi bukan melulu sekadar berbagi materi? Kalau berbuat baik hanya perkara memberi materi, berarti menjadi orang baik, hanyalah sesuatu yang bisa dilihat manusia? Apa iya, Allah hanya menilai kebaikan berdasarkan sesuatu yang hanya bisa dilihat manusia?
Dalam perjalanan hidup yang panjang, saya merenungi hal ini. Membayar zakat, tentu saja wajib. Memberi sedekah, atau memberi materi dalam bentuk lainnya, tentu saja boleh. Namun, memberi dalam bentuk lain, tidak salah, kok.
Hingga, pada suatu titik, saya sadar. Berbuat baik itu bukan semata agar dilihat manusia. Berbuat baik dan menjadi orang baik, tidak perlu mendapat pengakuan dari manusia. Akhirnya, saya membenahi pikiran. Saya yakin, kita bisa berbuat dan menebar kebaikan, meskipun tidak mendapat nilai dari orang sekitar. Ya, tentu saja Allah punya penilaian sendiri. Sejak itu, saya tidak mau lagi terpuruk karena keadaan lingkungan yang hanya menilai berdasarkan ukuran manusia
Berangkat dari Hati dan Pikiran
Lalu, kalau tidak bisa selalu memberi kebaikan berupa materi, apa yang bisa kita lakukan?
Bersihkan hati, jernihkan pikiran.
Ya, menjadi orang baik dan menebar kebaikan, berawal dari hati. Saya ingat ketika dalam perjalanan ibadah umroh, tour leader yang memimpin rombongan, memberi saran. Kita sudah berada di tanah suci, jadi hendaknya kita bukan hanya menjaga lisan, tapi juga membersihkan hati dan menjernihkan pikiran.
Membersihkan hati di sini adalah menahan hati agar tidak mudah mengomentari penampilan dan sikap orang lain. Berhenti menganggap orang lain lebih rendah. Membuang perasaan iri pada orang lain yang lebih beruntung dari kita.
Sejak itu, saya selalu mengingat saran Sang Tour Leader. Pengalaman itu saya bawa terus hingga selesai ibadah dan kembali ke tanah air. Semuanya saya coba terapkan hingga detik ini. Termasuk ketika berselancar di dunia maya.
Buang pikiran buruk dan tahan jari agar tidak menuliskan sesuatu yang buruk di dunia maya. Bersihkan pikiran sehingga jari tidak usil nyinyir pada kesuksesan dan kebahagiaan orang lain.
Dari sini, saya menemukan sesuatu lagi. Bahwa kita bisa menebar kebaikan dengan cara menata hati dan pikiran. Kita bisa menjadi orang baik dengan hati yang tenang dan pikiran yang terkendali. Memang, hal ini tidak bisa dilihat secara kasat mata. Tapi, saya yakin banyak orang yang bisa merasakan efek positifnya.
Ah, ini satu kemenangan buat saya.
Lanjutkan dengan Sikap
Berbuat baik dan menebar kebaikan juga bisa dilaksanakan melalui sikap. Saya yang berasal dari Suku Jawa, mengenal beberapa falsafah Jawa yang saya anut. Falsafah ini erat kaitannya dengan menebar kebaikan melalui sikap, yaitu:
Sugih tanpa bandha (kaya tanpa harta)
Adalah sikap kita untuk selalu bersyukur karena tidak kekurangan. Sebab, pada dasarnya kita ini kaya raya. Bukan kaya karena punya harta melimpah, tapi coba tengoklah sekitar kita. Kita punya keluarga, sahabat, serta orang-orang di sekitar, yang selalu ada dan siap membantu saat kita membutuhkan. Tentu saja hal ini dimulai dari sikap kita yang juga ikhlas membantu saat mereka membutuhkan. Pada akhirnya, budi baik kita yang akan selalu diingat.
Digdaya tanpa aji (kekuasaan tanpa ilmu bela diri)
Maksudnya adalah, kita bisa memiliki kekuasaan karena sikap kita yang penuh wibawa dan bijaksana. Perkataannya selalu berisi serta didengar orang. Jika kita menghormati orang lain, pada akhirnya kita akan dihormati oleh orang lain.
