Setiap melihat jam dinding kayu antik di mana pun, pikiran saya langsung terbang ke Yogyakarta. Bagi banyak orang, Yogyakarta memang istimewa. Sebagai tempat wisata yang penuh pesona, kota itu menyimpan berjuta kenangan bagi para wisatawan dan membuat mereka ingin mengulangi lagi masa-masa liburan yang indah di sana.
Sementara, bagi saya, Yogyakarta bukan lagi sekadar tempat berlibur. Kota itu memiliki arti yang lebih dalam dan luas. Banyak hal yang menjadikannya seperti itu, karena di kota itulah saya dilahirkan.
Dulu, sewaktu Mama masih ada, Mama dan Bapak sering ngobrol. Isi obrolannya adalah mengenang saat saya lahir. Saya senang mendengarkan kedua orangtua saya mengobrol dalam bahasa Jawa, membicarakan kehidupan mereka saat saya masih kecil. Saya pun dibesarkan di lingkungan keluarga Yogya. Saya hidup di rumah keluarga dengan nuansa Jawa yang kental. Bangku-bangku kayu berukir etnik, lemari pakaian dari kayu berwarna hitam kecokelatan, serta jam dinding kayu antik yang tak terlupakan.

Hampir setiap hari saya bermain sepeda di halaman candi, tepat di depan rumah. Saya main petak umpet sambil duduk anteng bersembunyi di dahan pohon, yang ada di halaman candi. Yang juga mengasyikkan, beberapa anggota keluarga sering duduk-duduk menikmati teh di sore hari, dengan menggelar tikar di halaman rumah, di bawah pohon-pohon waru. Sore-sore juga, saya menyaksikan Bulik menyapu halaman yang kotor karena daun dan kembang waru yang berguguran.
Sayangnya, sebelum memasuki usia sekolah, orangtua saya harus memboyong saya pindah ke Jakarta. Jadilah saya besar di Jakarta dan masih sering pulang ke Yogya.
Meskipun waktu terus berjalan, kenangan tentang kehidupan masa kecil di Yogya tidak pernah hilang. Kenangan itu pula yang membuat saya punya cita-cita kembali tinggal di Yogya pada masa tua nanti.

Yang terbayang di benak, saya akan tinggal bersama keluarga, tidak jauh dari tempat kelahiran saya. Saya ingin punya rumah yang nyaman di Yogya. Rumah dengan jam dinding kayu antik seperti yang dimiliki Simbah dahulu. Rumah dengan hiasan ukiran kayu yang membuat saya betah berlama-lama memandangnya. Rumah dengan perabotan dari kayu bergaya etnik serta patung loro blonyo yang mengenakan kain batik. Juga, bangku-bangku yang terbuat dari gedhek.
Dalam bayangan saya, rumah yang akan saya tempati nanti pada masa tua di Yogya, gabungan antara klasik Jawa dan modern. Di antara kain batik berpigura yang menghias dinding, ada hiasan berupa lilin yang cantik. Di tengah ruang utama yang berhias loro blonyo, langit-langitnya terdapat chandelier dari kristal. Lemari-lemari kayu berukirnya juga akan saya penuhi dengan koleksi-koleksi batik bermotif Jawa klasik sekaligus modern.

Selain kota impian dan rumah idaman untuk masa tua, saya juga sudah merencanakan kegiatan yang akan saya lakukan di masa pensiun nanti. Di Yogya yang tenang, rumah yang teduh, dan lingkungan yang nyaman, saya akan terus menulis. Sudah lebih dari sepuluh tahun saya menekuni dunia menulis. Di tengah perjalanan itu pula saya menyadari bahwa dunia menulis tidak ada masa pensiunnya. Saya akan terus menulis, berapa pun usia saya. Sebab, di dunia menulis, yang dibutuhkan adalah hasil karyanya, bukan penulisnya. Karyanya lah yang akan dinikmati para pembaca. Jadi, tidak perlu untuk selalu muda ketika kita memutuskan untuk menjadi penulis. Tidak harus usia muda untuk menghasilkan karya berupa tulisan.

Nanti, saya akan “bersembunyi” di Yogya. Karya saya lah yang akan “berbicara”. Pada intinya, selagi masih masih mampu berpikir, berimajinasi, dan menuangkannya ke dalam untaian kata, saya akan terus menulis.
Semua rencana sudah saya pikirkan. Sekarang, waktunya kembali bekerja keras untuk mewujudkan semua impian. Satu hal lagi, meskipun masa pensiun masih lama, saya sesekali sudah mulai mencari inspirasi tentang barang yang nantinya ada di rumah impian saya. Termasuk jam dinding kayu antik warna hitam kecokelatan.
Nunik masa kecilnya di Yogya ternyata ya? Kukira di Betawi 😀
Lihat loro blonyo itu suka tertarik aku.
Hehehe… Yogya dan Jakarta, Teh.
makasih mbak sharingnya, mga makin sukses
sama-sama 🙂
Jogja emang ngangenin. termasuk saya yang pingin sekali bisa kembali kesana.
Banget, Mas, Jogja memang tempat pulang 😀
wah memang kalau mengoleksi barang antik itu ada sensasinya. Selain lumayan untuk dipandang juga kita bisa mendapatkan inspirasi. Mbak ngomong-nomong harganya jam antik itu berapa ya umumnya?
Saya juga lagi cari-cari harganya nih, Mas 🙂
Jogja memang Istimewa!
Saya juga terpesona dengan jam dinding kayu yang antik seperti itu….
Jam dindingnya keren banget, cek harga dimana ya mba?
unik juga jam dindingnya