Kamu sudah pernah ke Museum Batik Pekalongan? Saya sudah, dong. Sebenarnya tempat ini sudah ada dalam daftar wajib kunjung bagi saya. Namun, beberapa kali ke Pekalongan, waktunya nggak cukup untuk pergi-pergi ke tempat wisata. Saat pulang kampung ke Pemalang yang letaknya sebelahan banget dengan Pekalongan (satu jam perjalanan ditempuh dengan roda empat) pun nggak sempat main ke Pekalongan. Padahal beberapa tahun lalu saya sudah pernah bilang ke Mas Dewa, “pemilik” Museum Batik Pekalongan, untuk berkunjung dan minta diantar keliling museum. Ya, Mas Dewa adalah Staf Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Museum Pekalongan, di bawah Dinparbudpora Kota Pekalongan. Ketika saya ikut Familiarization Trip (Famtrip) Jawa Tengah on the Spot yang salah satu agendanya adalah ke Museum Pekalongan, boleh dong, saya jingkrak-jingkrakan? Akhirnya keinginan main ke Museum Batik Pekalongan, kesampaian.


Tentang Museum Batik Pekalongan
Saya berangkat ke Pekalongan, dari Solo. Sebab, kebetulan saya sudah beberapa hari berada di Solo. Setelah menginap satu malam di Pekalongan, paginya beberapa teman sesama peserta famtrip, datang dari Jakarta. Mereka menyusul saya untuk kemudian sama-sama ke Museum Batik Pekalongan, di Jl. Jatayu No.1, Pekalongan, Jawa Tengah.
Arsitektur Museum Batik Pekalongan ini tipikal gedung buatan Belanda. Jadi gayanya ala Eropa. Atapnya tinggi, dindingnya terbuat dari batu di bagian bawah hingga beberapa meter ke atas, dan jendelanya memanjang ke atas.
Gedung ini dibuat tahun 1906. Luas bangunannya 2.500 m2, berdiri di atas lahan seluas 3.675 m2. Dahulu gedung ini adalah kantor administrasi keuangan untuk tujuh pabrik gula di karesidenan Pekalongan. Nah, ada cerita menarik tentang pabrik gula ini. Nanti saya buatkan di tulisan terpisah, ya.


Dalam perjalanannya, gedung ini berubah fungsi menjadi Balai Kota, Kantor Walikota, sampai kantor pemerintah kota. Tanggal 12 Juli 1972 barulah gedung ini digunakan sebagai museum batik. Di tanggal yang sama, tahun 2006, Museum Batik Pekalongan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Koleksi batik yang tersimpan di museum ini ada 1.149 lembar. Ada yang usianya sudah ratusan tahun, ada juga yang baru. Ada batik tulis dan batik cap. Ada yang berasal dari daerah Jawa serta dari daerah lain di Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Ada yang dari daerah pedalaman maupun pesisiran, seperti Cirebon, Batang, Rembang, dan tentu saja Pekalongan sendiri. Yup, sejak abad ke-14 Pekalongan menjadi penghasil batik yang terkenal.
Belajar Membatik
Setiap mendengar kata “batik pekalongan” saya langsung ingat batik jlamprang, batik tiga negeri, batik Von Franquemont (yang kemudian disebut dengan batik prankemonan), batik Eva Van Zuylen, sebagai maskot Batik Pekalongan. Semua nama ini sudah pernah saya baca sejarahnya, sampai habis. Saya jadi tahu bahwa di Pekalongan ada pembatik Belanda yang hasil karyanya masih ada hingga sekarang. Saya juga jadi tahu bahwa batik tiga negeri harus diwarnai di tiga kota di Jawa, karena hanya kota tersebut yang memiliki pewarna masing-masing warna. Saya pun tahu bahwa dahulu, para perempuan yang tinggal di Jalan Perang, membatik untuk menghabiskan waktu sambil menunggu suaminya yang pergi berperang. Karenanya, batik-batik jenis tertentu itu disebut batik jlamprang (dari kata “jalan perang”). Menakjubkan, ya?
Nah, sekarang, Museum Batik Pekalongan menyediakan kelas untuk membatik. Tentu saja saya nggak mau ketinggalan untuk ikutan. Kapan lagi belajar membatik di kota batik yang legendaris, kalau bukan sekarang?

Ternyata sampai sekarang masih banyak orang yang belum tahu, bahwa batik adalah kain yang dibuat dengan sederet proses. Iya, selembar kain yang disebut batik, harus melalui proses nyungging (kadang-kadang disebut mola yaitu membuat pola), nglowong (menutup bagian kain dengan malam, menggunakan canting), ngelir (melakukan proses pewarnaan), nglorod (meluruhkan atau melepas malam/lilin). Sampai sini, batik sudah jadi. Namun ini hanya proses sederhana. Kalau batiknya mau yang bagus, di antara proses-proses yang tadi saya sebutkan masih ada proses lain yang harus dilakukan, yaitu ngiseni (membuat motif isian di antara motif utama), nyolet (mewarnai bagian tertentu dengan menggunakan kuas), mopok (menutup bagian yang dicolet, dengan menggunakan malam/lilin), nembok (menutup dasar kain yang tidak ingin diwarnai), nyecek (memberi cecek atau hiasan berupa titik-titik di antara motif utama dan isen-isen) dan sederet proses lainnya. Rumit banget, kan? Nggak heran, selembar batik itu harganya mahal.
















