Judul: Matahariku
Dimuat di Majalah Chic Edisi Maret 2007
Selamat pagi, matahariku…
Biarkan sinarmu terangi hati ini
Dan memulai pagi dengan damai
Sedamai aku bila di sisimu
Hmmmn… masih romantis juga dia. Kemarin sore marahnya meledak, tapi pagi ini sudah berubah drastis. Dia meletakkan sederet kata-kata itu di meja kerjaku. Kok bisa ya? Aku saja rasanya masih belum sepenuhnya bisa melupakan kekesalanku. Tapi ya sudahlah. Kelihatannya dia memang benar-benar mengajakku damai.
Selalu begitu. Randy selalu bisa meluluhkan hati dan berhasil membuatku kembali ke pelukannya. Sebenarnya aku bingung. Apa sih, yang kutunggu dari Randy? Laki-laki itu idtak jelas masa depannya. Dia lebih suka mengandalkan lagu-lagu ciptaannya untuk dijual ke produser rekaman dan berjanji dapat menghidupi aku dari penghasilannya, kalau kami menikah kelak.
Nyatanya? Untuk menghidupi diri sendiri saja dia lebih banyak menggunakan uangku. Lagunya belum berhasil terjual. Begitu selalu alasannya. Anehnya, aku mau saja membiayai hidupnya. Karena cinta? Yah, mungkin saja begitu.
Kemarin sore, Randy menjemputku ke sini. Ke kantorku. Aku sudah tahu kebiasaannya. Mau menjemputku pasti karena ada sesuatu yang diharapkan. Benar saja. Seperti biasa dia merayuku untuk meminjamkan uangku. Pinjam? Astaga! Yang kemarin-kemarin saja belum dibayar. Kelihatannya memang Randy tidak ada niat untuk membayarnya sama sekali.
Aku berusaha menolak. Bukan apa-apa. Aku hanya berusaha memberi pelajaan pada Randy bahwa mencari uang itu tidak mudah. Jadi aku ingin dia mengerti kalau sesekali aku tidak mau meminjamkan uangku lagi. Lagipula uangku tinggal sedikit, dan itu adalah simpananku kalau-kalau ada keperluan yang tidak terduga.
Randy marah. Dia tidak bisa menerima penjelasanku. Aku tahu kebutuhannya sangat mendesak. Aku juga tahu persis jumlah penghasilannya yang tidak tetap itu. Seluruh isi kantor pun memandang ke mejaku dengan tatapan aneh, karena suara Randy yang menggelegar penuh emosi.
Sebenarnya aku malu pada teman-teman. Apalagi Pak Soni sempat melihat ke arahku. Untung saja bosku itu tidak banyak tanya. Hingga akhirnya aku berhasil membawa Randy keluar. Tepatnya mengusir.
Pagi ini kutemukan sederet puisi itu di meja kerjaku. Dasar seniman. Masih saja berusaha dengan rayuan gombalnya. Kelihatannya usahanya berhasil. Dalam hati, aku tetap memaafkannya. Walaupun ini sudah berulang kali terjadi. Aku juga yakin, di waktu ke depan pun akan terjadi hal seperti ini lagi kalau Randy masih saja memilih sebagai seniman.
Satu hal yang aku salut padanya, pagi-pagi dia sudah susah payah datang ke kantorku hanya untuk meletakkan secarik kertas berisi rayuan gombal ini, jauh sebelum penghuni kantor yang lain datang. Itu berarti dia sungguh-sungguh mengajakku damai.
Kucoba menghubungi telepon rumahnya, tidak ada yang mengangkat. Mungkin masih tidur. Padahal aku hanya ingin mendengar suaranya dan memastikan bahwa dia sudah tidak marah lagi padaku. Aku sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih atas puisi singkat yang dikirimnya pagi ini di meja kerjaku. Yah, paling tidak aku ingin menghargai usahanya untuk damai lagi denganku.
Randy tidak pernah memiliki ponsel. Bukannya tidak mau, tapi dia tidak pernah punya uang untuk membelinya. Apalagi mengisi pulsanya. Jangankan untuk itu, membayar kontrakannya saja kadang dia minta kucuran dana dariku. Pak Haji Dulah kerap menelponku dan secara tidak langsung menagih uang kontrakan rumah Randy padaku.
Randy tinggal di sebuah rumah kontrakan petakan di sebuah tempat di daerah Manggarai. Di rumah kontrakan sederhana milik Pak Haji Dulah itulah Randy menghabiskan waktu untuk menulis lagu-lagu. Lalu, dia menawarkannya pada produser rekaman. Untung saja di rumah itu sudah dipasangi telepon, jadi aku tidak benar-benar susah menghubungi Randy.
