Judul: Versa Venezia
Penulis: Nunik Utami
Dear Lois,
Kugenggam sekuntum mawar
Yang telah kuisi dengan cinta
Dan haru biru dalam hatiku
Siap kutaburkan kelopaknya
Tuk menggapai seluruh hatimu
Akankah kau terima?
Setelah berulang kali membacanya, dengan hati-hati Sandy melipat kertas merah muda itu. Ada desir halus dihatinya. Desir penuh cinta dan harapan pada Lois, cewek kalem dikampusnya. Dimata Sandy, Lois adalah gadis yang sederhana. Tidak pernah bertingkah aneh-aneh seperti teman-teman cewek dikampusnya.
Lois tidak seperti Dhea, cewek gaul yang selalu pakai rok diatas lutut, atau seperti Fika, cewek modis yang dandanannya bak model kondang, atau Villa yang –katanya- adalah simpanan om-om. Huh, Sandy tau persis, itu semua dilakoni mereka karena mereka saling berlomba-lomba mendapat perhatian dari para pria. Dan parahnya lagi, Villa, cewek yang menurut Sandy “ancur banget” itu sepertinya tak kapok-kapok untuk mengejarnya.
Namun hati Sandy tak bisa lepas dari Lois. Cewek manis, kalem dan tak banyak tingkah itu terasa beda. Disaat yang lain berusaha untuk jadi yang tercantik, tergaul, dan terseksi, Lois malah santai-santai saja. Seperti tak ada sesuatu yang dikejarnya. Hanya seperti air yang mengalir mengikuti arusnya. Atau seperti angin yang mengikuti saja kemana hembusannya. Dan itulah yang membuat Sandy berusaha mendapatkan cinta Lois.
Tapi Lois memang benar-benar beda. Ia bukan cewek yang mudah dirayu. Bukan cewek yang mudah memberikan cintanya pada laki-laki. Dan itu cukup membuat Sandy jatuh bangun.
“Lo, aku nggak minta jawabanmu cepat-cepat. Kamu bisa memikirkan dulu,” Kata Sandy disuatu siang, di kantin kampus, beberapa hari setelah ia memberikan surat merah muda itu.
“San, aku nggak bisa. Aku nggak mau membuatmu kecewa. Please jangan ganggu aku, San,”
Sandy terpana dengan jawaban yang keluar dari bibir cewek kalem ini.
“Lo, please…. Tolong dipikirkan dulu. Aku nggak yakin itu jawaban yang benar-benar dari hatimu,”
Lois menghela nafas. Rambut panjangnya berkibar tertiup angin. Pandangannya menerawang jauh ke arah taman. Membuat Sandy semakin gemas.
“Aku sudah yakin itu jawabanku, San,”
“Lois?? Kenapa??” Sandy terlonjak. Diraihnya tangan Lois. “Kamu… kamu nggak boleh pacaran sama Papamu?”
Kini Lois yang terlonjak. Matanya menatap tajam ke wajah Sandy.
“Bukan itu…”
“Tapi apa?”
“Kamu nggak akan pernah mengerti aku, San…”
***
Sandy kembali termangu di bangku kantin. Kali ini tanpa Lois. Sandy sibuk memikirkan kata-kata Lois kemarin. Sebenarnya ada apa sih? Apa ia bertepuk sebelah tangan? Kalau ya, kenapa Lois tidak bilang saja terus terang? Kenapa gadis itu sepertinya menyembunyikan sesuatu?
Pikiran Sandy keruh seperti es campur didepannya yang hanya diaduk-aduk. Sandy ingat pertama kali ia datang ke rumah Lois. Setelah berjuang keras, akhirnya Sandy berhasil “memaksa” mengantarkan gadis itu pulang.
Lois hanya tinggal bersama Papanya. Jadi Sandy maklum kalau selama perjalanan dari kampus hingga ke rumahnya Lois tampak ketakutan. Loispun sempat minta maaf kalau-kalau nanti Papanya tidak bisa bersikap menerima.
Dan benar saja. Sesampainya dirumah, Papa Lois memasang tampang bengisnya. Kelihatan sekali bahwa laki-laki setengah tua itu tak menyukai kedatangannya. Tapi Sandy tak mau ambil pusing. Toh tujuannya baik. Hanya ingin mengenal anak gadisnya lebih jauh. Apa salahnya kan?
Tapi Sandy memang salah. Esok paginya Lois masuk kampus dengan wajah memar-memar. Sandy shock mendengar penuturan Lois. Ia dipukuli Papanya karena berani membawa laki-laki ke rumahnya. Hati Sandy pedih melihat gadis yang dicintainya itu dianiaya orangtuanya sendiri. Ia ingin sekali menolongnya. Tapi bagaimana caranya?
“Hei! Kok melamun?”
