London, Musim Semi 2014
“Bagaimana? Sudah siap?” laki-laki bermata biru itu menatapku penuh harap.
Bagiku, tatapan itu seperti sebuah palu hakim yang baru saja menjatuhkan vonis atas kesalahan yang sama sekali tidak pernah kuperbuat.
Seharusnya di musim semi yang hangat dan harum ini aku bisa berlarian di antara bunga-bunga yang baru saja tumbuh. Atau, tenggelam di antara bibit-bibit tanaman, menyiapkan pot-pot cantik, menabur pupuk, dan menyaksikan bunga-bunga bermekaran. Kemudian, membuat desain berbagai model bangunan dengan macam-macam gaya, di tengah-tengah kebun yang sedang berbunga. Kenyataannya, aku tengah berhadapan dengan meja besar di dapur apartemen milik Mark –laki-laki bermata biru itu- dengan tepung, gula, telur, dan segala macam hal yang membuat perutku mulas.
“Wanita harus pandai membuat kue, Deasy. Mama sangat berharap kelak kamu bisa meneruskan bakery miliknya.”
Aku menghela napas. “Tapi aku sama sekali tidak bisa membuat kue, Mark. Kamu tahu itu dan aku sudah berkali-kali mengatakannya,” kuberikan Mark tatapan sinis.
“Ayolah, Honey. Tunjukan pada Mama bahwa aku tidak salah pilih pasangan!” suara Mark mulai tinggi.
“Oh ya? Kalau begitu aku yang salah pilih pasangan!” aku tak mau kalah.
“Sudahlah! Kita tidak usah berdebat. Semua bahan sudah kusiapkan. Kamu tinggal mengolahnya menjadi pie, donat, croissant, atau apapun,” Mark menjambak rambutnya sendiri, tampak putus asa.
Mark berjalan ke ruang tamu, meninggalkan aku yang kebingungan dengan semua bahan makanan ini.
Nyonya Anderson adalah pemilik toko roti yang terkenal di London ini. Kehebatannya dalam membuat berbagai macam jenis kue dan roti, membuat toko kuenya selalu ramai oleh pembeli. Sayang, wanita itu terlalu tinggi hati untuk mengakui bahwa calon menantunya lebih tertarik untuk membuat desain bangunan-bangunan cantik.
“Mama ingin kamu dan Mark meneruskan bisnis keluarga kita,” begitu katanya, suatu hari ketika Mark mengundangku makan siang di rumah orangtuanya. Detik itu juga telingaku merah menahan ucapannya.
“Mark anak Mama satu-satunya. Kalau bukan dia, tak ada lagi yang bisa meneruskan bisnis ini. Satu-satunya cara, kamu harus menguasai semua teknik membuat kue,”
“Maaf, Ma. Tapi, aku sama sekali tidak suka membuat kue.”
“Tidak ada kata ‘tidak’, Deasy!”
Aku terlalu lelah untuk membantah. Kubiarkan saja wanita ini mencabik-cabik perasaanku. Kini aku mulai tahu, menikah itu bukan hanya menikahi kekasih, tetapi juga ibu dan keluarganya.
Tanpa sadar, aku menggeleng-geleng di depan tumpukan tepung yang belum kusentuh sama sekali.
Mark datang lagi sambil membawa sebuah buku resep kue. Aku melirik sampul depannya, sekilas. Mataku menangkap nama Nyonya Anderson sebagai penulisnya.
“Pai apel tampaknya paling mudah,” kata Mark yang sudah membolak-balik halaman buku resep bersampul tebal itu. “Ini.”
Aku menerima buku itu dan mempelajari cara membuat pai apel. Beberapa menit kemudian, aku sudah menimbang tepung, mengocok telur, dan mencampur semua bahan, dengan gerakan yang serbaragu-ragu.
Selama aku membuat kue, Mark tampak gelisah. Ketika kue-kue itu benar-benar gagal karena teksturnya keras dan tidak mengembang, wajah Mark semakin keruh.
“Tolong lebih serius lah, Deas. Tunjukkan pada Mama bahwa kamu benar-benar ingin menjadi menantu yang baik,” Mark memasang tampang memelas.
Aku yang sedang kebingungan, kelelahan, dan setengah putus asa, meradang mendengar kata-kata Mark.
“Hei, Mark! Kalau kamu terus menerus menjadi boneka mamamu, aku yakin tak ada wanita yang mau menjadi istrimu!”
Aku langsung melepas celemek yang berlepotan tepung dan telur.
“Jangan paksa aku melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan, Mark! Goodbye!” aku langsung melangkahkan kaki menuju pintu, lalu pergi secepatnya dari apartemen itu.
***
Aku baru saja selesai menerima telepon dari klien yang memintaku membuat rancangan bangunan penting di London ini, ketika nama Mark muncul di layar ponselku.
“Ada apa lagi, Mark? Kita sudah berpisah. Kalau keperluanmu hanya memintaku kembali dan menyuruhku membuat kue, aku tidak ….”
