Sudah lama saya ingin masuk ke Museum Indonesia, tapi waktunya selalu tidak tepat. Kali ini, sebenarnya waktunya juga sangat tidak tepat. Saya, suami, dan Mas Rexy sampai di depan museum ini pukul 16.00, tepat ketika museum (seharusnya) tutup. Dengan sedikit “pemaksaan”, akhirnya penjaga museum yang ramah, mengizinkan kami masuk. Ternyata, petugas ini sudah mengenal suami saya (yang sering melakukan pemotretan di Museum Indonesia). Ohh, pantas kami masih boleh masuk :D.
Tiket masuk yang seharusnya Rp. 10.000/orang, di hari ulang tahun TMII ini menjadi Rp. 10.000/2 orang. Dan, karena sudah jam tutup, kami hanya diminta membayar Rp. 10.000 untuk 3 orang, ditambah izin membawa kamera, Rp. 5.000. Asyiikkk, murah banget! 😀
Meskipun sudah sore, pengunjung museum masih banyak. Tuh kan, ini bukti bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya senang mengunjungi museum 😀
Arsitektur museum yang bergaya Bali ini terlihat sangat indah. Tak heran jika banyak orang rela mengantri untuk berfoto. Saya sendiri sudah beberapa kali berfoto di sini bersama teman-teman, sejak 2005.
Museum Indonesia ini dibangun pada 1976 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1980, bertepatan dengan ulang tahun TMII yang ke-5. Museum ini terdiri atas tiga lantai. Lantai satu yang bertema Bhinneka Tunggal Ika, menampilkan pakaian adat dari seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu juga terdapat berbagai macam gamelan dan jenis-jenis wayang. Benda-benda di lantai satu ini mencerminkan keragaman budaya yang ada di Indonesia.
Di lantai dua, pengunjung akan menemukan diorama-diorama yang menggambarkan budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Contohnya, upacara turun tanah untuk bayi, upacara khitanan, kamar pengantin Palembang, dan upacara pemilihan ketua adat. Saya sangat ingin berlama-lama di setiap diorama ini. Menurut saya, upacara-upacara ini sangat unik. Lewat museum ini, saya bisa membayangkan ketika upacara itu berlangsung. Sayang, sempitnya waktu membuat saya harus cepat-cepat beranjak dari dari lantai 2.
Sesuai dengan tema Seni dan Kriya, lantai tiga menampilkan seluruh benda buatan masyarakat Indonesia. Benda-benda itu berupa karya seni logam, ukiran dari kayu, serta batik dan kain-kain indah, mahakarya anak negeri. Benda-benda yang ditampilkan ini tidak hanya karya yang dihasilkan di zaman modern, tetapi juga karya sejak zaman baru dikenalnya tulisan. Tulisan-tulisan yang ditorehkan di atas daun lontar pun dipajang di salah satu diorama di lantai 3.
Saran saya, keberadaan museum-museum di TMII ini (terutama Museum Indoneisa), agar lebih disosialisasikan ke masyarakat. Pihak TMII juga hendaknya lebih sering menggelar event yang ada hubungannya dengan museum. Tidak hanya untuk para blogger (yang selama ini saya ikuti) dan anak-anak sekolah, tetapi juga untuk masyarakat umum. Setidaknya, akan membuat museum lebih memasyarakat, sesuai dengan misi TMII dengan slogan “Museum di Hatiku”. Semoga saja museum-museum di Indonesia semakin diminati, seperti Museum Louvre di Paris yang selalu dipadati pengunjung.
Sebenarnya, saya belum puas memandangi, menikmati, membayangkan, dan memotret benda-benda koleksi Museum Indonesia. Tapi, seorang petugas sudah menghampiri kami dan memberitahukan bahwa jam berkunjung benar-benar telah selesai. Kami pun bergegas turun. Dalam hati, saya berniat akan kembali lagi ke sini, dengan waktu yang lebih panjang.
Leave a Reply