
Pemenang Favorit Lomba Cerpen Remaja Rohto-Lip Ice 2010
Langit berwarna merah tembaga. Cakrawala dihiasi semburat awan tipis berwarna kuning keemasan. Sekawanan burung tampak seperti sebuah titik yang bergerak perlahan. Senja sangat indah. Seperti lukisan alami yang membuat decak kagum bagi siapa saja yang menyaksikan. Pekat pun mulai turun.
Jari-jari kurusku masih menggenggam jeruji jendela. Erat. Dan berkeringat. Aku tak ingin melepasnya. Hingga senja benar-benar pekat. Senja memang indah. Tapi sangat mencekam bagiku. Kehadiran senja selalu membuatku ingin cepat menghilang. Andaikan bumi bisa terbelah, ingin rasanya masuk ke dalam dan tak pernah kembali lagi.
Aku terpaku menatap kejauhan. Tanpa berkedip. Perlahan-lahan, langit seperti tertutup tirai. Ada hasrat kuat untuk menghentikan waktu, agar senja tak cepat gelap. Agar malam tak pernah tiba. Agar tangan kekar itu tak pernah datang.
Tubuhku mulai lemas. Keringat mengucur, bukan hanya di sela-sela jari. Tapi di sekujur tubuhku. Waktunya hampir tiba. Sama seperti beribu malam yang telah kulalui. Aku terdiam. Terpaksa meninggalkan senja. Dan menyambut malam dengan penuh rasa sesak.
Malam semakin mencekam. Kututup jendela. Senyap. Tak ada suara selain detak jantungku dan detik jarum jam. Sebentar lagi, petaka itu datang. Untuk keseribu kalinya. Tak ada yang bisa kuperbuat selain pasrah. Menangis pun percuma. Tak ada satu makhluk yang bisa mengubah keadaan.
Aku terkesiap saat mendengar sebuah langkah. Wajah itu muncul lagi. Aku tercekat! Meski sudah beribu kali, jantungku tetap mendadak berhenti. Seringai itu sudah sangat kuhapal. Mengendap di dalam kalbu. Menusuk setiap inci tubuhku. Seringai serigala yang mendapatkan mangsanya.
Kutatap tangan kekarnya. Tangan yang seharusnya melindungiku, justru bertindak sebaliknya. Peluhku semakin deras. Jantungku terasa seperti ditikam. Suasana semakin mencekam. Gelap. Pekat. Untuk kesekian kalinya, tangan kekar itu membuatku melolong!
***
Hanya legenda cinta Sulasih dan Sulandono yang membuatku merasa bahagia. Aku pun ingin merasakan cinta seperti mereka. Cinta abadi yang tak akan pernah terkikis, meski mereka telah berbeda alam. Tapi, siapa yang mau dengan gadis seperti aku? Yang layu bahkan sebelum kuncupnya sempat mekar. Yang hidupnya tak punya pilihan. Yang hanya bisa menerima kenyataan seperih luka.
Sintren membuatku tetap semangat. Tak ada yang dapat membuatku jatuh cinta selain menjadi penari Sintren. Aku harus berterima kasih pada pasangan Sulasih dan Raden Sulandono. Hayalanku melayang jauh. Membayangkan bagaimana indahnya kisah kasih mereka. Percintaan Raden Sulandono dan Sulasih tak direstui oleh ayah Raden Sulandono, Bahureksa, Sang Bupati Mataram. Namun, Rantamsari, ibunda Raden Sulandono, mendukung sepenuhnya rasa cinta puteranya. Perempuan bersahaja itu memerintahkan puteranya untuk bertapa. Sebelum mengizinkan puteranya pergi, Rantamsari memberi bekal sebuah sapu tangan pada Raden Sulandono.
Kepada Sulasih, Rantamsari memerintahkannya untuk menjadi penari, sebagai syarat agar dapat bertemu dengan Raden Sulandono. Maka, pada saat acara bersih desa, Sulasih menari di bawah sinar bulan purnama. Dengan berbekal sapu tangan dari ibunya, Raden Sulandono turun dari pertapaan dan menemui kekasihnya, Sulasih.
Betapa indahnya cinta mereka. Cinta yang abadi. Kapan aku bisa memiliki cinta tulus seperti itu?
***
Aku dan Simak selalu menonton pertunjukan Sintren. Aku terpesona melihat penarinya. Dengan gaya yang anggun, perempuan penari Sintren menjalankan perannya. Perempuan itu penuh pesona daya magis. Kekuatan “aneh” tidak hanya menyihir dirinya, tapi juga membius kami, para penonton.
Suara gamelan terus terdengar. Tak lama kemudian, wangi kemenyan menusuk hidung. Semua pun berdo’a kepada Yang Kuasa. Berharap agar terhindar dari mara bahaya selama pertunjukan. Pertunjukan pun dimulai.
