Aku memasang bando di kepalaku. Bukan bando biasa. Ini bando berwarna kuning, menyerupai warna emas. Tapi yang ini terbuat dari semacam kaleng atau kuningan (aku tidak tahu persis), ada tujuh hiasannya. Mirip hiasan pengantin. Aku juga menyematkan benda seperti gelang di pergelangan tanganku. Gelang itu, baik warna dan bahannya sama dengan bando yang kini bertengger di kepalaku.
Aku langsung mematut diri di kaca. Wahhh, itulah diriku. Rambut panjang terurai memakai Baju Bodo (pakaian khas dari Sulawesi Selatan) warna kuning dan sarung Makassar warna merah. Yup, sebentar lagi aku akan ikut karnaval. Ini adalah perayaan HUT Kemerdekaan yang ke 50.
Setelah rapi, tak lupa kusambar kipas bulu berwarna merah lalu bergegas ke luar rumah. Eitss.., tunggu dulu. Sekali lagi aku menatap cermin dan membetulkan rambutku. Memakai baju ini, aku jadi merasa cantik. Hehehe…Aku juga memastikan bahwa aku sudah rapi, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yah, siapa tahu saja nanti ada…
Suasana diluar rumah sudah ramai. Banyak remaja-remaja seusiaku yang juga akan ikut karnaval. Wahh, pakaian mereka unik-unik sekali. Ada yang memakai pakaian daerah Bali, Jawa, Aceh , ada pula yang berpakaian tentara, dokter, kuda lumping, ondel-ondel, bahkan ada laki-laki yang berdandan seperti perempuan hamil yang memakai kacamata hitam! Ya, apapun dilakukan oleh warga untuk memeriahkan Ulang Tahun Perak negri tercinta ini.
Aku segera menuju ke rumah Pak RT. Di sanalah semua warga berkumpul untuk kemudian melakukan karnaval, berjalan-jalan keliling kampung.
Waaaa, itu dia! Mataku langsung tertumbuk pada seorang cowok dengan baju warna biru. Oh, dia pakai Pakaian Dinas Harian Angkatan Udara untuk karnaval ini. Lengkap dengan topinya. Betul, dia terlihat gagah.
Ah, dia juga melihatku. Sekilas mata kami bertemu. Aku langsung memalingkan wajahku lagi. Bukan! Bukan karena benci. Tapi aku masih belum dapat mengendalikan diriku. Aku deg-degan!
Aku mulai bergabung dengan yang lain. Sebagai “anak baru”, rasanya aku harus cepat membaur dengan mereka. Aku memang belum lama pindah rumah dan pindah sekolah kesini. Untung saja ada perayaan HUT RI. Dengan begitu aku jadi cepat mengenal teman-teman sebayaku disini.
Dan….Psssttt… Ternyata sudah ada cowok imut yang naksir aku lho! Hehehe… Nama cowok itu, hmmmm sebut saja Hendri, ya. Tadinya kupikir dia adalah kakak kelasku di sekolah yang lama. Dan kukira dia sudah mengenalku sebelumnya karena dia sering mencuri-curi pandang ke arahku. Tapi ternyata tidak. Dia bukan kakak kelasku di sekolah lama. Dia benar-benar tidak kukenal. Aku dan dia sama-sama menjadi panitia untuk lomba anak-anak. Karena itulah kami sering bertemu, walaupun tidak pernah bercakap-cakap. Kami berdua mungkin terkesan saling menghindar, karena terlalu sibuk dengan rasa deg-degan yang begitu menguasai hati.
Tapi hari ini, kami terpaksa mengobrol. Saat karnaval dimulai, aku dan dia berjalan bersama. Aku yakin, ini adalah perbuatan teman-teman yang sengaja “menyatukan” kami. Senang sih, tapi aku jadi bingung harus bagaimana dan tidak tahu mau mengobrol apa. Akhirnya kami saling diam. Kaku sekali rasanya. Sementara itu rasa deg-degan terus menerus mendera hatiku.