Huh, Villa, si Cewek Ancur itu. Dandanannya seperti biasa. Baju dan celana panjang merk terbaru, gaya rambut diikat keatas, dan harum tubuhnya berasal dari parfum merk terkenal yang harganya selangit.
“Hei, Vil…” Kata Sandy tak bersemangat.
Villa duduk didepan Sandy dan melambaikan tangan memesan minum ke pelayan kantin. Kuku Villa yang dicat kuning terang membuat Sandy sedikit sakit mata. Tangannya memegang sebuah buku yang menurut Sandy covernya sangat keren. Sekilas terbaca judulnya “Keajaiban Bunga”.
“San, tau nggak. Aku baru aja baca buku ini. Isinya tentang macam-macam bunga yang ternyata ada artinya masing-masing…,” Villa berkata penuh semangat. Sementara Sandy tetap malas-malasan di bangkunya. Jujur saja, bicara dengan Villa adalah sesuatu yang membosankan. Ah, andaikan yang didepannya adalah Lois, pasti Sandy akan semangat, tak peduli apapun yang dibicarakan.
“San, kamu kan tau aku suka bunga, nanti pulang kampus antar aku ke florist yuk.,”
Sandy menghela nafas. Malas rasanya berdekatan dengan gadis ini. Tapi ia terlalu capek untuk menghindar. Siapapun tau bahwa Villa itu pantang menyerah. Dan hari itu tenaga Sandy sudah habis terkuras memikirkan Lois. Jadi begitulah yang terjadi, Sandy tak bisa meninggalkan kantin untuk menghindari Villa.
“San, kok diam aja sih? Coba deh baca buku ini. Menurut cerita, kalau kita meniup bunga dandelion sambil mengucapkan suatu permintaan dalam hati, maka permintaan itu akan terkabul. Hmmm, bener ya San, nanti sore antar aku ke florist, aku mau beli bunga dandelion dan make a wish moga-moga aja kamu cepet jadi pacarku. Oke?” Villa menyodorkan buku yang dipegangnya pada Sandy.
Hei! Sandy jadi punya ide. Hmm, oke. Kali ini dia bersedia untuk mengantar Villa ke florist.
***
“Katanya lo gak suka sama Villa, San? Kok kemaren gw liat lo ke florist bareng?” Rico menonjok pelan bahu Sandy ketika mereka sama-sama berkumpul di kamar Seto.
Sandy menghela nafas. Diteguknya air putih dingin untuk mendinginkan kepalanya yang terasa panas.
“Trus gimana jadinya sama Lois?” Seto masuk ke kamar sambil membawa sepiring semangka.
Sandy meraih sepotong semangka itu.
“Nggak tau, Set. Kayaknya gue gak bisa dapetin dia. Keliatannya dia benar-benar nggak boleh pacaran sama Papanya,”
“Tapi jangan banting setir ke Villa dong. Memangnya cinta bisa dipindahin begitu aja?” Rico juga melahap sepotong semangka.
“Kemaren itu gue mau nganterin Villa ke florist soalnya menurut buku yang dibaca Villa, kalo kita sering-sering meniup bunga dandelion, katanya apa yang kita inginkan bisa cepat terkabul…,”
Rico dan Seto tertawa.
“Itu sebabnya gue ikut ke florist karena gue mau beli bunga dandelion. Dan gw akan sering-sering meniupnya sambil make a wish biar Lois cepet jadian sama gue. Ini bukunya juga udah gue beli,” Sandy mengeluarkan buku “Keajaiban Bunga” dari dalam tasnya.
HP disaku Sandy bergetar. Dari Lois. Sandy terlalu gembira sehingga ia tak sempat melihat kedua temannya menertawakan tingkah anehnya.
“Eh, tumben Lo? Ada apa?”
“San…Aku dipukuli Papa lagi…” Lois terisak diujung sana.
“Ha? Kenapa lagi? Aku kan nggak main ke rumah kamu?” Sandy terbelalak. Rico dan Seto berusaha mendengar percakapan di HP itu.
“Papa menemukan surat dari kamu itu. Papa kira aku pacaran sama kamu…”
“Ya ampun Lois…. Sekarang kamu dimana? Aku kesana ya…,”
“Jangan, San… Nanti Papa bisa lebih marah lagi kalo lihat kamu disini…”
Klik!
HP terputus. Sandy berusaha menghubungi balik, tapi HP Lois nggak aktif.
Sandy dan teman-temannya terpaku.
***
Disaat Sandy sedang ingin sendirian di kantin, lagi-lagi Villa datang. Ah, mau apalagi sih cewek ini?
“San… Ngapain sih kamu mikirin Lois terus? Memangnya kamu nggak tau ya dia ada masalah?” katanya sambil mencibir sinis.
