Penyakit kusta masih ada. Orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) tentu juga ada di sekitar kita. Mereka sedang berjuang dengan kondisinya masing-masing. Setelah melalui perjuangan yang berat saat mengalami kusta, mereka juga masih harus berjuang untuk bertahan hidup dengan keterbatasan. Ya, banyak OYPMK yang mengalami disabilitas akibat penyakit tersebut, sehingga kini hidupnya “berbeda” dengan orang yang tidak pernah mengalami kusta.
Kusta Bisa Sembuh, Tapi ….
Beberapa waktu lalu saya menyimak acara talk show Ruang Publik KBR. Temanya adalah Makna Kemerdekaan bagi OYPMK, Seperti Apa?
Narasumber pada acara ini adalah dr. Mimi Mariani Lusli (Direktur Mimi Institute) dan Marsinah Dhedhe (aktivis wanita/difabel/OYPMK).
Dokter Mimi memberi penjelasan bahwa penderita kusta bisa sembuh. Pasien yang sudah mengonsumsi obat tertentu secara rutin, sudah dinyatakan sembuh total dan tentunya sudah tidak berpotensi menularkan lagi.
Sayangnya, ada orang yang sudah telanjur mengalami disabilitas, terutama pada bagian tangan, kaki, atau wajah. Meskipun sudah sembuh dan dinyatakan release from treatment (RFT), kebanyakan dari OYPMK terjebak dalam diskriminasi. Kustanya sembuh tapi diskriminasinya belum berakhir.
Beri Edukasi pada Masyarakat
Marsinah Dhedhe adalah salah satu OYPMK. Seperti OYPMK lain, Dhedhe juga mengalami diskriminasi. Sampai saat ini masih juga beredar stigma di masyarakat bahwa OYPMK bisa terus menularkan orang lain, tidak bisa diajak bekerja bersama dan membaur dengan masyarakat karena memiliki perbedaan. Padahal, OYPMK sama seperti orang-orang lain yang tidak mengalami kusta. Setelah benar-benar sembuh, OYPMK bisa kembali bermasyarakat.
Salah satu pengalaman Dhedhe sebagai OYPMK adalah, orang-orang tidak mau bersalaman dengannya. Alasannya, takut tertular. Padalah Dhedhe sudah dinyatakan RFT yang artinya sudah sembuh total dan selesai pengobatan secara tuntas.
Dhedhe mengatakan, ketika hal ini terjadi, dirinya lah yang harus memberikan edukasi pada masyarakat. Pada saat ada orang yang menolak bersalaman, katakan pada orang itu bahwa dirinya sudah sembuh, sudah tidak menularkan lagi sama sekali. Jadi, bersalaman dengan OYPMK adalah aktivitas yang tidak berisiko sama sekali.
Pada kenyataannya memang banyak orang yang tidak tahu bahwa kusta bisa sembuh. Salah satunya adalah karena masih beredarnya stigma tersebut. Banyak orang yang tidak mengerti sehingga menelan stigma bulat-bulat tanpa tahu kebenarannya.
Menurut Dhedhe, memberi edukasi ke masyarakat adalah salah satu bentuk kemerdekaan bagi OYPMK. Ini adalah hal kecil tetapi ketika selalu dilakukan, lambat laun akan menghapus stigma, dan akhirnya berhasil mengedukasi masyarakat tentang kusta.
Kemerdekaan yang Lebih Luas
Dalam rangka Hari Kemerdekaan ini, talk show Ruang Publik kali ini juga membahas tentang kemerdekaan yang lebih luas bagi OYPMK. Sudah seharusnya OYPMK merdeka dalam hidup. Mereka bisa memaknai kemerdekaan dengan cara lebih leluasa menjalani hidup seperti orang “normal” pada umumnya. Mereka juga memiliki kebebasan dalam berkarya, mendapat kesejahteraan mental, serta bisa bersosialisasi di masyarakat tanpa hambatan dan stigma.
Mimi Institute lahir dari keterbatasan dr. Mimi. Ketika usia 17 tahun, dr. Mimi mengalami kebutaan. Pada saat itu Mimi merasa dunia seakan runtuh. Dia tidak lagi punya harapan masa depan. Stres, cemas, syok, dan depresi, pastinya.
Namun, lama kelamaan, Mimi bisa memupuk dirinya menjadi kuat dan mandiri. Lalu, tahun 2009 Mimi mendirikan lembaga Mimi Institute. Ini adalah lembaga yang mengusung konsep disability for better life.
Lembaga ini bertujuan memberi edukasi ke masyarakat bahwa pada mereka bisa terbiasa berinteraksi dengan dengan para disabilitas. Sebaliknya, para disabilitas bisa berkonsultasi sehingga kehidupannya bisa lebih baik dan bermakna.
Ada kegiatan seperti seminar, publikasi, menulis buku, memberikan modul pada masyarakat agar lebih mengenal disabilitas dan cara berinteraksinya, dan lain-lain.
Pada disabilitas yang bisa bergabung atau berkonsultasi di lembaga ini, bukan hanya yang disebabkan oleh kusta. Penyandang disabilitas karena penyebab lain pun boleh ikut bergabung dan berinteraksi.
Inilah makna kemerdekaan bagi OYPMK dan para penyandang disabilitas yang lebih luas.
Di Indonesia memang sudah ada undang-undang tentang hak perlindungan dan hak penyandang disabilitas. Namun, penerapannya belum maksimal. Keberadaan lembaga seperti Mimi Institute inilah yang akan lebih mengenalkan ke masyarakat, sehingga undang-undang tersebut juga lebih maksimal implementasinya.
Melalui tulisan ini saya sampaikan isi talk show Ruang Publik KBR, agar semakin banyak orang yang tahu bahwa OYPMK juga sudah bisa terjun dan membaur ke masyarakat, seperti orang-orang yang tidak pernah terkena kusta. Jadi, sebagai masyarakat umum kita juga harus menyambut mereka. Tidak ada alasan untuk menolak kehadiran mereka, kok. Apalagi mereka sudah sembuh total. Sudah saatnya juga kita memerdekakan pikiran dari belenggu stigma yang merugikan banyak pihak.
Leave a Reply