PRAAANNGG!
Andrea terdiam tapi jantungnya berdetak berkali-kali lipat. Napasnya terengah-engah. Dia susah payah menahan agar emosinya cepat terkendali. Barusan dia refleks melempar gelas yang sedang dipegangnya, ke udara.
Dia melakukan itu lagi, kata Andrea dalam hati.
Entah sudah berapa ribu kali Brama menjilati sisa saus di piring, setiap habis makan. Andrea tidak akan semarah itu kalau Brama mencolek sisa saus dengan jari dan kemudian menjilati jarinya. Tapi ini Brama menjilati saus, langsung di piringnya!
Euugghh! Betapa menjijikkan!
Sejak dulu Andrea jijik dengan sikap Brama yang satu itu. Di mata Andrea, orang yang mencolek sisa-sisa saus di piring langsung menggunakan lidah, tampak seperti hewan liar di luar sana yang sedang menjilati sisa-sisa makanan di tempat sampah.
Sayangnya, dulu, sebelum menikah, Andrea tidak tahu kebiasaan Brama yang menjijikkan ini. Ketika Andrea tahu kebiasaan buruk ini, mereka sudah telanjur menikah.
Masa seorang Finance Director di sebuah perusahaan pertambangan punya kebiasaan menjijikkan seperti itu?
“Tapi aku kan, nggak melakukannya di luar, An,” bela Brama, waktu itu.
“Berarti kamu hanya melakukannya di hadapanku? Kamu tega banget bikin aku jijik,” Andrea bergidik.
Selalu begitu saat Andrea menegur Brama. Kalau kesalahan-kesalahan Brama seperti menaruh handuk basah di kasur, tidak langsung mencuci gelas bekas kopi, menarik satu pakaian sampai pakaian yang lain berhamburan, Andrea masih bisa memaafkan. Meskipun itu juga menjengkelkan, setidaknya, tidak menjijikkan.
Tapi kalau menjilat sisa saus langsung ke piringnya … hiiiyyy … Andrea bergidik lagi.
Andrea sudah tidak tahan, sampai tiba-tiba melempar gelas yang dipegangnya. Momen sarapan mereka hari ini jadi rusak gara-gara kebiasaan buruk Brama.
Ditatapnya Brama, dengan tatapan menusuk. Sementara, Brama yang duduk tepat di hadapan Andrea, mematung. Tangannya yang masih memegang piring dengan sisa-sisa saus, tergantung di udara. Piring itu tepat di dekat wajahnya dan Brama sejak tadi asyik menjilatinya.
“Oh, maaf, An. Aku lupa …,” kata Brama seperti pencuri yang baru saja tertangkap basah.
Andrea tidak menjawab. Sudah ribuan kali Brama minta maaf, tapi ribuan kali juga dia mengulanginya.
Ini sudah tidak bisa dibiarkan. Andrea harus bertindak tegas, daripada mood-nya selalu anjlok setiap kali makan bersama Brama.
“Aku sudah nggak bisa menerima, Bram. Aku sudah nggak tahan. Aku mau cerai!” seru Andrea. Pelan, tapi menusuk.
Brama tercengang. Rasanya seperti ada palu godam yang menghantamnya. Laki-laki itu tidak menyangka Andrea bisa begitu tegas.
Tanpa menunggu kata-kata Brama, Andrea beranjak dari kursi makan lalu bergegas berangkat ke kantor. Telur mata sapi dan sosis panggang kesukaannya, masih utuh teronggok di piring. Selera makan Andrea sudah menguap entah ke mana.
Suara stiletto Andrea yang menyentuh lantai, terdengar sangat tergesa.
“Eh, An! Andrea!” Brama segera berdiri dan berusaha mengejar istrinya.
Terlambat. Andrea sudah masuk ke mobil dan menyetir sendiri menuju kantor.
Brama menepuk keningnya. Dia sudah berusaha keras untuk mengubah kebiasaan yang tidak disukai istrinya itu, tapi selalu gagal. Menurut Brama, menjilati saus di piring itu bukan kesalahan besar, bukan juga sebuah dosa. Yang terpenting, Brama tidak pernah melakukannya di depan umum.
Namun, bagi Andrea, kebiasaan Brama itu sangat jorok, terlihat menjijikkan, dan tidak termaafkan.
Brama menghela napas. Terdengar berat. Seharusnya dia menyadari bahwa ini hal serius bagi Andrea. Seharusnya juga Brama sejak dulu sudah menghilangkan kebiasaan itu.