“Nad, laporan tentang laba rugi kita sudah selesai?” Oh, Pak Soni tiba-tiba saja muncul di depan mejaku. Membuat aku tergagap karena melamun memikirkan Randy.
“Iya, Pak, sudah selesai,” sahutku buru-buru.
“Nanti bawa ke ruangan saya, ya.”
“Baik, Pak.”
Ups, Pak Soni tidak menyadari aku sedang melamun. Rasanya malu sekali kalau tertangkap basah sedang memikirkan pacar sewaktu di kantor. Aku takut dianggap tidak profesional. Apalagi kemarin Pak Soni melihatku bertengkar dengan Randy. Untung saja Pak Soni tidak mempermasalahkan itu.
Cepat-cepat kurapikan pekerjaanku dan beranjak ke ruangan Pak Soni. Aku langsung menyerahkan hasil laporan pekerjaanku. Di ruangannya, Pak Soni sedang membaca sesuatu di ponselnya. Enaknya menjadi bos. Tinggal suruh asisten, dan dia santai-santai membaca. Apalagi asistennya seperti aku, yang tidak suka menunda pekerjaan dan menyelesaikannya tepat waktu.
Pak Soni tidak menyadari kedatanganku. Ini membuatku bisa leluasa mengamatinya. Usianya masih muda. Hanya lima tahun lebih tua dariku. Sama sepertiku, dia belum ingin menikah. Posisinya sebagai Direktur Keuangan menurutku pasti banyak wanita yang bersedia menjadi istrinya. Wajahnya juga tampan, kelihatan sekali bahwa dia orang yang ramah dan berwibawa. Walau begitu dia tidak pernah bersikap angkuh pada bawahannya. Membuatnya disukai semua karyawan di sini.
“Ya, Nad? Melamun lagi?”
Astaga! Aku terkejut dan malu sendiri ketika Pak Soni menegurku. Aku tidak sadar kalau Pak Soni sudah meletakkan ponselnya di atas meja dan memperhatikan aku yang (lagi-lagi) sedang melamun.
Cepat-cepat kusodorkan hasil laporan pekerjaanku.
***
“Halo, Nad….apa kabar sayang?” Suara Randy di seberang. Benar. Dia sudah bersikap damai padaku. Berarti dia sudah benar-benar melupakan kemarahannya. “Gimana, Nad? Sehat? Hari yang indah bukan?”
Huh, mulai deh. Pasti rayuan gombal lagi. Sama seperti puisinya yang beberapa hari belakangan ini selalu ada di mejaku. Aku tahu, itu adalah caranya untuk mengajakku damai lagi.
Satu lagi, aku selalu luluh dengan puisi-puisinya. Cara Randy itu berhasil membiusku. Sampai aku tidak pernah sadar bahwa sebenarnya dia lebih banyak merugikanku. Seperti saat ini, dia menelponku untuk mengajak makan malam. Cara yang halus. Benar saja, seperti biasa aku tidak pernah punya kekuatan untuk menolaknya.
***
Malam ini, aku sudah duduk di sebuah restoran. Makan malam bersama Randy.
“Jadi kamu sudah tidak marah padaku lagi kan, Nad?” tanyanya.
Aku hanya melempar senyum sambil menatap Randy. Wajah yang ringan. Tampak seperti tidak ada beban walau masalah ekonomi masih terus setia menemani.
Memang itulah yang sejak awal membuatku jatuh hati padanya. Gaya yang khas, ringan, santai, dan tanpa beban. Aku bertemu Randy pada saat kantorku mengadakan acara malam amal di sebuah gedung kesenian. Di sana Randy sebagai pemain musik pengisi acara. Sebagai orang yang ditunjuk oleh bos, aku jadi sering berinteraksi dengan Randy untuk menangani acara tersebut. Karena sering bertemu untuk urusan pekerjaan itulah, akhirnya kami saling jatuh cinta. Sampai sekarang.
Kaos oblong, celana jeans dan topi. “Seragam” itulah yang membuat Randy terlihat beda. Sikapnya yang humoris membuatku sejenak bisa melupakan bertumpuk-tumpuk pekerjaan di kantor. Kalau aku sedih, Randy selalu bisa menghibur dengan memberi nasihat yang membuatku merasa lebih baik.
