Beberapa tahun yang lalu, dalam perjalanan darat menuju Yogyakarta, saya pernah mampir di Cirebon untuk makan siang. Yang saya ingat, saat itu Nasi Jamblang begitu istimewa. Sampai saat ini pun saya masih ingat rasa masakan khas Cirebon ini.
Desember 2015 lalu saya main ke Cirebon. Nggak ada acara khusus, sih. Hanya memanfaatkan long weekend karena saat itu ada tanggal merah memperingati Maulid Nabi.
Hotel yang saya tempati berada di pusat kota. Dari sini dekat ke mana-mana. Lingkungannya pun lengkap dengan fasilitas seperti mall, berbagai hotel lain, dan tentu saja tempat-tempat wisata kuliner.
Sebelum sampai ke Cirebon, saya sudah niat banget untuk makan Nasi Jamblang lagi. Maka, ketika sudah berada di Cirebon, saya pun berburu makanan ini. Lokasi hotel sangat dekat dengan warung Nasi Jamblang Bang Dul. Saya hanya perlu berjalan kaki sekitar 200 meter, sampailah di warung yang terkenal ini.
Inilah risiko dari tempat terkenal. Ketika saya sampai di warung ini jam delapan malam, warung sangat penuh! Banyak pembeli yang menyerbu warung ini. Kelihatannya pembeli-pembeli tersebut berasal dari kota lain, dan sebagian besar dari Jakarta. Saya melihatnya dari banyaknya mobil plat B yang terparkir di depan warung. Begitu melihat kerumunan yang penuh sesak, serta tidak tersedianya tempat duduk, saya langsung membatalkan niat makan di sini.
Duh, perut sudah lapar, ditambah suasana yang hiruk pikuk serta tempat duduk yang harus menunggu tamu lain selesai makan, membuat saya langsung merasa lelah. Saya pun memutuskan untuk makan di kedai sebelahnya dan langsung memesan empal asem.
Berhubung saat itu nggak jadi makan Nasi Jamblang, malam berikutnya saya hunting makanan ini di sekitar hotel. Di sebelah kanan hotel ada beberapa warung tenda yang menjual Nasi Jamblang. Saya langsung saja makan di situ karena tempatnya nggak terlalu ramai.
Nasi Jamblang itu seperti Nasi Kucing yang ada di Jakarta dan Yogyakarta. Porsinya sedikit dan banyak pilihan lauknya. Beberapa lauk yang tampak menggiurkan adalah cumi, telur balado, sate usus, ikan tongkol, dan tentu saja sambalnya. Melihatnya saja saya sudah berselera banget. Apalagi bungkusnya menggunakan daun jati yang membuat masakan semakin harum. Wangi daun jati ini mengingatkan masa kecil saya di Pemalang (kota kelahiran alm Ibu) dan Yogyakarta (kota kelahiran saya) yang sering makan dengan beralas daun jati.
Saya pesan satu setengah porsi nasi dan memilih lauk ikan tongkol, sate usus, serta sambal. Ketika makan, saya agak surprise juga. Rasa Nasi Jamblang ini nggak seenak yang saya bayangkan. Saya yang menyukai masakan berbumbu kuat, merasa bahwa lauk-lauk ini kurang berbumbu. Ikan dan sate ususnya nggak gurih, juga kurang asin. Saat mencoba sambal yang tampak sangat menggugah selera, saya juga merasakan keanehan. Sambal ini sama sekali nggak pedas, apalagi asin. Ketika saya mencoba lagi Nasi Jamblang di warung sebelah, rasanya juga sama saja. Mungkin ini jawaban atas pertanyaan tentang membludaknya tamu di kedai Nasi Jamblang Bang Dul. Kalau begitu, kapan-kapan saya harus mencoba makan di kedai yang ramai itu.
Heri says
Memang begitulah nasi Jamblang, sepertinya selera saya juga kurang pas dengan kuliner yang satu ini. DItambah, saya pecinta sayur, dan saya tidak menemukan sayur apa pun di warung Jamblang yang di kota asalnya ?