Seharusnya.
Andrea menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia memijat keningnya untuk meredakan pusing. Marah sehebat itu ternyata membuatnya sakit kepala.
Perempuan pemilik butik itu kemudian mengurangi kecepatan mobilnya dan berubah pikiran. Diambilnya ponselnya lalu menghubungi sebuah nama.
“Niken, hari ini aku nggak ke kantor, ya. Kamu urus sendiri semua pesanan kebaya yang sudah confirmed,” katanya pada asistennya.
“Iya, Bu. Bu Andrea baik-baik saja, kan? Mau ke mana?” tanya Niken.
“Aku baik-baik saja, tapi butuh istirahat dulu,” sahut Andrea.
Andrea membelokkan arah mobilnya. Dia bukan mau istirahat, tapi justru memicu adrenalinnya.
Andrea membuka GPS dan mengetikkan sebuah alamat. Jantungnya kembali berdegup kencang.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Andrea membaca plang itu lalu mengarahkan mobilnya masuk ke gedung itu. Berkali-kali Andrea menghela napas. Tekadnya sudah bulat. Dia ingin mengajukan gugatan cerai.
Buat apa mempertahankan pernikahan yang isinya tidak saling menghormati? Buat apa hidup berlama-lama bersama Brama dan menerima kebiasaannya yang menjijikkan? Andrea bahkan mau muntah kalau ingat Bram asyik menjilati piring. Laki-laki macam apa yang punya kebiasaan seperti itu.
Hueekk!
Andrea nyaris muntah membayangkannya.
Perempuan itu cepat-cepat turun dari mobil. Dia melihat-lihat suasana. Ternyata banyak perempuan ke sini untuk menggugat cerai suaminya. Ternyata tempat ini lumayan ramai pengunjung. Sebegitu banyakkah pasangan yang ingin bercerai?
Kalau mengingat-ingat kebiasaan Brama, Andrea jadi mengerti. Mungkin saja banyak laki-laki yang punya kebiasaan buruk. Bahkan jauh lebih buruk dari kebiasaan Brama.
Andrea mantap melangkah ke sebuah ruang pelayanan.
“Selamat siang,” Andrea tampak kikuk karena baru kali ini menginjakkan kaki di sini. Sebelumnya, dia bahkan tidak pernah membayangkan akan pernah ke sini.
“Silakan, Bu,” sahut seorang petugas.
Ini adalah ruang pelayanan untuk membuat surat gugatan. Andrea mengikuti langkah-langkah yang harus dilakukan. Di sini, petugas itu akan membantu Andrea.
“Apa alasan Ibu mengajukan gugatan cerai?” tanya petugas itu.
Andrea baru saja akan semangat membuka mulut, tapi sedetik kemudian, mengurungkannya. Dia terdiam.
Alasan menggugat cerai? Apa, ya? Batin Andrea. Apakah punya kebiasaan buruk menjilati piring yang ada sisa sausnya, bisa dijadikan alasan perempuan menggugat cerai suaminya?
Akhirnya Andrea menyampaikan apa adanya. Petugas itu kaget mendengar alasan itu, tapi tetap memasukkannya ke dalam surat permohonan cerai.
Andrea merasa lega sudah mengajukan gugatan cerai. Dia hanya tinggal menunggu surat panggilan. Dengan perasaan lebih baik, Andrea pulang.
“Oh ya, aku tulis pesan dulu untuk Brama,” gumam Andrea yang sudah duduk di depan kemudi, sambil mengambil ponselnya dari dalam tas.
Aku sudah mengajukan gugatan cerai. Kamu tinggal tunggu panggilan sidang saja dari Pengadilan Agama.
Setelah mengirim pesan itu, Andrea tancap gas, langsung pulang.
Lebih baik hari ini aku nggak pulang dulu. Biar kamu bisa istirahat. Kalau kamu nyari, aku ada di rumah Mamah.
Andrea sempat membaca pesan balasan dari Brama. Andrea tersenyum senang. Itu berarti dia bisa leluasa istirahat di rumah. Andrea sedang enek pada Brama. Baguslah kalau dia tidak pulang. Sebaiknya memang begitu.
Hei! Kalau aku nyari, kamu ada di rumah Mamah? Siapa juga yang mau nyari kamu!