“Dengar dulu, Deasy! Mama akan menemuimu saat ini juga. Setengah jam lagi aku dan Mama akan sampai di apartemenmu,” suara Mark di seberang sana terasa berat, seperti ada beban yang harus ditanggung.
Aku belum sempat menjawab, Mark sudah mematikan ponsel secara sepihak. Tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu mereka datang. Kusiapkan telinga dan hatiku untuk kata-kata paling menyakitkan yang akan dilontarkan Nyonya Anderson.
Ternyata, tebakanku salah. Kali ini Nyonya Anderson bersikap lebih elegan dan lebih irit kata-kata.
“Aku pergi dulu. Mama, silakan berbicara langsung pada Deasy. Deasy, maaf, aku tidak bisa menemani. Ada keperluan sebentar,” Mark menatapku, kemudian membalikkan badan dan keluar dari apartemenku.
Aku mengangguk pelan.
“Kamu ingin meninggalkan Mark?” tanya Nyonya Anderson yang kupersilakan duduk di sofa.
Pertanyaan yang sulit. Kemarin aku memang mengucapkan kata perpisahan, karena tak tahan dipaksa berhadapan dengan tepung dan segala macam bahan pembuat kue secara terus menerus.
Namun, jauh di dalam hati, aku tetap ingin menjadi istrinya. Aku ingin tua bersamanya. Aku ingin terus mendampinginya. Aku masih mencintainya.
Aku bingung. Dan akhirnya memilih diam.
“Kalau kamu tetap ingin menjadi menantuku, aku minta satu hal.”
Aku menghela napas. Ya, aku tahu. Setelah gagal menggunakan cara “terang-terangan”, Nyonya Anderson memintaku dengan cara halus. Superhalus. Aku harus segera bertindak.
“Maaf, Ma. Aku tidak akan pernah bisa membuat kue. Aku tidak mampu meneruskan bisnis keluarga Mama,” kataku, datar.
Nyonya Anderson menggeleng. “Bukan soal itu. Tapi, ini,” tangannya meraih sebuah kotak kecil berwarna cokelat kusam yang sejak tadi dipangkunya. Tangannya gemetar ketika membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya.
Sejurus kemudian, nyonya yang selama ini tampak superior dan tegas ini melontarkan berbagai cerita, dengan bibir bergetar.
***
Aku berjalan tergesa di koridor rumah sakit. Suara sepatuku menggema ketika memasuki ruangan khusus pasien yang harus diisolasi.
Dulu, sewaktu masih berstatus mahasiswa dan tinggal di rumah kos di daerah Depok, aku sering memasak sayur asem. bahan-bahannya murah dan mudah didapat. Tapi, di London ini, aku harus berjuang setengah mati untuk mencari bahan-bahannya.
Maka, ketika sayur asem itu berhasil kubuat dengan rasa yang hampir seratus persen mirip dengan yang kubuat bertahun-tahun yang lalu, hatiku merasa puas. Dan kepuasan itu meningkat ketika tangan yang biasanya mengaduk-aduk adonan roti, kini menikmati sayur asem yang kubuat secara darurat.
Semenjak dia menunjukkan kotak cokelat kusam itu, hatiku luluh. Nyonya Anderson pun seperti lahir kembali dengan sifat yang jauh berbeda. Mulai saat itu pula, aku bisa berkompromi dengan calom mertuaku ini. Ya, aku batal memecat Mark.
“Besok bagaimana, Ma? Tetap sesuai urutan?” tanyaku, pelan.
“Ya, sesuai dengan isi kotak cokelat yang kutunjukkan padamu. Sama persis. Tidak ada yang diubah.”
Aku mengangguk. Pelan.
***
Kali ini, wangi nasi goreng kambing menguar dari dapur apartemenku. Menu yang juga selalu menjadi andalan setiap kali aku kelaparan di tempat kos, bertahun-tahun yang lalu. Aku menaburkan bawang goreng ke atas nasi goreng, lalu menempatkannya di kotak makanan. Setelah memasukkan kotak makanan itu ke dalam tas, aku bergegas ke rumah sakit, menemui Nyonya Anderson.
Esok, esoknya, dan esoknya lagi, aku berturut-turut membuat pisang goreng, sayur sop (ya, sayur sop sederhana ala Indonesia, bukan sup ala barat yang modern), tumis kangkung, dan bakwan jagung. Semua menu “darurat” itu kuhidangkan kepada Nyonya Anderson, sesuai permintaannya ketika menunjukkan beberapa lembar kertas dari dalam kotak cokelat kusam itu.
***
Aku berjalan lunglai meninggalkan pemakaman. Di sebelahku, Mark menggandeng lenganku, memberikan kekuatannya. Kutatap laki-laki tegar itu. Dia justru tampak lebih siap dibandingkan aku.
Pakaian serba hitam menyelimutiku dalam kedukaan mendalam. Bakwan jagung adalah menu terakhir yang bisa kuhidangkan untuk Nyonya Anderson, sebelum dia menyerah pada kanker yang menggerogoti paru-parunya sejak setahun yang lalu.
