Dimuat di Majalah Bravo! edisi Agustus 2008
Heri masih berusaha menjajakan koran di lampu merah. Sudah siang, baru sedikit sekali yang terjual. Padahal Ibu masih sakit. Heri perlu uang banyak untuk membeli obat.
Heri mengusap keringatnya. Perutnya terasa lapar. Uangnya belum cukup untuk membeli makanan.
“Her, koranmu masih banyak?” Beni menghampiri.
Heri mengangguk lemah.
“Kamu sudah makan?” tanya Beni.
Kali ini Heri menggeleng.
“Kita makan yuk. Ini aku punya uang,” Beni menunjukkan beberapa lembar uang puluhan ribu.
Hari ini Beni lebih beruntung. Korannya habis terjual. Lalu digandengnya Heri menuju warung makan di seberang jalan.
“Terima kasih ya, Ben. Kamu memang sahabat yang paling baik,” kata Heri setelah selesai makan.
Beni mengangguk sambil tersenyum.
“Ini sisa uangku. Buat kamu saja. Agar kamu bisa membeli obat untuk ibu,” Beni menyerahkan gulungan uang kertas yang sudah lecek.
“Tidak usah, Ben. Biar aku berusaha sendiri saja,” Heri menggeleng sambil melirik koran-koran miliknya yang belum terjual.
“Tidak apa-apa, Her. Ayo, ambillah,” Beni memaksa dan memasukkan uang itu ke dalam saku baju Heri.
“Ah, terima kasih ya Ben,” Heri jadi terharu. Beni begitu baik padanya.
“Iya, sama-sama,” jawab Beni. “Sekarang aku pulang dulu, ya. Aku mau membantu ayah membersihkan halaman rumah Pak Adi,”
Beni adalah teman sekelas Heri di SD Harapan Bangsa. Mereka sama-sama duduk di kelas VI-A. Tapi Beni lebih beruntung. Ia masih punya ayah dan ibu. Ayahnya bekerja sebagai tukang kebun di rumah Pak Adi, juragan beras. Ibunya adalah seorang penjahit. Sedangkan Heri sudah tidak punya ayah. Ibunya hanya seorang buruh cuci. Dan sekarang, ibu sedang sakit. Jadi tidak bisa bekerja. Oleh karena itu Heri harus benar-benar bekerja keras menjadi penjual koran untuk biaya sekolahnya.
Setelah makan, Heri meneruskan menjual koran. Ia duduk di dekat pintu masuk sebuah gedung perkantoran. Siapa tahu saja ada yang membeli.
Tiba-tiba, mata Heri tertumbuk pada suatu benda yang tergeletak di lantai. Heri mengambil benda itu. Oh! Sebuah dompet!
“Dompet ini milik siapa ya?” tanya Heri pada dirinya sendiri. Heri melihat-lihat ke sekitarnya. Siapa tahu pemilik dompet itu masih ada. Ah, tempat itu sepi. Hanya ada Pak Satpam yang sedang bertugas di pintu gerbang.
Heri merasa bingung. Hatinya bimbang antara ingin menyerahkan dompet itu pada Pak Satpam atau diambil saja.
Diam-diam, Heri melihat isi dompet itu. Astaga! Uangnya banyak sekali! Jantung Heri berdetak lebih keras.
Heri semakin bimbang. Terlintas di pikirannya untuk mengambil uang itu. Kalau punya uang sebanyak itu, pasti ia bisa membelikan obat untuk Ibu.
Heri ingat ibu lagi. Ibu pasti masih tergeletak lemah sambil menunggu ia pulang. Ambil… Jangan… Ambil… Jangan…
“Ah, aku ambil saja. Semuanya akan aku pakai untuk membeli obat buat ibu!” kata Heri, senang. Ia lalu berlari pulang membawa dompet itu.
Sesampainya di rumah, Heri langsung memeluk ibunya yang masih terbaring lemah.
“Ibu! Aku menemukan dompet ini. Uangnya banyak sekali, Bu. Aku pakai buat beli obat ya, Bu?” seru Heri.
“Heri…Uang itu bukan milikmu. Ayo kembalikan!” ujar ibu.
Heri terkejut. Ia tak menyangka ibunya berkata seperti itu.
“Tapi…. Ibu kan perlu uang untuk berobat…,” ujar Heri pelan.
“Tidak, Heri. Uang itu milik orang lain. Kalau kamu memakai uang itu, berarti kamu saja saja dengan pencuri,” sahut Ibu.
Ah, kata-kata ibu benar. Heri baru menyadari.
“Coba kau buka lagi dompet itu. Didalamnya pasti ada kartu pengenal si pemilik dompet,” kata Ibu.
Heri membuka dompet itu lagi. Benar. Ada kartu pengenalnya. Namanya Pak Anwar. Alamatnya di Jalan Mawar nomor tujuh. Hmmm… Heri tahu tempat itu. Ia sudah sering mengantar koran ke daerah sana. Selain kartu pengenal, masih banyak lagi kertas-kertas lain yang ada di dompet itu.
***
“Oh, terima kasih sekali, Nak. Di dalam dompet ini banyak kertas-kertas yang penting sekali. Saya sangat memerlukan kertas-kertas itu,” Pak Anwar memeluk pundak Heri.
“Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Terima kasih,” Heri tersenyum. Hatinya lega sekali karena ia memilih menuruti kata-kata Ibu untuk mengembalikan dompet itu. Heri juga bahagia melihat Pak Anwar sangat senang dompetnya sudah kembali.
“Tunggu, Nak Heri. Boleh Bapak datang ke rumahmu?”
Heri terkejut. Tanpa sadar ia bertanya “Untuk apa, Pak?”
***
Saat ini Heri duduk tersenyum di dalam sebuah kios koran yang lumayan besar. Ya, Pak Anwar memberikan kios tersebut untuk Heri, agar Heri bisa menjual koran lebih banyak. Heri juga tidak kepanasan ataupun kehujanan ketika menjajakan koran.
Disamping Heri, Ibu tersenyum senang. Penyakitnya sudah sembuh. Pak Anwar juga yang membiayai pengobatan ibu.
“Beni, ayo makan dulu. Sudah siang, nih,” teriak Heri pada Beni yang sedang melayani pembeli. Heri memang mengajak Beni untuk membantunya menjual koran di kiosnya yang baru.
“Sebentar lagi, Bos Heri. Ini masih banyak pembeli,” ujar Beni sambil tersenyum menggoda Heri.
Heri dan Ibu tertawa melihat kelakuan Beni. Ini semua adalah hadiah berkat kejujuran Heri.
Leave a Reply