Sejak kemunculannya di Wuhan, China, virus corona begitu berpengaruh. Semakin lama, semakin banyak orang yang terpapar atau terinfeksi virus ini. COVID-19 pun semakin merebak.
Selanjutnya, kamu jadi kenal istilah rapid test. Bahkan, pemerintah sudah melakukan rapid test di beberapa wilayah Indonesia, terutama di daerah yang memiliki kasus COVID-19 tinggi. Sebenarnya, rapid test itu benda macam apa, sih? Gunanya buat apa? Haruskah kita menjalani rapid test?
Tenang. Pelan-pelan. Jangan panik. Biar nggak bingung, terusin baca dulu, ya.

Terpapar Virus dan Terinfeksi Virus, Apa Bedanya?
Banyak orang yang belum tahu perbedaan antara terpapar dan terinfeksi virus. Keduanya tentu saja berbeda. Terpapar, belum tentu terinfeksi. Sementara, terinfeksi, sudah pasti terpapar. Lebih jelasnya, begini.
Misalnya, kamu tidak mengalami gejala terkena COVID-19 seperti batuk atau sesak napas. Namun, kamu pernah bertemu atau kontak dengan orang yang sudah positif terkena COVID-19. Nah, kamu harus mengisolasi diri, karena statusmu otomatis menjadi Orang Dalam Pengawasan (ODP).
Lho? Kenapa begitu? Kan, nggak ada gejala.
Iya, benar. Nggak ada gejala, bukan berarti kamu bebas dari virus corona. Bisa jadi kamu sudah terpapar virus tersebut, yang artinya virus sudah masuk ke dalam tubuh, tapi belum menyerang. Dalam hal ini, kamu belum terinfeksi, jadinya nggak sakit. Kemungkinan lain, kamu sama sekali nggak terpapar. Sementara, orang yang sudah positif terkena COVID-19, berarti sudah terpapar lalu terinfeksi.
Nah, untuk memastikan kamu sudah terpapar virus atau belum, harus dilakukan rapid test.
Apa Itu Rapid Test?
Tubuh memiliki antibodi, yaitu zat yang akan terbentuk jika ada virus yang masuk. Pada saat virus Corona sudah masuk ke dalam tubuh, antibodi akan melawan. Jadi, jika di dalam tubuh ada antibodi ini, berarti tubuh telah terpapar virus corona. Nah, rapid test dilakukan untuk mengetahui di dalam tubuh sudah terbentuk antibodi atau tidak. Bisa dikatakan, fungsi rapid test adalah sebuah pemeriksaan awal, bukan untuk mendeteksi infeksi virus corona atau COVID-19. Sayangnya, antibodi bisa saja baru terbentuk beberapa minggu setelah tubuh terpapar virus corona.
Tidak Semua Orang Harus Menjalani Rapid Test
Betul. Tidak semua orang harus menjalani rapid test. Hanya orang yang masuk ke dalam tiga kategorilah yang wajib menjalani tes. Ketiga kategori tersebut adalah Pasien Dalam Pengawasan (PDP), yaitu orang yang sudah positif terkena COVID-19, Orang tanpa Gejala (OTG), yaitu orang yang sudah positif terinfeksi COVID-19 tetapi tidak mengalami gejala, dan Orang Dalam Pengawasan (ODP), yaitu orang yang pernah kontak dengan orang-orang yang sudah positif terinfeksi COVID-19.
Apa Saja Tindakan Rapid Test?
Jadi, rapid test itu tindakan awalnya adalah ambil sampel darah dari ujung jari, diteteskan di alat rapid test. Lalu, darah yang ada di rapid test itu diteteskan cairan yang akan menunjukkan ada atau tidaknya antibodi. Dalam waktu 10-15 menit kemudian, akan muncul garis.
Tanda positif berarti tubuh pernah terpapar virus, baik sudah terinfeksi maupun belum. Sebaliknya, jika hasilnya negatif, belum tentu tubuh tidak terpapar virus. Bisa saja sudah terpapar virus tetapi antibodi belum terbentuk. Jika terjadi seperti ini, rapid test perlu diulang, setelah 7-10 hari lagi.
Oh ya, jika ternyata hasilnya positif, belum tentu yang masuk ke dalam tubuh adalah virus corona yang menyebabkan COVID-19. Bisa saja virus corona penyebab SARS-CoV 2 atau jenis lain. Untuk memastikannya, harus dilakukan swab test.
Pada masa pandemi seperti ini, siapa pun bisa terpapar dan terinfeksi virus corona penyebab COVID-19. Jika sudah terjadi, tentu saja harus menjalani rangkaian pemeriksaan seperti itu. Jadi, yang paling aman adalah diam di rumah, hindari keramaian dan kontak dengan orang lain, serta hindari bepergian. Biar aman, tetap sehat, dan nggak harus menjalani rangkaian tes-tes tersebut.
Leave a Reply