Pertanyaan ini dilontarkan oleh beberapa peserta workshop penulisan yang saya selenggarakan.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya akan bercerita tentang sesuatu.
Dahulu, saat saya masih aktif latihan teater, salah satu kakak pelatih memberi tugas. Saya dan teman-teman diminta duduk tenang di ruang latihan, sambil memejamkan mata. Meskipun berada jauh dari jalan raya dan dalam keadaan memejamkan mata, kami harus dapat melihat mobil-mobil yang melintas di jalan besar.
Setelah beberapa menit, satu per satu diminta menceritakan jenis-jenis mobil yang lewat. Saya menyebutkan beberapa merk mobil, berikut warna dan suaranya saat melintas di jalan. Saya berhasil memenuhi permintaan pelatih.
Ternyata, salah satu teman mengaku tidak berhasil melihat mobil-mobil itu. Bagaimana mungkin dapat melihat mobil dengan mata terpejam dan jauh dari jalan raya? Begitu pertanyaannya. Kakak pelatih kami memberi jawaban. Dalam kondisi seperti ini, bukan mata yang melihat jenis mobil yang lewat, dan bukan telinga yang mendengar suara mobil itu. Imajinasilah yang bermain sepenuhnya. Mobil A dengan warna X dan suara Y, hanya bisa terekam dalam imajinasi, dan bukan direkam langsung melalui indera.
Tentu saja logika juga bermain di sini. Meskipun hanya melalui imajinasi, kita tidak mungkin mengatakan baru saja “melihat” mobil sedan dengan kapasitas penumpang tujuh orang seperti minibus.
Ilmu itu melekat erat di dalam benak saya, dan tersimpan rapi di salah satu sudut memori.
Pengalaman kedua, saya dapat dari tayangan singkat di TV. Mungkin iklan dari sebuah acara. Saya lupa tokoh yang ada di dalam iklan itu, tapi kalau tidak salah adalah Pak Dahlan Iskan. Di tayangan tersebut, Pak Dahlan (CMIIW) mengatakan sesuatu yang membuat saya tersenyum. Katanya, wartawan yang baik harus dapat menulis liputan peristiwa, yang walaupun wartawan itu tidak melihat langsung peristiwanya, dia dapat menuliskan seolah-olah melihat langsung peristiwa tersebut.
Ilmu kedua itu saya kantungi baik-baik.
Tibalah saatnya saya menemukan banyak novel dengan latar luar negeri. Hampir semua penerbit berlomba-lomba menerbitkan novel dengan latar negara-negara romantis di dunia. Mereka pun berebut mencari penulis yang bersedia menulis novel dengan latar tersebut. Apalagi, novel-novel tersebut kemudian banyak diburu pembaca.
Dalam benak saya pun timbul pertanyaan: bisakah menulis novel dengan latar tempat yang belum pernah dikunjungi? Pertanyaan ini ternyata juga timbul di benak banyak orang.
Beruntunglah orang-orang yang sering ke luar negeri, sehingga dapat menuangkan “rekaman” perjalanannya ke dalam naskah novel. Sayangnya, tidak semua orang yang sering jalan-jalan ke luar negeri berminat menulis novel dengan latar negara yang pernah dikunjunginya.
Bagaimana dengan orang yang sangat berminat menulis novel berlatar luar negeri tapi tidak sering (bahkan, belum pernah) ke luar negeri? Tidak adil rasanya kalau dia harus memendam keinginan menulis novel hanya karena belum pernah mengunjungi negara yang ingin ditulis.
Di sinilah saya teringat kembali pengalaman saat latihan teater dulu, dan tayangan iklan di TV itu. Kesimpulan saya, siapa pun dapat menulis novel berlatar tempat yang belum pernah didatangi. Bukankah setiap manusia dianugerahi imajinasi? Inilah waktunya menggunakan imajinasi semaksimal mungkin, dengan -tentu saja- tetap mengedepankan logika. Bagaimana pun, kita tidak dapat menuliskan bahwa Patung Garuda Wisnu Kencana di Bali itu berwarna merah. Atau, Menara Eiffel itu memiliki menara-menara kecil di sekitarnya, seperti candi-candi kecil yang mengapit candi utama layaknya Candi Prambanan di Yogyakarta.
Pengalaman saat berlatih teater dan pesan di dalam tayangan acara TV itu membuat saya tidak ragu lagi menulis novel berlatar tempat yang belum pernah saya datangi. Saya membuktikannya pada novel Gerimis di Arc de Triomphe, dengan latar Paris.
Memang ada “kerepotan” tersendiri saat melakukan riset tentang latar. Tapi, sekalipun tidak menggunakan latar yang belum pernah didatangi, bukankah kita tetap harus melakukan riset untuk hal lainnya?
Leave a Reply