Nglurug tanpa bala (menyerang tanpa pasukan)
Artinya, kita berani berdiri di pihak yang benar untuk bertanggung jawab. Berani maju untuk menyerukan kebenaran dan menghadapi masalah, sekaligus kuat bertahan tidak ikut terhasut pada hal buruk. Sikap ini layaknya ksatria di medan pertempuran kehidupan.
Menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan)
Ini yang paling berkesan bagi saya. Saya sudah berkali-kali mengalami dan menghadapi hal ini. Jadilah pemenang tanpa merendahkan orang lain. Misalnya, jika kita berhasil memberikan sedekah dan menyerukan kebaikan berbagi, jangan pernah menyalahkan orang yang belum bisa melakukannya. Apabila kita pernah memberi sesuatu pada orang lain, jangan mencibir atau menghina orang yang tidak pernah memberi sesuatu.
Dengan bersikap seperti yang saya sebutkan di atas, berarti diam-diam kita sudah menebar kebaikan. Mengutip alm. Presiden Soeharto, satu perbuatan baik akan lebih diikuti daripada seribu nasihat yang paling baik.
Lihat yang Kita Miliki
Selanjutnya, mari melangkah memberi harta. Jangan pernah berpikir, memberi sedekah hanya bisa dilakukan kalau harta kita sudah melimpah. Tidak perlu seperti itu. Langkah terbaik adalah, cobalah lihat sesuatu yang kita miliki. Punya pakaian layak pakai yang sudah tidak muat? Punya buku yang tidak ingin dikoleksi? Punya ilmu yang bisa dibagi? Punya waktu yang bisa digunakan untuk silaturahim?
Semua itu bisa menjadi sedekah yang tidak ternilai. Ingatlah bahwa di luar sana ada orang yang membutuhkan. Ingat juga bahwa kita punya banyak hal yang masih bisa dibagi. Sekecil apapun yang kita miliki, apapun bentuknya, akan sangat berarti bagi orang yang membutuhkan.
Belajar dari Dompet Dhuafa
Sejak dahulu, setiap mendengar kata Dompet Dhuafa, hati saya langsung adem. Lembaga Sosial Kemanusiaan Kaum Dhuafa ini seperti rumah. Ibaratnya, kalau saya sedang ingin berbagi dalam bentuk materi, bisa kapan saja mendatangi “rumah” ini.
Kita bisa memberikan berbagai jenis donasi di sini, seperti zakat, infak, sedekah, serta wakaf. Jangan khawatir, cara berdonasinya mudah, kok. Buka saja laman Dompet Dhuafa. Nanti akan langsung diarahkan. Jumlah donasinya juga tidak harus selalu banyak. Kita bisa berdonasi mulai dari Rp10.000.
Saya belajar tentang kebaikan berbagi, dari Dompet Dhuafa. Lembaga ini menebar kebaikan melalui berbagai jalan. Ada dunia pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial dan dakwah, serta budaya. Tujuan besarnya adalah mengentaskan kemiskinan. Dompet Dhuafa mengajarkan bahwa kita tidak usah berkecil hati ketika hanya bisa memberi materi dalam jumlah sedikit. Sedikit kan, menurut kita. Sangat mungkin, yang sedikit itu menjadi besar bagi orang lain.
Hidup berjalan begitu cepat. Seolah kita berada di kereta ekspress yang terbang melintasi waktu. Ketika ingin menebar kebaikan, jangan terlalu banyak berpikir. Jadi, marilah kita mainkan peran, untuk bersama-sama menebar kebaikan.
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa”
Joe Candra says
Setuju banget kak bahwa kebaikan berangkat dr hati dan pikiran yess hehe
Rudi G. Aswan says
Betul, Mbak Nunik. Memberi enggak harus berbentuk materi, tapi sesuaikan dengan kemampuan diri. Berupa senyuman pun bisa, yang penting dari hati kan? Membagikan inspirasi juga pahalanya besar menurut saya. Seperti gambar Mbak Nunik cerita di depan anak-anak tentang buku, kita ga tahu betapa senangnya mereka untuk bekal masa depan. Pernah diajak mendongeng buat anak korban gempa di Bogor juga gitu, ya seneng banget lihat anak-anak seneng walaupun saya cuma bawa buku cerita. Pas punya duit ya bisalah donasi lewat LAZ kayak Dompet Dhuafa. Selain programnya lengkap, caranya makin mudah. Semoga istiqamah ya Mbak berbagi inspirasi, lewat menulis buku.