Tahu Tugu Golong Gilig? Itu lho, tugu yang terkenal dan jadi bangunan ikonik di Yogyakarta. Tugu ini dikenal juga dengan nama Tugu Yogya atau Tugu Pal Putih. Tugu yang dibangun tahun 1756 ini menggambarkan Manunggaling Kawulo Gusti , yaitu semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajah.
Sebenarnya bentuk tugu ini sudah berubah. Awalnya, bentuknya berupa silinder (gilig) dengan bagian atas bulat (golong). Fungsi tugu ini adalah sebagai patokan arah Sri Sultan Hamengkubuwono I saat melakukan meditasi yang menghadap ke arah Gunung Merapi. Namun, pada masa penjajahan, Belanda mengubah bentuk tugu ini, agar makna semangat bersatu di kalangan pribumi, pudar.
Saya sudah baca sebagian kisah ini di beberapa buku dan website. Ketika Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi memberikan pemaparan dalam acara FDG Revitalisasi Cerlang Budaya Lokal dalam Membangun Karakter Bangsa Sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat, saya semakin mengerti tentang seluk beluk Tugu Golong Gilig dan kondisi Yogyakarta.
Diskusi Budaya Nusantara
Banyak hal yang saya dapatkan ketika hadir menyimak acara FGD budaya ini. Ada dua sesi diskusi, dengan narasumber yang sangat kompeten di bidangnya masing-masing.
Sesi pertama, temanya adalah Refleksi Budaya Lokal dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat dan Sinergi Pemerintah, bersama Wahyu Wiwoho (senior Anchor, TV Presenter) selaku moderator.
Narasumbernya yaitu:
- Dr. Restu Gunawan, M.Hum (Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia) dengan materi Strategi Pemerintah dalam Menguatkan Kebudayaan Nasional dan Pemberdayaan Masyarakat sebagai Pilar Negara yang Kompetitif.
- Prof. Nurhayati Rahman (Universitas Hasanuddin) dengan materi Masterpiece Budaya Bugis Kuno dalam I La Galigo.
- Garin Nugroho Riyanto, S.Sn., M.H (Praktisi Seni Film) dengan materi Nation Culture Maker.
- Yudi Latief, Ph.D (Yayasan Dompet Dhuafa Republika) dengan materi Pembangunan Karakter dan Budaya Bangsa di Era Digital.
Pada diskusi sesi pertama ini saya mendapatkan fakta-fakta bahwa budaya Nusantara itu begitu banyak, luas, dan dalam, tetapi kurang populer. Selain itu juga tidak banyak diturunkan pada generasi selanjutnya, sehingga rentan punah.
Sebagai contoh, I La Galigo. Saya tahu, naskah kuno yang berasal dari Makassar ini sangat langka. Bahkan bukunya pun sangat sulit ditemukan. Saya pribadi pernah terkejut karena seorang teman memiliki buku ini (meskipun bukan versi naskah kuno aslinya). Saya pun pinjam darinya, walaupun sampai sekarang belum membacanya sampai selesai.
Naskah yang dipelajari sangat dalam oleh Prof. Nurhayati ini pada kenyataannya tidak diketahui banyak orang Indonesia. Bahkan Garin Nugroho mengatakan bahwa pembaca syair I La Galigo yang mumpuni, tinggal satu orang. Kalau orang ini sudah tidak ada, maka tidak ada lagi orang yang bisa membacakannya. Sayang sekali, kan?
Ketika mengikuti diskusi ini, kebetulan saya sedang “dekat” dengan naskah-naskah kuno, karena tuntutan pekerjaan. Selain I La Galigo, naskah kuno yang sedang saya pelajari ada Negarakertagama, Sutasoma, Arjuna Sosrobahu, dan Pararaton. Maka, diskusi ini pun menambah pengetahuan saya tentang naskah-naskah kuno yang seharusnya diturunkan pada anak cucu.
Kebetulan, saya akan menuliskan salah satunya dalam bentuk komik untuk anak. Di sinilah saya merasa ikut berperan dalam melestarikan budaya Nusantara.
Budaya Nusantara, Tidak Boleh Tidak, Harus Lestari di Nusantara
Diskusi sesi kedua, temanya adalah Best Practice Pengembangan Budaya Masyarakat, dengan moderator Fatchuri Rosidin (Direktur IMZ dan Penulis Novel Sejarah).
Narasumbernya yaitu:
- G.K.R Mangkubumi (Keraton Yogyakarta), dengan materi Refleksi Budaya Jawa dalam Pemberdayaan Masyarakat.
- Maria Loreta (Yayasan Agro Sorgum Flores), dengan materi Refleksi Budaya Nusa Tenggara Timur dalam Pemberdayaan Masyarakat.
- Andi Makmur Makka (Pangadareng), dengan materi Jejak Kebudayaan Bugis dalam Membangun Karakter Bangsa.
- Ilham Khoiri (Bentang Budaya Kompas), dengan materi Kiprah Bentara Budaya dalam Indonesia Modern.
Pada diskusi sesi kedua inilah G.K.R Mangkubumi menceritakan kondisi Tugu Golong Gilig. Sebenarnya pihak Keraton Yogyakarta ingin mengubah kembali Tugu Pal Putih menjadi wujud asalnya. Namun, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dengan berbagai pihak terlebih dahulu, mengingat tugu ini adalah benda cagar budaya.
Diskusi lain yang tidak kalah menariknya adalah tentang sorgum. Sorgum adalah tanaman serealia atau jenis biji-bijian yang banyak manfaatnya untuk kesehatan, bahkan bisa jadi pengganti nasi.
Jauh sebelum mengikuti acara diskusi ini, saya sudah pernah membaca tentang sorgum. Namun, biasanya sorgum dikonsumsi oleh orang-orang di benua lain, mengingat asalnya adalah dari Afrika Timur. Saya terkagum-kagum bahwa di NTT sorgum kerap dijadikan makanan pokok, meskipun tidak sepopuler gandum, beras, dan jagung.
Dompet Dhuafa, Bukan Sekadar Tempat Donasi
Acara FGD ini diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa dan Bina Trubus Swadaya. Hal ini membuktikan bahwa Dompet Dhuafa bukan sekadar filantropi sebagai tempat berdonasi. Lebih jauh dari itu, Dompet Dhuafa memiliki program yang tujuannya adalah mencerdaskan bangsa, sehingga juga kerap menyelenggarakan acara bertema budaya dengan narasumber yang ahli di bidangnya.
Semoga acara serupa akan lebih sering diadakan lagi agar makin banyak orang yang mengerti dan mencintai budaya Nusantara.
Leave a Reply