Andrea tersenyum sinis. Biar saja Brama ada di rumah Mamah, mertua Andrea. Atau di mana pun. Asal jangan di rumah yang mereka tempati berdua.
Sampai rumah, Andrea merasa ringan. Dia melempar stiletto-nya begitu saja di ruang tamu, dan menjatuhkan diri di sofa.
Bebaasss! Mulai hari ini Andrea bebas. Tidak ada lagi Brama yang menjijikkan.
Untuk merayakan awal kebebasan ini. Andrea meraih remote TV. Dia ingin menikmati layanan IndiHome sepuasnya, tanpa diganggu siapa pun. Layanan internet keluarga dari Telkom Group ini jadi andalan setiap Andrea merasa sumpek.
Dipilihnya channel film box office. Andrea ingin maraton nonton film cerita tanpa batas.
“Aha! Ini dia!” Andrea berhenti tepat di film The Notebook dan asyik menikmatinya.
Tepat ketika kedua pemerannya, cewek dan cowok, berlarian di tengah hujan, tiba-tiba Andrea teringat Brama.
“Eh, aku sama Brama kan, pernah juga lari-larian di bawah hujan. Romantis. Hihihi …..”
Tapi Andrea jadi sebal karena film itu mengingatkannya pada Brama. Andrea pun mencari film lain. Kali ini, Before We Go.
Andrea berusaha menikmatinya. Namun, ketika Nick dan pacarnya menghabiskan malam dengan berbincang-bincang bersama, Andrea juga teringat pada Bram. Mereka sering ngobrol bersama sampai pagi, membahas segala hal, dari yang receh sampai yang paling penting.
Andrea tanpa sadar menggeleng, berusaha membuang ingatan itu. Lagi-lagi dia mencari film lain.
Andrea mulai resah. Kenapa semua film jadi mengingatkannya pada Brama?
Ugh! Sekali lagi, Andrea mengganti film. Dia berhenti di Titanic. Film bertema tragedi begini mana bisa mengingatkannya pada Brama? Pikirnya.
Ternyata, Andrea salah.
Ketika Jack dan Rose bertemu di kapal, Andrea ingat saat Brama mengajaknya berlibur di kapal pesiar di perairan Lombok. Ketika Cal memberi kalung pada Rose, ingatan Andrea terbang ke masa pertunangan mereka saat Brama menyematkan kalung ke leher Andrea. Puncaknya, ketika Jack menjaga Rose saat terapung di laut, Andrea jadi ingat ketika Brama menyelamatkan saat Andrea nyaris tenggelam di kolam renang!
“Brama!” tiba-tiba Andrea tersentak. Tubuhnya menegak. Dilayangkannya pandangannya ke seluruh ruangan.
Sepi.
Tidak ada siapa pun. Juga tidak Brama.
“BRAMAAAA!” Andrea berteriak sambil terisak. Biasanya saat nonton Titanic, ada Brama di sebelahnya. Biasanya saat Andrea menangis melihat adegan Jack yang menjaga Rose, ada Brama yang memeluknya. Sekarang, Brama tidak ada. Tidak di sini.
Detik ini juga Andre merasa kehilangan Brama. Andrea tercekat. Dia baru saja mengajukan gugatan cerai.
“Oh, nggak! Nggak!” Andrea kelabakan. Dia langsung mencari-cari stiletto yang tadi dilemparnya. Dipungutnya satu per satu sepatu dengan hak 12 cm itu.
“Brama! Nggak apa-apa deh, kamu punya kebiasaan menjijikkan, asal ada di sini terus, Bram!” Andrea terus berbicara sendiri. Dia terburu-buru memasang sepatunya. Dia langsung menyambar tasnya begitu saja dan masuk ke mobil. Dibiarkannya TV yang masih menyala. Nanti saja dia akan nonton lagi internetnya Indonesia, bersama Brama.
Belum satu hari tanpa Brama, Andrea sudah tidak sanggup. Bagaimana kalau dia sudah resmi cerai?
Oh, cerai? Andrea mengutuk diri sendiri. Kok, bisa-bisanya dia mengajukan gugatan cerai?
Andrea tidak mau cerai. Tidak mau!
Andrea menyalakan mobil dan melarikannya secepat kilat. Andrea tahu, satu hal penting yang harus dilakukannyadilakukanny. Membatalkan gugatan cerai itu. Selanjutnya, Andrea akan menyusul Brama, ke rumah Mamah.
Leave a Reply