Nah, ini cerita tentang keajaiban saya. Ajaib, maksudnya kali ini saya mau melakukan hal-hal yang biasanya malas banget dilakukan.
Jadi, begini. Saya sudah lamaaa banget nggak belanja di Tanah Abang. Terakhir ke sana, sekitar 10 tahun (atau lebih) yang lalu. Aslinya sih, penasaran banget. Kepengin lagi merasakan suasana Tanah Abang. Karena, dulu, lumayan sering ke sana.
Seminggu sebelum puasa, saya janjian sama Erma, mau ke Tanah Abang sama-sama. Dari dulu saya tahu, Erma adalah teman yang tepat untuk hunting barang-barang di pasar yang terkenal itu. Alasannya, dia tahan banting dan kuat banget keliling-keliling. Saya masih ingat, belasan tahun yang lalu dia pernah bilang, kalau ke Tanah Abang harus keliling dulu, menjelajahi semua tempat. Hahaha … ini sih, prinsip saya banget!
Seiring waktu, prinsip saya yang itu, nggak sekuat dulu lagi. Semakin ke sini saya semakin malas mendatangi tempat-tempat yang penuh, apalagi Tanah Abang ini. Malas banget, deh!
Tapi, rasa “kangen” dengan suasana keramaian Tanah Abang, semakin kuat. Keinginan main ke sana seminggu sebelum puasa, nggak terlaksana. Akhirnya, di suatu malam Minggu, minggu terakhir puasa, tanpa rencana saya mengajak Erma untuk merealisasi janjian kami. Erma terkaget-kaget dengan ajakan saya. Tapi toh dia setuju juga.
Minggu pagi, dengan menumpang commuter line, saya dan Erma pun sampai di Tanah Abang. Setengah hati saya bersorak girang melihat keriuhan Tanah Abang. Setengah hatinya lagi, merasa cemas karena sudah sangat lama nggak main ke tempat yang penuh sesak seperti itu.
Wah, jangan ditanya deh, suasananya. Di sepanjang jalan antara stasiun dan Pasar Tanah Abang, berjajar para pedagang. barang yang dijual pun macam-macam. Ada pakaian wanita, pakaian anak, sandal, sepatu, taplak meja, hiasan rumah, dan … macam-macam lagi.
Pembelinya? Buanyaaak! Saya ikut berdesak-desakan bersama para pengunjung. Saya dan Erma bergandengan erat-erat agar tidak terpisah. Saya tahu, di antara pengunjung yang membludak itu, sudah pasti ada copet berseliweran. Jadi, tangan kanan saya menggandeng lengan Erma, tangan kiri saya mendepak tas erat-erat. Nggak seru dong, kalau acara jalan-jalannya pakai kecopetan segala.
Di sana-sini terdengar para pedagang berteriak-teriak menjajakan barang dagangan. Para pembeli pun tak kalah riuh menawar barang. Oh ya, tips saya, kalau berbelanja di Tanah Abang, harus pintar nawar. Sebagai contoh, saya beli taplak meja makan plastik. Pedagangnya memberi harga Rp35rb. Saya tawar Rp10rb, eh, boleh! Hahaha … Erma pun ikut beli. Di mana lagi bisa dapat meja makan plastik ukuran 2 x 2 m dengan harga segitu?
Jangan bayangkan berjalan di situ bisa melenggang santai. Satu jengkal di depan kita, sudah kepala orang lain. Dan barisan manusia itu memanjang, entah sampai mana. Saya saja sampai langsung terbayang tawaf di Ka’bah. Karena padatnya memang seperti itu. Langkah kaki pun nggak bisa lebar-lebar. Kami harus membagi dua jalan. Tidak boleh berjalan terlalu di kanan, karena bagian itu untuk orang-orang yang berjalan dari arah sebaliknya. Berjalan pun harus hati-hati dan sabar, kalau kaki tidak mau menginjak atau terinjak orang lain.
Bahkan, saya terkejut ketika ada “gelombang arus” saat melewati perempatan jalan. Di sini saya terasa agak terseret. Saya lirik Erma. Dia hanya cengengesan sambil bilang,”Nggak biasa begini, ya? Gue sih, udah biasa. Hehehe.”
Saya melongo. Dulu saya terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tapi, sekarang saya diketawain Erma! Ah, betapa lamanya saya “meninggalkan” pasar ini.
Prinsip kedua saat berbelanja di Tanah Abang adalah, kalau naksir sesuatu, langsung saja beli. Jangan cari barang yang sama di toko lain untuk perbandingan, karena belum tentu bisa menemukan barang yang sama dengan harga yang lebih baik. Jangan juga menunda beli barang dengan niat mau lihat-lihat yang lain dulu, nanti balik lagi ke toko ini. Karena, belum tentu kita bisa balik lagi dan menemukan toko itu lagi. Ribet dan susah balik laginya.
Meskipun penuh, desak-desakan, dan berisik, saya dan Erma tertawa-tawa sepanjang berbelanja. Bagaimana pun, rasa penasaran saya terjawab. Sekarang, saya tahu suasana di Tanah Abang menjelang lebaran kemarin.
Prinsip ketiga, perjuangan untuk sampai dan selama berbelanja, sudah sedemikian berat. Jadi, kita harus dapat banyak belanjaan. Saya berhasil membeli kebutuhan lebaran untuk keluarga besar. Ada pakaian pria, seperti kemeja, untuk bapak dan suami, baju untuk ketiga adik saya, serta baju untuk anak dan keponakan. Untuk saya? Jelas paling banyak.
Barang-barang di Tanah Abang juga banyak yang bagus. Kemeja-kemeja berbahan halus, harganya setengah dari harga di mall, dengan kualitas yang sama. Cuma beda merk.
Prinsip keempat, kalau ingin berbelanja ke Tanah Abang pada saat bulan puasa, pilihlah hari di mana kita sedang tidak berpuasa. Ini kebetulaaaan banget, saya dan Erma sedang berhalangan puasa. Maka, ketika baru tiba di Tanah Abang, tujuan kami adalah … makan bakso. Lalu, saat mau pulang, perut diisi lagi dengan soto betawi. Jadi, kami nggak kehabisan tenaga saat pulang dengan menenteng banyak belanjaan di commuter line.
Sampai di rumah, adik saya kaget. Katanya, tumben banget saya mau belanja ke tempat yang penuh sesak kayak cendol dan desak-desakan kayak gitu. Biasanya kan, paling menghindari tempat seperti ini, apalagi menjelang lebaran.
Nggak usah dia, wong saya sendiri juga kaget, kok. Hehehe ….
Ini rekaman riuhnya Tanah Abang menjelang lebaran:
Lidya says
jagoan nih mak nuniek ke tanah abang saat ramadhan
Nunik Utami says
Penasaran, Mbak. Pengen uji nyali lagi. Hehehe
Choirul Huda says
ebuset, lagi rame gitu sempet2nya difoto π
saya ke blok f pas 2 minggu mau lebaran
parah banget, padat dari lantai 1 sampe atas…
apalagi waktu itu siang2 liat es tebu gimana gitu
he he he
Nunik Utami says
Iya, Rul, ini kepikiran motretnya pun setelah selesai dapat belanjaan. Langsung kepikir mau bikin blogpost. Hahaha … eh, aku ke sana pas lebaran kurang 5 hari, lho. Dan untungnya jadi cewek, bisa disesuaikan dengan “jadwal” jadi nggak perlu gimana-gimana pas lihat es atau bakso atau soto. Langsung pesen aja :))