Hei? Masalah? Memang sih Sandy juga berfikir sepertinya Lois sedang ada masalah. Menurutnya aneh sekali kalau Papanya sering berlaku kasar begitu. Eits…tunggu!!! Kayaknya Villa kok tau ya masalah itu?
“Masalah? Masalah apa sih Vil?” Sandy berusaha mengorek info dari Villa.
“Kamu nggak tau? Lois itu kan simpanannya…..,”
“VILLA! Kalau ngomong bisa hati-hati nggak sih?” Sandy emosi mendengar Villa yang bertutur dengan wajah penuh kemenangan.
“Sandy, kapan sih kamu mau mengerti? Kapan kamu bisa membuka mata melihat kenyataan? Cuma kamu yang nggak tau kalau biaya hidup Lois, termasuk biaya kuliahnya ditanggung oleh pria hidung belang!,” Villa sedikit meradang.
Plak!
Tangan Sandy mendarat dipipi Villa. Ia tak tahan Lois dihina oleh cewek didepannya itu.
Villa terkejut. Sementara beberapa pasang mata melihat adegan itu, membuat Villa merasa diremehkan.
“Vil, kamu nggak sadar sama omongan kamu? Kamu yang selalu numpang hidup sama pria-pria nggak benar itu. Kamu yang biaya hidupnya ditanggung oleh pria hidung belang kan? Sampe kamu bisa beli segala macam yang kamu pakai sekarang?” Sandy sudah tak peduli dengan tatapan mata yang semakin banyak tertuju padanya.
Villa terhenyak di kursinya. Pipinya panas, sepanas hatinya.
Lalu Sandy berlalu meninggalkan Villa yang terisak-isak di bangku kantin.
***
Hari Sabtu sore Sandy hanya duduk-duduk di teras rumahnya. Ia malas melakukan kegiatan apapun. Padahal Seto dan Rico mengajaknya ke acara live musik Linking Park. Pikiran Sandy tertuju pada kejadian kemarin saat ia menampar Villa. Jujur saja, Sandy benar-benar tidak bisa terima Lois dicap seperti apa yang dikatakan Villa. Kenapa Villa bisa bicara begitu ya? Apa itu jalan pintasnya agar Sandy segera menjauh dari Lois?
Ah, Lois. Dimana ya dia sekarang? Sedang apa ya? Sandy sangat ingin bertemu. Ingin menghibur hatinya yang sedih karena perlakuan Papanya, walaupun Sandy belum jadi pacarnya. Sandy yakin sebenarnya Lois juga suka padanya. Itu terlihat dari sorot mata Lois yang memancarkan cinta untuknya. Tapi kenapa ya Papanya melarang Lois pacaran? Lois kan bukan anak kecil lagi?
“Sandy….”
Tiba-tiba didepan pintu pagar telah berdiri seorang cewek.
Sandy terkejut. Mau apa Villa datang ke rumahnya?
Agak malas, Sandy menghampiri pintu pagar dan membiarkan Villa masuk.
“Aku Cuma sebentar, San. Cuma mau kasih ini,” diangsurkannya sebuah kartu undangan warna merah hati dan sepucuk surat biru muda.
Tanpa berkata-kata Sandy menerimanya.
“Kuharap kamu membaca surat dariku itu. Agar hatimu bisa terbuka…”
Sandy masih terdiam. Ia tak tau harus berbuat apa.
“Aku pulang, San. Besok datang ya…,” Villa membalikkan badannya dan berlalu keluar pagar.
Sandy segera ke kamarnya dan membolak-balikkan kartu dan surat ditangannya.
Dan dibacanya yang berwarna merah hati.
UNDANGAN
PELUNCURAN NOVEL KE 150 KARYA PENULIS TERKENAL
VILLA ARISTANIA
Minggu, 17 September 2006, 16.00 WIB s/d selesai
Tempat : Versa Venezia Café
Sandy tertegun. Jadi Villa adalah penulis terkenal? Hmmm, keren juga…
Lalu cepat-cepat dibukanya surat biru muda bergambar bunga dandelion.
Dear Sandy…
Aku sangat tesinggung dengan ucapanmu waktu itu. Aku sama sekali bukan gadis buruk seperti yang kamu kira. Semua biaya hidupku bukan ditanggung oleh orang lain. Aku bisa seperti ini dari hasil menulis. Dan beruntungnya dari seratus limapuluh judul buku, sebagian besar adalah best seller. Itulah sebabnya aku bisa membeli segala sesuatu yang kupakai. Termasuk Versa Venezia Café, tempat bukuku akan diluncurkan besok.
