Saya tertegun melihat rumah seorang teman. Sebut saja namanya Andrea. Garasi di rumahnya besar dan di situ terparkir empat buah mobil. Jumlah mobil ini sesuai dengan jumlah anggota keluarga Andrea. Ayah, ibu, dan dua anak. Teman saya ini memang sehari-harinya menggunakan mobil pribadi untuk beraktivitas ke luar rumah.
Menakjubkan!
Ya, tadinya saya takjub. Sebab, keluarganya mampu membeli empat mobil untuk empat anggota keluarganya. Di mata saya, Andrea adalah anak orang kaya sampai orangtuanya bisa membelikan satu mobil untuk satu anak. Padahal, waktu itu teman saya tersebut masih sekolah, satu sekolah dengan saya.
Namun, ada hal yang terasa “aneh” pada kehidupan Andrea. Saya berpikir, mobil yang ada di rumahnya itu produktif mengantar dia ke tempat-tempat yang memang penting untuk beraktivitas. Sebab, sekolah pun dia menyetir mobil sendiri. Saya kira dia juga menggunakan mobilnya untuk pergi ke tempat-tempat lainnya yang sama pentingnya dengan ke sekolah. Ternyata tidak.
Setelah saya perhatikan, dia menggunakan mobil untuk ke tempat-tempat yang “tidak terlalu penting”. Misalnya ke supermarket yang jaraknya tidak sampai 1 km, ke tempat laundry yang hanya berada di depan kompleks rumah, dan makan ke kedai makanan yang letaknya hanya di blok lain, di dalam kompleks itu juga.
Belakangan, saya juga berpikir bahwa sebenarnya ke sekolah pun dia tidak perlu membawa mobil sendiri. Papa atau Mamanya seharusnya bisa mengantar Andrea ke sekolah dahulu, mengantar kakak Andrea ke kampus, baru lanjut berangkat ke kantor. Jadi keluarga itu hanya perlu satu mobil.
Bukan. Bukan saya iri dengan keberadaan empat mobil di rumahnya. Sama sekali tidak begitu. Yang terpikir oleh saya, banyaknya kendaraan yang dimiliki oleh keluarga Andrea, berpotensi menyumbang dampak negatif terhadap lingkungan.
Kalau kita sering menggunakan kendaraan untuk ke tempat-tempat yang “kurang penting”, betapa banyaknya kendaraan yang menyumbang polusi udara. Semakin banyak keluarga seperti keluarga Andrea, berarti akan lebih besar lagi sumbangan polusi di bumi ini. Belum lagi kalau kita memakai kendaraan di tengah-tengah kota. Sudah pasti akan menambah kemacetan. Padahal, kita tidak terlalu perlu menggunakan kendaraan tersebut.
Antara Perubahan Iklim dan Perilaku Manusia
Akhir-akhir ini berkembang lagi isu tentang perubahan iklim. Adanya isu ini tentu karena munculnya fenomena yang dapat mengancam bumi kita.
Bumi yang kita pijak ini ternyata sedang tidak baik-baik saja. Salju di kutub utara dan selatan bumi, sudah mulai mencair. Akibatnya, banyak tempat yang terancam hilang karena tenggelam.
Lapisan ozon yang tugasnya melindungi kita dari paparan sinar matahari yang jahat, sudah bolong di sana-sini. Dampaknya adalah meningkatnya penyakit yang menyerang kulit, karena efek radiasi sinar matahari. Mengerikan, ya?
Salju yang mencair di kutub utara dan selatan serta rusaknya lapisan ozon terjadi karena perilaku manusia. Terlalu banyak hasil pembakaran dari mesin kendaraan, hutan yang semakin gundul karena pembalakan liar, menjadi dua dari banyak penyebab kondisi bumi menjadi “sakit”.
Pernah, suatu hari, saya terheran-heran. Sedang musim kemarau kok, sering banget hujan deras? Bahkan tak jarang disertai angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar. Sebaliknya, ketika seharusnya hujan turun hampir setiap hari, malah terjadi kemarau berkepanjangan.
Kenapa iklim jadi berubah?
Kembali lagi, ini tidak lain adalah karena perilaku manusia yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Perilaku yang bagaimana?
Ini dia perilaku manusia yang dapat menyebabkan perubahan iklim:
- Pakai tisu berlebihan (karena akan semakin banyak pohon yang ditebang untuk dijadikan bahan baku pembuatan kertas/tisu).
- Sering menyalakan pendingin udara ruangan/AC (menyebabkan suhu bumi menjadi lebih panas).
- Boros listrik (ada penguapan listrik yang kemudian menyebabkan semakin banyak terbentuknya gas karbonmonoksida yang merusak lingkungan).
- Pakai kendaraan untuk hal yang nggak terlalu perlu (pembakarannya memicu rusaknya lapisan ozon).
- Banyak menggunakan plastik (limbah plastik menyebabkan pencemaran lingkungan).
- Banyaknya peternakan (limbah peternakan mengandung gas metana yang merusak lingkungan).
Sebaliknya, kebiasaan ringan dan mudah ini bisa membantu mencegah terjadinya perubahan iklim yang ekstrem:
- Kurangi menggunakan kendaraan pribadi. Biasakan naik angkutan umum. Kalau dekat, lebih baik jalan kaki.
- Menggunakan barang yang hemat energi.
- Menanam pohon.
- Kurangi menggunakan pemanas air.
- Kurangi penggunaan AC.
- Menerapkan reuse, reduce, recycle.
Setelah tahu aktivitas yang merusak lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim, kita jadi tahu cara mencegahnya. Yup, kurangi aktivitas tersebut. Bila perlu, hentikan sama sekali. Saya pribadi, nggak mau menjadi salah satu keluarga seperti keluarganya Andrea yang pakai kendaraan Cuma buat pergi ke tempat-tempat yang bahkan terjangkau dengan jalan kaki. Saya pengin ikut ambil bagian jadi #TeamUpforImpact dalam melestarikan lingkungan bumi yang sehat, dan mencegah perubahan iklim. Semua ini demi persembahkan #UntukmuBumiku. Kamu juga, kan?
Tulisannya bagus mba Nunik keren, ajarin aku jadi penulis dong hehehe…😊😊
Boleeh. Hehehe