Saya mencoba membuat batik dengan proses yang sederhana. Itu pun susah, lho. Saya menggunakan perpaduan antara batik cap dan batik tulis. Bedanya, batik tulis, motifnya digambar langsung menggunakan tangan. Batik cap, menggunakan cap yang sudah ada. Betul, lebih enak dan mudah menggunakan cap. Namun, kalau menerapkan capnya belum ahli banget, lilin yang ada di cap nggak bisa menempel sempurna di kain. Akibatnya, motif yang ada di kain bisa nggak sama tebal tipisnya.
Meskipun hobi baca segala sesuatu tentang batik, saya awam dan amatir banget dalam hal membuat batik. Lihat saja hasilnya. Tapi lumayan lah buat pemula. Yang terpenting, saya bisa merasakan sulitnya membuat batik, sehingga akan lebih menghargai kain keren ini.












Jadi, sebenarnya batik printing itu tidak bisa disebut sebagai batik. Sebab, tidak melalui proses yang tadi sudah saya sebutkan. Namun, dalam perjalanannya, batik printing lebih populer karena harganya lebih murah dan proses pembuatannya lebih cepat. Batik printing pun akhirnya digunakan sebagai media promosi batik agar orang mengenal batik tulis dan batik cap.
Menjelajah Museum Batik
Akhirnya saya bertemu lagi dengan Mas Dewa. Saat saya berada di pintu masuk, Mas Dewa memanggil saya. Padahal saya mengira Mas Dewa sudah tidak mengenali saya karena terakhir bertemu tahun 2017. Saya dan teman-teman famtrip pun menjelajah museum dengan dipandu oleh Mas Dewa.


Museum ini dibagi menjadi beberapa ruangan, yaitu:
Aula Museum Batik
Ruangan ini biasa digunakan untuk menerima para tamu. Bisa juga digunakan apabila ada acara tertentu. Saya yang datang ke museum lebih dahulu daripada rombongan famtrip, tidak menunggu di sini, melainkan langsung ke ruang praktik membuat batik. Namun, setelah acara membatik selesai, dipersilakan beristirahat di ruang VIP sambil menunggu peserta laki-laki yang salat Jumat.

Ruang Pamer 1 (Ruang Pesisiran)
Di sini ditampilkan koleksi batik pesisiran dari berbagai daerah di Jawa. Ciri khas batik pesisir adalah motif bunga yang bergerombol (buketan), dengan warna-warna cerah. Selain motif klasik tertentu, saya juga suka beberapa batik motif pesisiran karena warnanya terang.
Ruang Pamer 2 (Ruang Nusantara)
Ini tempat memamerkan batik koleksi langka. Kalau kamu ingin melihat batik yang usianya minimal setengah abad, ada di sini. Kesimpulan saya, batik-batik klasik itu warnanya kalem, lembut, dan terkesan kusam atau suram. Ini karena bahan pewarnanya menggunakan pewarna alami seperti kulit pohon, akar pohon, dan rempah-rempah. Justru batik yang menggunakan pewarna alami ini yang harganya selangit. Selain membuatnya sulit dan lama, usianya juga sudah tua.
Ruang Pamer 3 (Ruang Pedalaman)
Di sini tempat koleksi batik dari pedalaman Indonesia, seperti Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan pulau lain. Batik nggak hanya identik dengan Jawa. Semua daerah di Indonesia punya kain yang dibuat dengan proses seperti membatik di Jawa. Motifnya juga beda-beda sesuai ciri khas pulau masing-masing. Saya senang banget melihat koleksi dari luar Jawa ini. Sambil melihat-lihat, saya menebak asal batik ini dari motifnya dan kemudian membaca keterangan seluruhnya. Asyik lho, bisa tahu tentang batik-batik dari seluruh penjuru nusantara.
Ruang Audio Visual
Pengen tahu lebih banyak info tentang batik? Bisa masuk ke ruang audio visualnya untuk nonton infonya.
Perpustakaan
Saya punya beberapa buku tentang batik. Semua dicetak secara luks dan harganya paling murah Rp300.000. Ada juga hadiah dari Kementerian Pariwisata dan ini hanya untuk kalangan terbatas. Nah, di Museum Batik Pekalongan, ada lebih banyak buku tentang batik yang jauh lebih bagus. Bakalan betah deh, berlama-lama di sini.
Wah, saya nih, kalau ngomongin batik, rasanya nggak akan bisa berhenti. Ini saja nulisnya sudah panjang banget, ya. Terima kasih banget kepada Disporapar Jawa Tengah yang sudah ajak saya ke sini, dalam program Famtrip Jateng on The Spot. Saya jadi bisa memuaskan keinginan menjelajah Museum Batik Pekalongan.
Daripada saya lebih berpanjang lebar lagi, sudah deh, main saja langsung ke Museum Batik Pekalongan, yuk! Kapan-kapan saya juga mau main lagi ke sini, ah.
Iya aku juga belum pernah ke museum batik. Padahal tiap mau ke batang kampung ibuk. Pasti lewat sini. Kayanya tahun ini pengen eksplor Pekalongan jadinya
Ayok jadwalin, Mbak Ipeh. Asyik banget lho main di sini. Trus jangan lupa mampir ke kafe limun oriental di dekat Museum Batik ?
tempat keren biar tahu lebih dalam tentang batik pekalongan yang mendunia