Seorang penari Sintren duduk diapit empat dayang-dayang. Penari Sintren itu masih mengenakan pakaian biasa. Seorang pawang mendatangi penari Sintren, memegang kedua tangan penari Sintren itu, lalu diletakkan di atas asap kemenyan. Bibir pawang itu bergerak-gerak mengucapkan mantra. Lalu Sang Pawang melilit tubuh penari Sintren dengan seutas tali.
Wangi kemenyan terus-menerus menguar. Suara gamelan juga tak henti mengalun. Penari Sintren itu dimasukkan ke dalam sangkar ayam. Besarnya sangkar ayam itu hanya pas dengan tubuh si penari Sintren. Di dalam sangkar ayam sudah disediakan seperangkat peralatan berhias, dan pakaian untuk penari Sintren yang terdiri dari kain, kebaya, selendang, dan mahkota. Sangkar ayam pun ditutup kembali.
Beberapa saat kemudian, sangkar ayam dibuka. Tampak penari Sintren sudah berhias, meskipun tubuhnya masih terlilit tali.
Pawang menutup sangkar ayam lagi. Dalam hitungan menit, sangkar ayam tampak bergetar. Para penonton, termasuk aku dan Simak, terpesona. Inilah saat yang dinanti-nanti. Pawang itu membuka sangkar ayam, dan..
Ajaib! Tubuh penari Sintren sudah terlepas dari ikatannya. Tak hanya itu. Penari itu pun sudah berpakaian lengkap. Kain, kebaya, selendang, dan mahkota, sudah menghias tubuhnya!
Penari itu keluar dari sangkar dan menari-nari. Ia tak sadarkan diri. Menurut legenda, saat itulah Raden Sulandono masuk ke dalam raga Sulasih dan membuatnya tak sadarkan diri, agar bisa membawa perempuan itu pergi.
Aku dan Simak terpukau. Betapa pertunjukan yang membuat kami terkesima. Di dalam sangkar yang sempit, penari itu bisa berganti pakaian dan berdandan dengan sangat cantik! Aku dan Simak enggan beranjak dari tempat, hingga pertunjukan selesai.
“Simak, aku ingin jadi penari Sintren,” kataku, setelah pertunjukan itu selesai.
Simak tersenyum.
“Anakku, tak ada yang melarang kau ingin jadi apa. Yang terpenting, segala yang kau lakukan adalah hal-hal yang baik.”
Senyum Simak membuatku tenang. Tangannya yang berurat membelai bahuku dengan lembut. Betapa tenteramnya. Betapa bahagianya hidup berlimpah kasih sayang seperti ini.
***
Segala kebahagiaan lenyap begitu saja, ketika Simak mendapatkan pendamping baru. Bagaimanapun, orang baru itu tak dapat menggantikan sosok bapak kandungku yang sudah tiga tahun meninggal.
Pendamping baru tidak membuat Simak dan aku lebih bahagia. Malah sebaliknya. Hidup Simak begitu menderita. Penuh tekanan. Orang itu, laki-laki itu (ah, aku tak akan pernah sanggup memanggilnya dengan sebutan “bapak”) begitu mudah mendaratkan tangan, kaki, atau apa pun yang ada di depan matanya, ke tubuh Simak.
“Niiiiiingg… Lari, Niiiiingggggggg!!!”
Hatiku sangat pilu mendengar jeritan Simak. Aku langsung melesat keluar, mengikuti kata-kata Simak. Aku tahu, Simak berusaha menyelamatkanku dari amukan laki-laki itu. Simak tidak ingin aku menjadi korban seperti dirinya. Akhirnya, para tetangga selalu melerai dan melepaskan Simak dari cengkeraman laki-laki itu.
Suatu ketika, para tetangga terlambat datang ke rumahku ketika jeritan Simak terdengar lagi. Simak rubuh! Tergeletak di lantai dan menggelepar. Lalu napasnya menghilang!
Hari-hariku selanjutnya menjadi lebih kelabu. Seperti warna badan Simak yang terkena hantaman laki-laki itu. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis. Meronta. Dan menjerit.
Setelah bebas dari hukumannya, laki-laki itu kembali ke rumah ini. Rumah Simak. Dengan segala tipu daya, ia berhasil mengelabui para tetangga. Ia bersumpah telah berubah, dan berjanji akan merawatku hingga aku besar.
Tak ada yang tahu bahwa laki-laki itu melanggar sumpahnya. Hampir setiap malam, ia membuatku melolong dari balik bantal.
***
Aku, Ning Rahayu, sudah seharusnya merasa bersyukur. Masih ada satu hal yang membuatku semangat menjalani hidup, meski harus merangkak dan tertatih-tatih.
