Eh, yang benar saja? Bukankah pekerjaan penulis itu hanya menulis?
Begini.
Dunia menulis dapat dimasuki melalui dua pintu. Pintu pertama, lewat kecintaan membaca. Sering membaca buku otomatis akan membuat kita merasa senang dengan isi yang disajikan. Perasaan kita ikut melayang-layang ketika tokoh di dalam cerita sedang jatuh cinta. Sebaliknya, kita akan merasa sedih saat si tokoh mengalami musibah. Pada akhirnya, kita merasa kagum pada penulis yang menggarap cerita ini. Diam-diam, timbul keingingan untuk dapat membuat cerita seindah kisah ini. Tanpa sadar kita pun tergerak untuk menulis.
Pintu kedua, terjun langsung ke dunia menulis. Banyaknya lomba penulisan membuat kita semangat mengikutinya. Lomba-lomba ini juga sekaligus sebagai ajang untuk mengukur kemampuan menulis kita. Dari sini, kita belajar berbagai teknik menulis. Lama kelamaan, kita terbiasa menulis.
Dari dua pintu itu, akhirnya kita benar-benar menjadi penulis. Buku kita terbit setiap bulan. Berbagai media pun memuat karya tulis kita.
Tak hanya itu. Profil kita juga muncul di banyak media. Mereka ingin kita berbagi kreativitas dan ilmu menulis.
Setelah itu, apa lagi?
Kejutan-kejutan bermunculan. Banyak pihak yang menawarkan pekerjaan baru.
Wait! Pekerjaan baru? Ya. Tentu saja masih berhubungan dengan dunia menulis. Misalnya:
Proofreader
Tugasnya adalah memeriksa naskah penulis lain. Kita harus memastikan tidak ada kesalahan dalam naskah tersebut, baik dari segi pemilihan kata (diksi), kesalahan penulisan (typo), atau tanda baca. Tampaknya sepele, ya. Tapi, pekerjaan ini lumayan menantang. Seorang proofreader dituntut memiliki ketelitian yang tinggi. Bagi saya, posisi sebagai proofreader berada di beberapa tingkat lebih tinggi dibandingkan penulis.
Editor
Nah, posisi ini saya anggap sebagai atasan seorang penulis. Pandangan saya, jika penulis sudah menjadi editor, itu berarti penulis tersebut sudah “naik pangkat”.
Mengapa?
Editor-lah yang menentukan naskah kita layak terbit atau tidak. Editor harus jeli, bagian naskah yang harus dihapus, ditambah, atau diubah. Belum lagi soal orisinalitas dan keakuratan data. Editor ibarat saringan yang harus benar-benar menyeleksi tulisan penulis.
Berat? Tentu saja. Itu pun yang saya rasakan ketika menjadi editor lepas naskah karya anak-anak. Tapi, posisi sebagai editor lepas ini masih jauh lebih ringan, karena ada editor in-house yang menuntun saya dalam bekerja.

Trainer
Semakin banyak buku karya kita yang terbit, semakin banyak pula sahabat, kerabat, dan kenalan yang minta diajarkan menulis. Inilah yang saya rasakan. Akhirnya, saya menjadi trainer penulisan. Ada rasa senang ketika teman-teman antusias belajar. Apalagi jika karya hasil belajar mereka berhasil diterbitkan atau dimuat di media. Dari sini, pelan tetapi pasti, kita melangkah menjadi trainer penulisan. Jangan terkejut jika setelah itu tawaran mengajar mengalir deras. Berbagai instansi, komunitas, atau perorangan, menunggu kesempatan belajar pada kita.
Selain profesi-profesi tersebut, masih banyak lagi yang merupakan bagian dari pekerjaan seorang penulis. Misalnya, penerjemah, penulis skenario, dan guru ekskul menulis.
Jadi, pekerjaan penulis itu sangat luas dan banyak pilihan.
Mau coba yang mana?
Mau nyoba jadi editor, gimana caranya ?
Bisa tanya-tanya ke kantor penerbit, Mbak. kirim email, tanyakan apakah penerbit tersebut sedang membutuhkan editor atau tidak. Atau cari lowongan di internet. Good luck ya, Mbak 🙂