Setiap orang memiliki sisi yang buruk. Begitu juga dengan Randy. Ternyata sikap buruknya baru kelihatan setelah lama kami menjalin hubungan. Randy sering meminjam uangku. Sebenarnya aku maklum. Sebab, aku tahu Randy belum memiliki pekerjaan tetap. Sebagai penulis lagu, dia tidak selalu berhasil menjual lagu-lagunya. Padahal dia tetap harus memenuhi kebutuhan hidup.
Itu sebabnya aku rela meminjamkan uang padanya. Tidak apa, karena kebetulan penghasilanku cukup untuk membantunya. Kupikir, apa salahnya aku dan Randy saling bantu sebagai latihan kalau nanti kami menikah? Walaupun kadang aku kesal karena ternyata Randy tidak pernah mengembalikan uang-uang yang pernah dipinjamnya. Malahan semakin lama Randy terkesan “menumpang hidup” padaku. Aku juga tidak pernah berani marah padanya, karena Randy pasti akan lebih marah lagi. Itu akan membuat keadaan semakin buruk.
Seperti malam ini, Randy mengajakku makan malam, tapi seperti biasa tanpa bisa menolak apalagi marah, akulah yang membayar semuanya.
***
“Yah, mungkin karena aku benar-benar cinta pada Randy, Ver,” aku mencoba menjelaskan pada Vera saat suatu pagi aku baru tiba di kantor. Rupanya dia masih terheran-heran pada sikapku yang belum bisa tegas juga pada Randy. “Rasanya aku tidak ingin kehilangan dia.”
“Sampai kapan kamu akan seperti itu, Nad? Kayaknya kamu sabar banget, deh? Padahal dia itu udah memeras kamu, tahu?”
Aku tersentak mendengar kata-kata Vera. Aku? Diperas? Panas hatiku mendengarnya. Randy ka,n pacarku? Biar saja, ini kan urusanku? Mau apa si Vera ini ikut campur? Ah, kurasa dia hanya iri padaku karena tidak punya pacar. Lalu, kutinggalkan Vera. Aku langsung bergegas ke mejaku dan mengerjakan pekerjaan. Hari ini aku harus menyerahkan hasil laporan pekerjaanku pada Pak Soni.
Pagi ini aku mendapatkan kembali beberapa baris puisi d imeja kerjaku.
Matahariku
Tak kan kubiarkan cahayamu sirna
Hingga aku menikmati hangatmu
Dengan segenap cintaku jua
Aku tersenyum membacanya. Jujur saja aku kagum pada Randy. Aku yakin, Randy pasti berniat membahagiakan dan meyakinkan bahwad ia juga sangat mencintaiku. Buktinya dia rela pagi-pagi datang ke kantor untuk meletakkan puisi itu. Kalaud ia tidak cinta padaku, mana mau repot-repot seperti itu. Makanya aku pura-pura tuli jika teman-teman kantorku protes pada keputusanku untuk tetap jalan sama Randy. Paling-paling mereka hanya iri. Ya, seperti si Vera itu.
***
Randy marah lagi. Tadi dia datang ke kantor dan ingin meminjam uangku lagi. Dia sudah tiga bulan menunggak bayar kontrakan. Harus hari ini juga dia bayar. Kalau tidak, dia diusir oleh Pak Haji Dulah pemilik kontrakan itu. Sebenarnya aku juga akan meminjamkannya. Masalahnya hari ini aku tidak membawa uang tunai. Jadi harus menunggu aku mengambil uang dulu di mesin ATM.
Sayangnya Randy tidak mau mengerti. Dia marah besar. Dia mengira aku tidak mau meminjamkan uang lagi. Padahal kalau mau sabar, dia tinggal menunggu besok, pasti aku pinjamkan. Saking marahnya, Randy memaki-maki aku dengan kata-kata kasar. Kata-kata yang tidak sopan. Suaranya keras sekali sampai terdengar ke ujung sana. Ya ampun! Ini kan di kantor! Aku malu pada semua orang. Terlebih pada Pak Soni yang melihat kejadian itu.
Aku tidak tahan. Tangisku pecah karena menahan marah. Akhirnya aku minta izin pulang. Untung saja Pak Soni baik hati dan mengizinkan aku pulang.
Sampai di rumah, tangisku makin tidak terbendung. Hatiku sakit diperlakukan seperti ini. Padahal kurang baik apa sih, aku? Aku tidak mungkin tidak membantuny, tapi kenapa sikapnya begitu? Aku juga mengerti bahwa dia harus membayar kontrakan yang sudah menunggak itu. Aku kan, Cuma minta waktu besok pagi karena harus mengambil uang.