Sintren. Kini aku menjadi penari Sintren. Ada dua hal yang membuatku bersyukur bisa bergabung di kesenian itu. Pertama, aku bisa mengenang masa-masa manis bersama Simak, ketika kami berdua menyaksikan pertunjukan Sintren dengan sepenuh hati. Kedua, dengan menjadi pemain Sintren, aku berharap bisa bertemu dengan kekasihku –entah siapa nanti- yang akan menyayangiku segenap jiwa. Seperti pertemuan Sulasih dan kekasih tercintanya, Sulandono, dalam legenda asal-usul Sintren.
Suara gamelan terus mengalun. Suara yang mampu melambungkan hatiku hingga ke langit ketujuh. Inilah dunia yang membuatku merasa kuat untuk melanjutkan hidup. Satu-satunya kebahagiaan yang masih bisa kukecap.
Penonton belum terlalu banyak. Tapi aku sudah bersiap-siap. Wangi kemenyan mulai menusuk hidung. Semua berdo’a, agar selamat dari segala mara bahaya yang mungkin terjadi selama permainan Sintren ini.
Setelahnya, sama seperti biasa. Pawang membawa kedua tanganku ke dalam kepulan asap kemenyan. Lalu aku dimasukkan ke dalam sangkar ayam yang sempit dengan tubuh terikat. Pada saatnya, ada roh yang akan menyusup ke dalam tubuhku, lalu memberikan kekuatan agar aku bisa terlepas dari ikatan ini, dan berdandan secantik mungkin.
Kutunggu saat-saat itu. Roh itu belum datang. Kutunggu beberapa saat lagi. Ia tidak juga datang. Oh! Ada apa ini? Mengapa aku masih terdiam dengan kesadaran penuh? Seharusnya saat ini ia datang merasuki tubuhku. Seharusnya saat ini aku sudah sanggup melepaskan ikatan tubuhku. Seharusnya saat ini aku sudah bisa berdandan sesempurna mungkin. Tapi ini?!
Pawang membuka sangkar ayam. Ia terkejut melihatku masih dalam keadaan seperti semula. Penonton tak kalah terkejut. Gamelan berhenti. Kemenyan diguyur air. Pertunjukan gagal. Penonton bubar. Aku masih terperangah tak percaya ketika semua orang menatapku tajam, penuh tuduhan yang menyakitkan.
***
“Apa, Yu?!! Aku tak boleh jadi penari Sintren lagi?!” suaraku melengking tinggi.
Di depanku, berdiri Yu Rahmi, ketua rombongan Sintren yang biasa mengajakku menjadi penari Sintren.
“Tidak bisa, Ning. Kau tahu, kan syarat jadi pemain Sintren?” Yu Rahmi menatapku tegas.
Aku sangat kecewa. Lemas, hingga hampir tak mampu bernapas. Rasanya seluruh isi tubuhku melorot dengan kecepatan luar biasa, dan ambruk terbanting ke tanah.
“Kau ingat? Akhir-akhir ini, sudah beberapa kali kau gagal? Kau membuat kami sangat kecewa. Kau membuat penonton tak mau datang lagi. Kau membuat pertunjukan kita sepi.”
Yu Rahmi mengucapkan kata-kata itu dengan perlahan. Namun sanggup menikam tepat di jantungku.
“Penari Sintren itu harus…. Harus masih suci, Ning. Kalau sudah tidak suci, tidak ada roh bidadari yang mau datang ke pertunjukan. Penari Sintren tidak akan jadi dengan sempurna. Hanya itu, Ning. Hanya itu!” wajah Yu Rahmi penuh tanda tanya. Namun bagiku, tanda tanya itu sudah bukan lagi sebuah pertanyaan.
Air mataku berhamburan. Hatiku mencelos. Aku sudah punya jawabannya. Jawaban atas pertanyaan yang muncul dari wajah dan kata-kata Yu Rahmi. Aku terkulai, bersimbah air mata.
“Aku mohon, Yu…. Aku mohon… Ini bukan salahku…,” kupeluk kaki Yu Rahmi. Pandangan mataku buram karena derasnya air mata.
“Masih banyak calon penari Sintren yang masih suci, Ning,” sekali lagi, Yu Rahmi menggeleng.
Aku terjerembab ke lantai. Aku merasa diriku seperti seonggok daging yang tak berguna. Air mataku tak henti-henti tertumpah.
***
Kini, satu-satunya yang bisa kulihat dengan jelas, adalah senja. Tangan kurusku terus menggenggam jeruji jendela. Tak kan kubiarkan senja berlalu begitu saja. Tak kan kubiarkan satu titik keindahan senja terlewat sekedip mata.
Langit berwarna merah tembaga. Awan tipis kuning keemasan mengantarkan burung-burung kembali ke peraduan. Tak ada yang pasti dalam hidup yang kujalani. Hanya senja yang pasti bergulir, berganti dengan pekat.
