Ini tentang Kak Yun. Yunita Tresnawati. Sahabat yang satu ini, periang banget. Sehari-harinya banyak ketawa, ngomong, cerita. Dia sosok yang kelihatannya nggak pernah sedih. Bahkan, ketika dalam kondisi yang paling sedih pun, ekspresinya tetap ceria.
Kak Yun tempat saya “bersembunyi”. Kalau sedang di keramaian dan saya merasa nggak nyaman, ada Kak Yun yang “tampil” di depan. Dia yang banyak ngobrol untuk membuat suasana hidup, sementara, saya diam dan “bersembunyi” di “belakangnya”. Dia sangat aktif “menggerakkan” saya, sehingga ketika saya nggak ingin “bergerak”, bisa berubah pikiran karena dia gigih memberi semangat.
Suatu hari pada kehidupan kami, saya dan dia bertemu di sebuah tempat. Ini pertemuan yang nggak direncanakan, tapi saya tahu kami akan bertemu. Saat itu, saya sedang nggak nyaman melakukan apapun. Ketika sampai di tempat pertemuan, saya langsung menyendiri di kejauhan. Saya lihat Kak Yun berdiri mau menghampir saya, tapi berhubung saya tampak tidak ingin diganggu, dia duduk lagi, batal menghampiri saya.
Beberapa jam kemudian, dia benar-benar menghampiri. Ternyata, dia memberi sesuatu. Ikat kepala etnik, oleh-oleh dari Sumba. Dia bilang, saya suka benda-benda etnik, jadi oleh-oleh itu disimpannya begitu lama, menunggu sampai bertemu saya. Saya tercengang. Sebegitunya banget dia ingat saya? Benda kecil, sederhana, tapi disimpan begitu lama, demi ngasih ke saya. Padahal, kalau dia mau, kasih saja ke teman yang lain. Toh, saya nggak tahu. Toh, banyak teman lain yang sudah bertemu lebih dulu. Toh, Kak Yun jadi nggak perlu nunggu bertemu saya, karena pada saat itu kami memang sulit ketemuan.
Ikat kepala yang berharga banget buat saya. Terlebih, ikat kepala itu sangat berjasa. Ya, ketika saya akan pergi umrah, ikat kepala itu saya ikatkan pada gagang koper, sebagai penanda agar tidak tertukar dengan koper lain. Saat itu, ingin sekali saya foto ikat kepala itu dan memberitahu bahwa hadiah darinya, sangat berarti. Sayangnya saya urung melakukannya, karena saya pikir itu hal lebay, sehingga tidak perlu dilakukan. Belakangan, saya sangat menyesal batal melakukannya.
Beberapa hari di Arab, tiba-tiba ada berita sedih. Kak Yun pingsan karena pembuluh darahnya pecah. Dokter nggak berani menangani lebih lanjut karena Kak Yun ternyata juga mengalami masalah pada jantung dan diabetes (kadar gulanya sampai 400, dan selama ini saya nggak tahu). Dengar Kak Yun koma, saya pengin cepat-cepat kembali ke Jakarta untuk jenguk dia.
Sampai di Jakarta, saya sakit, tapi sudah niat banget besoknya mau jenguk Kak Yun di rumah sakit. Kabarnya Kak Yun sudah sadar dan boleh dijenguk. Sayangnya, saya belum sempat ke rumah sakit, Kak Yun sudah dinyatakan meninggal. Malam itu juga, saya pengin banget memaksakan diri takziah. Namun, semuanya nggak memungkinkan. Sudah malam, hujan deras, dan saya makin lemah. Kalau dipaksakan saat itu juga, takut ambruk di jalan.
Akhirnya paginya saya sudah lebih kuat untuk takziah. Begitu sampai rumahnya, saya hanya bisa ikut salat jenazah dan ke makam. Saya sedih karena gagal lihat wajah Kak Yun untuk terakhir kali.
Hal yang membuat saya makin sedih, Kak Yun dimakamkan tepat di hari ulang tahunnya. Umurnya pas banget. Seharusnya, dia sedang bersenang-senang merayakan ulang tahun bersama keluarga atau sahabat-sahabatnya. Seharusnya dia sedang tertawa sambil ceriwis dan ngoceh sana-sini. Seharusnya usianya bertambah satu. Seharusnya dia sedang berdoa mengharapkan jodoh. Seharusnya saya datang ke pernikahannya sambil ikut bahagia karena dia sudah menemukan jodoh.
Eh, seharusnya? Siapa yang mengharuskan?
Ah, betul. Cuma kita, manusia, yang sering bilang “seharusnya”. Padahal, jalan hidup itu sudah ditentukan. Sudah tertulis sebagai takdir. Manusia nggak bisa bilang seharusnya begini, seharusnya begitu.
Satu hal lagi, siapa yang bisa menjamin bahwa di hari ulang tahun, orang yang sedang berulang tahun, dalam keadaan gembira? Siapa tahu sedang dalam keadaan berduka? Siapa tahu sedang bersimpuh di atas sajadah, karena sedang merasakan sedih mendalam? Atau bahkan, siapa tahu, sudah dijemput oleh kematian, seperti Kak Yun?
Jangan terlena dengan ulang tahun. Selain berarti jatah hidup berkurang, ulang tahun tidak selalu berarti sebagai suatu kebahagiaan. Bukan karena tidak ingin ulang tahun, tapi karena menyadari bahwa waktunya berkurang. Itu berarti kesempatan untuk meraih kebahagiaan pun berkurang.
Pemakaman di hari ulang tahun adalah ironis. Tapi, ironis bagi siapa? Cuma bagi manusia, kan? Sudah seharusnya, mulai saat ini, kita menganggap bahwa di hari ulang tahun, apapun bisa terjadi. Hal buruk sekalipun. Oh, apa cuma saya yang terlambat menyadari ini?
Serasa di tampar baca ini..hikshiks 😪
Aku bbrpa mggu ini kangen bgt sm Kak Yun. Baca ini jd makin nyes. Makasih mbak udah nulis 🙂
Alfatihah buat Kak Yun…semoga bahagia disana
Turut belasungkawa Mba .
Innalillahi wa innailahi roji’un. Turut berduka mba.. insyaallah kak Yun husnul khotimah ya mba. Al-Fatihah..