Beberapa saat kemudian, aku memilih untuk basa-basi. Kukumpulkan tenaga, lalu kutarik nafas dalam-dalam dan…
“Nanti selesai SMA, mau lanjut ke mana?” Akhirnya aku berani bertanya! Tapi, duh, rasanya pertanyaanku kok basi sekali sih?
“Kuliah,” jawabnya pendek. Aku jadi merasa bodoh. Ya iyalah, selesai SMA ya kuliah. Memangnya selesai SMA melanjutkan ke SMP? Atau SD? Nggak mungkin lah….
Tapi…suaranya itu lho! Baru kali ini aku mendengar suaranya dari dekat. Ah, ini memang suatu kesempatan yang langka. Besok-besok mana berani aku mendekatinya walaupun hanya untuk mendengar suaranya dari dekat?
Setelah itu kami saling diam lagi. Aku pura-pura melihat-lihat rombongan karnaval dari tempat lain. Sesekali aku juga memainkan kipas bulu yang sejak tadi kubawa, agar tidak terlalu kikuk. Dia juga begitu. Pandangan matanya kemana-mana. Tidak berani menoleh ke arahku, apalagi menatapku. Aku dan dia berjalan bersisian, tapi kami benar-benar seperti orang yang tidak saling kenal.
Tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang berlari-lari , lalu menghampiri Hendri.
“Ini fotonya,” anak perempuan itu mengulurkan sebuah kamera foto ke Hendri. Nafas anak itu tersengal-sengal. Sepertinya ia terburu-buru sekali.
“Ayo dong, fotoin,” kata Hendri pada anak perempuan itu.
Aku gelagapan ketika tiba-tiba Hendri mengajakku foto bersama! Alamak! Jantungku mau copot! Anak perempuan itu ternyata adik Hendri. Hendri sengaja menyuruhnya untuk menyusul kami, hanya untuk minta foto bersamaku! Walaupun malu dan grogi setengah mati, tentu saja aku tidak menolak! Kapan lagi? Ya kan?
Jepret sana jepret sini, wah, aku Cuma bisa diam dan mencoba tersenyum sambil menghalau rasa grogi. Kalau saat ini aku melihat cermin, pasti kelihatan sekali wajahku kaku dan merah padam. Aku terus berusaha meredam deg-degan. Tapi aku juga senang. Asyik nih, kebetulan sekali aku sedang pakai baju Bodo dan dia pakai baju Angkatan Udara. Klop deh. Aku kelihatan cantik, dan dia kelihatan gagah. Pasti hasil fotonya bagus! Moga-moga saja kalau fotonya sudah jadi, aku bisa memilikinya dan menyelipkannya di buku pelajaranku.
Beberapa hari kemudian, aku dan Hendri bertemu lagi. Kami dan teman-teman lainnya masih harus mengurus acara puncak HUT RI. Tentu saja aku dan Hendri tetap tidak saling bertegur sapa. Tapi aku ingin sekali tahu tentang foto itu. Akhirnya, kuhimpun tenaga, kusiapkan mental, lalu kuberanikan diri untuk bertanya.
“Fotonya sudah jadi?” Ya ampun! Aku merasa tak karuan. Antara malu, risih, sungkan tapi juga sangat berharap segera memiliki foto itu.
Eh, tapi kok aneh? Dia terkejut sekali. Wajahnya merah, senyumnya kaku. Dengan suara terbata-bata ia menjawab “Maaf, ya. Ngg…Kemarin… lupa…., belum diisi film,”
BUK!
Rasanya seperti ada yang menghantam dadaku! Aku tercengang! Oh, God, aku hampir pingsan! Kecewa! Ahhhh, padahal kemarin aku sedang pakai baju bagus. Dia juga, sedang terlihat gagah dengan pakaian Angkatan Udaranya. Aduuhh, kenapa bisa begitu ya? Kenapa bisa lupa? Hilang sudah kesempatan untuk punya foto itu. Huuhhh, lagipula kapan lagi aku bisa berfoto bersama dia? Sengaja minta foto berdua? Wahhh, bisa-bisa aku pingsan!
Tapi… Setelah kupikir-pikir lagi, nggak masalah kok. Toh akhirnya aku dan Hendri jadian!
Leave a Reply