Kotak berwarna cokelat itulah yang menguak segalanya. Tuan Hadi, almarhum ayah Mark, adalah orang Indonesia yang mampu memikat hati Nyonya Anderson ketika mereka masih sama-sama muda. Tuan Hadi yang begitu penyayang, sering menghidangkan makanan-makanan sederhana asli Indonesia, ketika mereka telah mengarungi bahtera rumah tangga.
Sayang, Tuan Hadi pergi begitu mendadak karena kalah saat melawan serangan jantung. Rasa cinta, rindu, dan kehilangan yang begitu mendalam pada almarhum suaminya, membuat tubuh Nyonya Anderson begitu rapuh, hingga kanker berhasil menggerogoti.
Aku terperangah saat membaca lembaran-lembaran resep masakan Indonesia milik Tuan Hadi, yang disimpan rapi oleh Nyonya Anderson di dalam kotak cokelat lusuh itu. Aku pun memenuhi permintaannya untuk membuatkan menu-menu itu. Demi memuaskan rasa rindunya pada Tuan Hadi.
“Awww!”
Lengan Mark sigap menangkap tubuhku ketika kakiku tersandung.
Nyonya Anderson memang bukan ibu kandungku, dan belum resmi menjadi ibu mertuaku. Namun, masakan Indonesia sudah menautkan hati kami.
“Istirahat dulu, Honey,” Mark menatapku, lalu menuntunku masuk ke mobil.
Mark melarikan mobil dengan kecepatan sedang, dan menghentikannya di sebuah kedai kopi ternama. Kami duduk di teras kedai kopi itu.
Kami duduk santai sambil menyesap kopi yang baru saja diantar oleh pramusaji.
“Ini, pesan dari Mama,” Mark mengeluarkan sebuah amplop.
Aku cepat-cepat merampasnya. Kutahan agar air mataku tak tumpah. Kubaca surat di dalam amplop itu.
Deasy, Mama tidak pernah sungguh-sungguh memaksamu untuk pandai membuat kue. Mama hanya ingin memastikan bahwa Mark mendapatkan istri yang tepat. Ternyata, Mark tidak salah pilih. Kamu seperti mendiang Papa Mark. Orang Indonesia, baik, dan selalu berusaha menjadi sempurna di mata keluarga. Segeralah persiapkan hari pernikahan kalian.
Mama
Musim semi hampir berlalu. Matahari semakin menampakkan sinarnya. Dalam kehangatan sinar matahari, tangisku pecah di pelukan Mark.
Cerpen oleh Nunik Utami
Sumber foto:
www.useappleblog.org
resepmasakankue.com
resepmasakankuliners.blogspot.com
baltyra.com
www.bango.co.id
Aww… gak kerasa air mataku jatuh baca cerpen ini 🙂
Mbak Nunik emang jago meramu cerita.
Huuhuhuhuuu
Nggak pake ramuan kok ini, Mel. Hahaha
Mlipir nih habis baca cerpen ini, hihiii. Komplit banget deh, Mbak, semua masakan ada. Tapi pesannya juga nyampe. Top.
Aku nggak berhasil bikin yang hanya satu makanan, Mbak Helda. Jadi sebisanya aja, nih. Hehehee
Anderson kayak nama belakang mantanku wkwkwkw *gagal pokus*
Lhoooo? Kok bisaaa? Hahaha … jadi membangkitkan kenangan, dong? :))
Keren mbak…. Love it
Hihihi … thanks, Mbak 😉
nice
Thanks, Mbak 🙂
Suka alurnya, twisted gitu.
Salam kenal.
Semoga menjadi salah satu pemenang tantangannya Mbak Ani Berta. Kereen…
Aamiin. Yang penting aku tetap latihan bikin cerpen, Mbak. Kalao kelamaan nggak diasah, jadi lupa. Hehehehe
Endingnya sedih mba, tapi membahagiakan juga karena akhirnya Deasy dan Mark ngga jadi pisah :’)
Iya, Mbak Rahmi, sengaja aku bikin dua sisi begitu. Biar lebih dekat dengan kehidupan nyata bahwa kita nggak bisa dapet yang bahagia semua 🙂
Aku meleleh bacanya Syukurlah Deasy sama Mark ga jadi bubaran.
Iya, Mbak Efi. Hubungan mereka terselamatkan 😀
ceritanya keren – keren. aku malah nongkrong terus di blog ini
Mba.. So sweet pisan, dibaca ulangpun ndak membosankan…
Wah, aku tersanjung, Kak Tuty. Terima kasih, ya. 😀
Gak nahan lihat sayur asemnya, Mbak. Hehe.
Fotonya bikin ngeces ya? Hahaha
Cinta diantara kue dan masakan Indonesia.
Kalau jodoh ada aja jalanya yah.
Bagus mb cerpenya.
Dapet kata baru loh…” Menyesap” hehe…
Iya, menyesap itu untuk minum kopi/teh/jus. Hehehe
Duuh…keliatan bgt udh profesional nulis cerpen