Dan pekatnya malam, kembali menemaniku meniti kehidupan yang suram.
Suara langkah bersepatu berat itu kembali membuatku bergidik. Suara yang tak seberapa keras itu sanggup membuat persendianku luluh lantak. Juga membuat keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku.
Dia.
Dialah yang membuatku tak bisa lagi menjadi penari Sintren. Dialah yang menghempaskan kebahagiaanku. Membuat kasih sayang antara aku dan Simak tercabut dengan paksa. Kini dia juga yang membuat seluruh hidupku musnah. Ya. Seluruh hidupku. Masa lalu, masa kini, dan masa depanku.
Dia. Manusia bergelimang dosa.
Langkah berat itu semakin mendekat. Aku tercekat. Tapi, tak ada yang dapat kuperbuat. Malam ini akan menjadi malam laknat seperti sebelum-sebelumnya.
Dia memandangku. Kali ini, tanpa ekspresi.
“Minggu depan aku pindah ke Jakarta. Kau harus ikut. Siapkan barang-barangmu!”
Aku terdiam. Tak kusangka, hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Aku merasa sedikit lega. Tak dilakukannya apa yang biasa dilakukannya padaku, hampir setiap malam. Aku menarik napas. Panjang.
***
Makhluk bengis itu terus memaksaku untuk ikut ke Jakarta. Tidak. Aku tidak mau. Tempatku di sini. Di Pemalang. Apa pun yang akan terjadi, inilah tanah kelahiranku. Tempat aku keluar dari rahim Simak. Tempat aku menjalani hidup bahagia bersama Simak dan almarhum bapak, lalu disusul dengan kehidupan yang pedih dan perih. Juga tempat aku mati, kelak.
Laki-laki itu sudah bersiap. Aku pura-pura menurut. Kukumpulkan semua pakaianku ke dalam satu tas besar. Agar aku terlihat mengikuti perintahnya. Tapi jangan harap. Aku tak akan mempertaruhkan hidupku menjadi budaknya lagi. Aku harus mengambil keputusan. Aku harus memilih : tangan kekarnya menyeretku ke lembah yang lebih laknat, atau tetap bertahan berada di tanah kelahiranku dengan segala cara. Ya, dengan segala cara.
Ini adalah senja terakhir. Bagiku. Dan baginya. Langit mulai meredup. Cakrawala keemasan kembali mengantarkan burung-burung. Awan tipis perlahan membuat burung-burung itu berubah menjadi siluet. Indahnya senja, akan selalu kuukir di dalam kalbu. Pada saatnya nanti, akan kuceritakan keindahan ini pada orang-orang yang kukasihi.
Tetap berada di tanah kelahiran, apapun caranya. Itulah jalan yang kupilih.
Aku bersiap-siap. Meski senja telah berubah menjadi pekat, aku tak ingin memejamkan mata. Aku harus terjaga. Jangan sampai mentari pagi berkuasa. Jangan sampai kokok ayam membuatku kalah. Kali ini, aku harus menang! Aku harus menaklukkan fajar, agar ia tak sempat muncul menggantikan senja dan malam. Agar bayanganku tentang meronanya senja, tak tergantikan oleh apapun.
Aku semakin menguatkan diri. Kuucapkan apa yang ingin kuucapkan. Pada malam. Pada jelaga di atap rumah. Pada debu-debu di lantai. Juga pada jeruji jendela yang selalu bersedia kugenggam erat-erat.
Inilah saatnya.
Inilah waktunya.
Jangan sampai didahului oleh fajar.
Jangan sampai dimenangkan kokok ayam.
Dan….
EPILOG
Matahari masih malu-malu muncul di ufuk timur. Fajar belum sepenuhnya merekah, namun suasana salah satu desa di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, sangat ramai.
Di dalam sebuah rumah ditemukan seorang gadis dengan pergelangan tangan bersimbah darah. Para penduduk terperangah. Mereka datang berduyun-duyun, lalu bergumam tak jelas, bagai kerumunan lebah.
Mobil polisi berlalu. Membawa seorang laki-laki yang kerap menodai anak tirinya. Menyusul kemudian, ambulans dengan sirine yang memekakkan telinga. Melarikan gadis mantan penari Sintren ke peraduan terakhirnya.
SELESAI
Catatan :
Simak = panggilan untuk ibu, terutama di daerah-daerah pesisir pantai utara Jawa seperti di daerah Tegal, Pemalang, dan Pekalongan.
Beli Bukunya dimana Bu Nunik Utami?? saya butuh
Hanifah, ini bukan buku. Ini cerpen yang dilombakan di LMCR. Nggak ada bukunya 🙂
This comment has been removed by the author.
Bagus lho ceritanya. salam, RA.
Terimakasih atas info sintren via cerpen. Salam sastra, RA.