Kenapa dia memaki-maki? Sampai-sampai semua orang di kantor menoleh ke arahku dan menyaksikan aku disemprot dengan kata-kata tak sopan seperti itu. Mau ditaruh mana mukaku? Jangan-jangan besok aku malah dipecat oleh Pak Soni gara-gara dianggap tidak profesional.
Tiba-tiba ada perasaan benci yang terselip di hati. Selama ini aku selalu sayang dan memperhatikan Randy, tapi kenapa begini balasan yang kuterima? Mungkin selama ini aku salah. Aku telah dibutakan oleh cinta sehingga selalu tidak mau melihat kenyataan bahwa Randy hanya memanfaatkan uangku. Mungkin benar kata Vera dan teman-teman lainnya bahwa Randy hanya menumpang hidup dan memerasku.
Aku merasa seperti terbangun dari tidur dan menyadari bahwa semua ini adalah kebodohanku. Mulai besok aku akan mengubah hidupku. Aku tidak mau ada parasit yang menempel lagi. Aku ingin Randy pergi jauh-jauh dari kehidupanku. Aku tidak mau diganggu lagi. Masa bodoh dengan cinta. Aku harus tegas. Harus!
***
Mataku masih sembap karena tadi malam tidur sambil menangis. Aku tetap masuk kantor. Aku ingin mengubah hidupku.
Hatiku kembali dipenuhi emosi ketika kudapatkan lagi sebuah puisi di atas meja, seperti biasa. Aku hanya membaca sekilas, lalu tanpa basa-basi kurobek-robek puisi itu dan melemparkannya ke dalam tempat sampah. Aku tidak ingin dibohongi lagi. Tidak ingin digombali lagi oleh makhluk itu. Tidak ingin hidupku dikendalikan lagi oleh orang yang justru membuatku sengsara.
Setelah itu aku melanjutkan pekerjaan dan berusaha agar mataku tidak kelihatan sembap, karena Pak Soni memanggilku ke ruangannya. Aku jadi takut. Jangan-jangan Pak Soni akan memecatku karena peristiwa kemarin.
“Mata kamu kenapa, Nad?” Oh, God! Pak Soni tahu juga!
Aku tidak menjawab. Kulihat Pak Soni jadi gugup. Mungkin dia menjadi tidak enak padaku menanyakan hal yang sifatnya pribadi.
“Oh, maaf. Sudah, lupakan saja,” lanjutnya
“Oh, ya Nad. Ada laporan yang harus kamu kerjakan. Ini berkas-berkasnya. Nanti siang bisa selesai kan? Saya perlu hari ini juga. Oke?”
Aku mengangguk dan langsung mengambil setumpuk berkas-berkas yang ada di meja Pak Soni.
Ketika akan kubawa ke mejaku, dari tumpukan berkas yang ada di tanganku kurasakan sesuatu yang jatuh. Selembar kertas kecil. Pak Soni masih di kursinya ketika aku menunduk dan mengambil kertas itu. Kubaca sekilas.
Astaga! Jadi?
Aku terkesiap. Ternyata…
Kupandangi Pak Soni yang juga terkejut. Tidak beda denganku, Pak Soni pun semakin gugup.
“Sekarang kamu tahu kan, Nad?” tanyanya.
Aku belum bisa mengatasi keterkejutanku. Kulirik lagi kertas kecil yang ada di tanganku.
Matahariku
Jangan biarkan mendung membuatmu lara
Hiasilah wajahmu dengan cintaku
Yang akan membuatmu bahagia
“Saya tunggu jawabanmu, Nad,” kata Pak Soni lagi.
Aku bagai tersengat listrik. Jadi puisi yang selama ini ada di mejaku itu bukan dari Randy? Astaga! Itu dari Pak Soni? Ya, Tuhan! Randy yang selama ini kukira romantis ternyata bukan penulis puisi itu? Orang yang selama ini kusangka sangat mencintaiku dengan menulis puisi untukku itu ternyata bukan Randy? Melainkan bosku, Pak Soni? Ya Tuhan, ternyata aku salah besar. Randy ternyata tidak benar-benar mencintaiku.
Sekarang aku benar-benar sadar bahwa ada cinta lain, yang bisa membuatku bahagia. Aku yakin, kali ini cintaku kujatuhkan bukan pada orang yang salah. Diam-diam ada perasaan sejuk mengalir di hati.
TAMAT
Leave a Reply