Dear Sandy,
Tolong jangan anggap aku cewek nggak baik. Kamu salah besar. Aku mati-matian banting tulang untuk bertahan hidup. Kamu nggak tau kan betapa susahnya aku menghindar dari segala macam godaan, termasuk yang kamu tuduhkan padaku? Kalau kamu tidak menerima cintaku, baiklah, mulai detik ini aku tidak akan mendekatimu lagi, tapi tolong jangan cemarkan nama baikku.
Ini aku kirimkan undangan peluncuran bukuku besok. Aku harap kamu bisa datang, agar kamu tau siapa sebenarnya aku.
Villa.
Sandy benar-benar terperangah. Jadi semua yang ia dengar ternyata salah. Villa bukan cewek simpanan om-om seperti yang selama ini digunjingkan orang-orang.
Ada rasa sesal dihati Sandy. Apalagi kemarin ia sempat menampar pipi gadis itu. Sandy tau pasti Villa sangat tersinggung dan sakit hati. Sandy bertekad akan minta maaf. Besok ia akan datang memenuhi undangan itu, sambil mengungkapkan maafnya….
***
Suasana cafe ini begitu ramai. Sandy merasa agak panas karena penuh sesak. Ternyata acara peluncuran buku itu sudah ditunggu-tunggu banyak orang. Ah, Sandy baru tau kalau Villa adalah orang terkenal. Penulis ternama. Selalu memikirkan Lois membuat Sandy sama sekali tidak sempat mengenal Villa, cewek yang selalu mengejarnya.
Café ini terlihat mewah. Penataannya yang dibuat indah menambah kesan nyaman. Versa Venezia. Bagus juga nama cafenya. Ini milik Villa pribadi? Ck ck ck…. Sandy baru tau. Dan memang baru kali ini ia datang kesini.
Di ujung depan sana, dilihatnya Villa sedang menjamu tamu-tamu pentingnya. Disampingnya ada setumpuk novel yang siap ditandatangani dan dibagikan kepada seluruh pengunjung. Villa terlihat bahagia. Senyum tak henti-henti terbentuk dibibirnya. Suasana café sangat ceria, dan pandangan semua pengunjung tertuju pada Villa, sang penulis idola mereka. Ini membuat Sandy leluasa mengamati para pengunjung tanpa merasa canggung.
Sandy mengambil tempat agak disudut café dan memesan Iced Cappucino Caramel. Dengan santainya ia mendengarkan alunan musik hidup yang disajikan di tengah café.
Dihirupnya minuman yang telah terhidang dimejanya. Saat ini –untuk pertama kalinya- Sandy menyadari bahwa Villa sangat cantik. Wajahnya berbinar-binar ditengah hiruk pikuk penggemarnya. Sandy benar-benar menyesali perbuatan dan kata-katanya waktu itu. Sandy telah salah menilai orang. Ia terlalu cinta pada Lois. Terlalu berharap agar Lois juga memiliki perasan yang sama. Padahal Lo…
HEI!!!!
Sandy tersentak!
Ia melihat Lois duduk disebelah sana. Ditempat yang agak tersembunyi bersama Papanya. Eh?? Mereka…Astaga! Berciuman?? Lois dan Papanya…???
Agak lama Sandy memandang mereka… Sandy jadi curiga…
***
Sepulang dari kampus, Sandy cepat-cepat masuk ke kamarnya. Ia teringat surat dari Lois yang diberikan tadi pagi. Lalu dibacanya.
Sandy,
Maafkan aku. Aku tau waktu itu kamu ada di Versa Venezia dan melihatku bersamanya. Kini kamu sudah tau semuanya. Orang itu bukan Papaku. Ialah orang yang selama ini menghidupi dan membiayai segala keperluanku. Aku terpaksa hidup bersamanya karena aku butuh uang. Aku tidak tau bagaimana melepaskan diri darinya.
Sekarang kamu juga tau kan, kenapa ia marah besar sewaktu kamu datang ke rumah? Ia tak mau aku kenal laki-laki lain. Ia takut aku melepaskan diri darinya.
Aku bukan gadis baik-baik, San. Aku tak pantas untuk kamu. Walaupun aku juga mencintaimu, tapi aku tak bisa lepas dari pria yang selama ini sudah menghidupiku. Aku berhutang budi padanya.
Sekali lagi, kuminta agar kamu bisa melupakanku dan menjauh dari kehidupanku.
Lois.
Sandy merasa terlempar ke jurang yang sangat dalam. Ia benar-benar tak menyangka gadis yang selama ini dikejarnya ternyata bukan gadis baik-baik. Ah, biar sajalah… Mungkin Lois bukan untukku, pikir Sandy.
Untung saja kemarin Villa bersedia memaafkan Sandy. Dan itu membuat Sandy jadi sedikit lega. Tapi hati Sandy tetap tidak bisa mencintai Villa. Cintanya bukan untuk gadis pemilik café itu. Versa Venezia.
Tamat
Leave a Reply