Saya pernah baca artikel tentang sebuah strategi marketing dari salah satu operator. Saya lupa nama operatornya, tapi operator tersebut tergolong pendatang baru di dunia telekomunikasi.
Dalam artikel tersebut, bagian marketing operator itu menyebutkan, mereka menggunakan taktik “Makan Bubur Panas” sebaga strateginya. Maksudnya? Begini.
Karena tergolong pendatang baru, mereka nggak mungkin menembus pasaran begitu saja. Apalagi pasaran sudah terlanjur menggunakan operator tertentu yang sudah lebih dulu terkenal dan punya “power” (selain kualitasnya bagus). Karena itu, mereka memilih “bergerak” dari pinggir. Mereka mulai melakukan pemasaran di area “pinggiran” Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, dan “pinggir” Jakarta lainnya. Alasan mereka, daerah pinggir lebih bisa menerima pendatang baru. Setelah daerah pinggir dikuasai, baru mereka merambah ke daerah Jakarta, dan semakin bergerak ke tengah ibukota yang “panas”. Strategi inilah yang mereka sebut dengan Strategi “Makan Bubur Panas”. Bagian marketing operator tersebut menggunakan strategi seperti itu agar dapat merambah daerah “tengah” dan dapat diterima dengan baik.
Hihihi betul juga ya. Makan bubur kan nggak bisa langsung ke bagian tengah. Harus dari pinggir dulu biar nggak “terbakar”.
Saya senyum-senyum membaca artikel itu. Karena, dalam hal menulis, secara nggak sengaja saya juga menerapkan strategi seperti itu.
Dulu, waktu baru mulai nulis, saya ikut berbagai event menulis yang “kecil-kecil”. Kecil di sini maksudnya, yang persyaratannya nggak terlalu berat menurut saya. Misalnya, hanya diminta 3 halaman. Atau hanya berupa opini. Atau cerpen yang temanya nggak terlalu sulit bagi saya.
Seiring berjalannya waktu, saya “merambah” event nulis yang lebih berat baik dalam hal tema, mau pun dalam hal jumlah halaman. Lama-lama, saya mencoba peruntungan untuk memasukkan tulisan ke penerbit yang banyak diburu orang, banyak diminati orang, dan memiliki banyak penulis berkualitas tinggi, dengan (tentu saja) terus berhubungan dan menjaga hubungan baik dengan penerbit sebelum-sebelumnya.
Grogi? Deg-degan? Keder? Minder? Pasti ada!
Tapi kalau nggak dicoba, bagaimana kita tahu? Iya, kan?
Dan, menurut saya, menggunakan strategi “Makan Bubur Panas” itu, selain menambah wawasan, menambah kenalan (yang kelak akan minta bantuan kita kalau mereka butuh penullis), kita juga bisa mengukur kemampuan kita dalam hal menulis. Sudah berkembang atau belum. Sudah lebih baik atau belum.
Dalam hal menulis, saya cocok menggunakan strategi ini, meskipun banyak juga penulis yang langsung bisa “bermain” di tempat “panas”.
Kalau kamu cocok, silahkan mencoba 🙂
Leave a Reply