Keluarga saya berasal dari suku Jawa. Meskipun besar dan tinggal di Jakarta, saya lahir (tepatnya “numpang lahir”) di Yogyakarta. Mengapa “numpang lahir”? Karena nggak lama setelah lahir, saya diboyong ke Jakarta. Alhasil saya nggak kelihatan kayak orang Jawa, karena cara ngomong dan kelakukannya nggak ada gemulai-gemulainya. Hehehe…
Sampai saat ini, masih banyak saudara bapak yang tetap tinggal di Yogyakarta. Juga saudara (alm) ibu yang tinggal di Pemalang (Jawa Tengah). Tapi sepuluh tahun terakhir, saya sangat jarang bertemu mereka. Belum tentu setahun sekali saya pulang kampung baik ke Pemalang maupun ke Jogja.
Bukan saya nggak cinta. Suer, deh :p. Asli saya sangat merindukan saat-saat pulang kampung. Mulai di perjalanan, dan sesampainya di sana, benar-benar menjadi pengalaman yang selalu bikin kangen.
Waktu kecil, tradisi mudik selalu ada dalam keluarga saya. Kami sekeluarga pasti pulang kampung saat Lebaran. Diawali dengan pulang kampung ke Pemalang, lalu lanjut ke Jogja. Saat itu saya masih dua bersaudara.
Namun, ketika (alm) ibu sudah kelihatan agak ringkih dan cepat lelah, ditambah lagi ibu punya anak lagi (saya jadi empat bersaudara), tradisi pulang kampung itu mulai menurun. Kami nggak selalu pulang kampung saat Lebaran tiba. Bukan apa-apa. Ini semata karena alasan repot. Pulang kampung dengan empat anak, berjubel pula, merupakan saat-saat yang sangat melelahkan, merepotkan, bahkan membuat semuanya hampir putus asa dan tak tahan dengan kondisi.
Akhirnya, sekarang, setelah ibu “nggak ada”, saya memutuskan untuk menghindari pulang kampung saat Lebaran. Jadi, setiap Lebaran, sudah bisa dipastikan saya dan keluarga akan “menjaga” Jakarta.
Jangankan pulang kampung, lihat berita orang pulang kampung saja rasanya lelaaaahhhhhhh banget. Apalagi sekarang sudah punya “buntut” (baca : anak). Kerepotan juga bertambah karena saya adalah anak pertama. Kalau “memaksakan” untuk pulang kampung saat lebaran, otomatis saya yang harus ekstra keras mengatur jadwal bapak dan adik-adik agar bisa pulang kampung di tanggal yang sama, mengatur kendaraan, mengatur perbekalan, juga mengatur bagaimana nanti di kampung (tidur di mana, makan apa, dll). Huaahhhh…. Membayangkannya saja sudah bikin lemas!
Sebenarnya saya kangen dengan tradisi Lebaran di desa. Pasti beda dan lebih ramai. Tapi karena alasan-alasan yang sudah bikin lemas tadi, saya ikhlaskan untuk Lebaran jauh dari keluarga besar. Tapi, saya tetap menjadwalkan untuk pulang kampung, entah setahun, dua tahun, atau tiga tahun sekali. Dengan catatan : tidak pada saat Lebaran.
Alhasil, setiap Lebaran, hanya dua keluarga yang saya kunjungi. Keluarga bapak dan keluarga mertua. Selebihnya, saya tetap di rumah sambil merasakan sepinya suasana (semua tetangga mudik euy! Kalaopun nggak mudik, nggak pernah pada di rumah :D). Atau, saya jalan-jalan. Yaahh paling-paling ke tempat liburan yang ada di Jakarta. Kalau males berjubel juga, mentok-mentok ke mall lagi, deh. Hihihihi…..
Leave a Reply