Bayangkan! Kita punya gudang rempah-rempah! Dari mulai lada, pala, ketumbar, merica, sampai kayu manis, semua ada di gudang ini. Jumlahnya tidak sedikit, tapi berton-ton!
Lokasi gudang rempah-rempah ini ada di Jl. Pasar Ikan, Jakarta Pusat. Sayangnya, itu dulu, ketika gedung ini masih menjadi gudang rempah-rempah. Belanda lah yang menggunakan gedung ini untuk menyimpan hasil bumi kita, bangsa Indonesia. Ya, rempah-rempah yang jumlahnya menakjubkan itu adalah hasil panen para petani pribumi yang dibeli dengan harga murah oleh Belanda, kemudian dijual lagi di pasar Eropa dengan harga setara emas. Sekarang gudang rempah-rempah itu sudah menjelma menjadi museum dan diberi nama Museum Bahari.
Perasaan saya selalu teraduk-aduk ketika memasuki gedung yang penuh sejarah. Begitu masuk, saya langsung membayangkan suasana dulu ketika tentara Belanda masih berseliweran di sini. Pintu kayu besar yang ada di bagian depan sangat khas sebagai bangunan zaman kolonial. Begitu juga bagian atasnya. Kayu-kayu penyangga tidak menggunakan paku melainkan diikat dengan tali besar dan kuat, lalu disatukan dengan dinding.
Suasana bahari langsung terasa begitu masuk di bagian awal. Peta perjalanan para penjelajah lautan terbentang berbingkai kaca. Namanya juga Museum Bahari, ya, hiasan-hiasannya serba berbau bahari. Ada replika kapal layar yang dahulu pernah digunakan oleh pelayar Indonesia sampai ke perairan Meksiko, ada juga foto-foto berbagai suasana pelayaran zaman dulu.
Tadinya saya pikir museum yang pada masa penjajahan Jepang ini digunakan sebagai gudang senjata hanya memberi pengetahuan tentang bahari Indonesia. Ternyata ada ruangan lain yang keren banget. Ruangan itu berisi patung-patung tokoh sejarah Indonesia. Uniknya, tokoh yang ada di sana bukan hanya pahlawan di masa perjuangan kemerdekaan tapi juga banyak tokoh dari masa sebelum penjajahan.
Ada Ferdinand Magelhaens, orang Portugal yang berniat keliling dunia dan berlayar dari Spanyol hingga sampai ke Samudera Pasifik, Vasco da Gamma, hingga Christopher Columbus, bahkan Laksamana Cheng Ho. Pokoknya, di museum ini, waktu seakan ditarik mundur hingga ribuan tahun yang lalu.
Yang nggak kalah keren, di sini ada cerita tentang Dewa Neptunus, dewa laut yang saya kenal pertama kali lewat Majalah Bobo zaman saya SD. Lalu, saya senyum-senyum lihat Keumalahayati. Sayangnya nggak banyak yang mengenal tokoh pejuang wanita asal Aceh ini. Padahal, Keumalahayati atau yang sering disebut dengan Malahayati saja adalah orang yang berhasil membunuh Cournelis de Houtman, jenderal Belanda yang sangat bengis. Saya senyum-senyum karena beberapa hari sebelum mengunjungi museum ini, saya baru saja menulis cerita sejarah tentang Keumalahayati untuk sebuah buku. Jadi, saya sudah tahu duluan. Heran juga sih, kenapa tokoh sehebat Keumalahayati ini kurang terdengar gaungnya bahkan di buku-buku sejarah sekolah, ya?
Saya takjub banget dengan penuturan cerita sejarah ini. Tampilannya bukan berupa tulisan atau diorama seperti di museum-museum lainnya, tapi berupa patung setinggi manusia dewasa. Suasananya juga dibuat gelap dan ada efek-efek dramatis gitu dari lampu-lampunya.
Saya ke Museum Bahari ini bareng acara jalan-jalannya Jakarta Corner, yang sekarang sudah berubah jadi Indonesia Corner. Sebenarnya Mas Rexy pengin banget ke museum ini, tapi mau ke sana belum jadi-jadi terus. Kapan-kapan saya agendakan bawa anak ke sana, deh. Biar pada ngerti sejarah negerinya sendiri.
kumpulan informasi seputar asuransi says
Mantap 😀