Judul: Untaian Kamboja Berkelopak Genap
Penulis: Nunik Utami
Award: Juara favorit Lomba Menulis Cerita Remaja Rohto-Lip Ice 2008
Selamat malam, Aningka.
Hari ini aku telah menyelesaikan sepuluh untaian. Bunga-bunga harum ini sanggup memaksa benakku kembali memutar semuanya. Bagaikan sebuah rekaman, segalanya menari-nari di pelupuk mataku.
Aningka, masih kuingat betul saat jarimu begitu lincah. Bunga lambang kematian ini satu persatu terangkai menjadi sebuah hiasan yang kau sematkan di batu nisan Ibu.
Aningka, sekarang aku yang melakukan itu. Beratus ribu kali jemariku mencoba lincah. Awalnya aku selalu gagal. Jariku gemetar menahan gejolak di hati. Namun aku tetap memaksa. Aku harus! Harus!
Kulirik tempayan di sampingku. Masih banyak bunga-bunga kamboja putih menunggu menjadi sebuah untaian. Semuanya berkelopak genap. Aku mencarinya di seluruh area pusara Ibu. Bukan pekerjaan yang mudah, tapi tekadku sudah bulat.
Bunga-bunga itu terus menguarkan aroma khas. Membuatku menembus ruang dan waktu.
***
“Kak, bunga-bunga kambojaku mana?” tanya Aningka.
Aku tetap membisu. Kupamerkan wajah kerasku. Wajah yang sama sekali berbeda dengan wajah Aningka yang lembut. Dan aku curiga, mungkin saja sengaja dilembut-lembutkan.
“Kak?” suara Aningka semakin memelas.
“Sudah kubuang!” jawabku acuh.
“Dibuang? Oh! Aku telah bersusah payah mencarinya, Kak,” tanpa melihat wajah Aningka pun aku sudah tahu, air matanya pasti sudah membasahi pipi.
“Kenapa Kakak terlalu membenci bunga itu?” tanya Aningka lagi.
Bukan! Bukan hanya bunga itu yang kubenci. Tapi juga kamu! Jawabku dalam hati.
“Kak?” aku merasa bahuku diguncang keras.
“Plakkk!” entah sadar atau tidak, tamparanku sudah mendarat di pipi gadis kecil itu.
Isak tangis pun bergema. Aningka begitu terpukul. Aku tahu hatinya sama sakitnya dengan pipinya yang memerah itu. Tapi aku tidak merasa iba sedikit pun. Biar saja. Itu adalah buah dari kesalahan terbesarnya pada kehidupanku.
“Tolong jangan perlakukan aku seperti ini, Kak,” Aningka semakin memelas. Ia menunduk, lalu bersimpuh di kakiku.
Ya, memang sudah sepantasnya dia bersimpuh di hadapanku, saudara yang sudah semestinya dituakan.
“Kepergian Ibu bukan salahku, Kak. Bukan aku…,” mendengar suaranya, seharusnya hatiku tersentuh. Tapi mengingat kesalahan besarnya, hatiku tetap membatu. Sekali pun Aningka menangis darah, aku tidak akan bisa memaafkannya.
Ia yang menyebabkan Ibu pergi selamanya.
***
“Anindya, sini….,” Ibu melambaikan tangan ke arahku. Senyumnya begitu menyejukkan hati.
Aku merengkuh tubuh Ibu, lalu tenggelam dalam pelukannya.
“Bu, kapan aku punya adik?” tanyaku.
Ibu mengelus rambutku penuh kasih sayang. Aku begitu menikmatinya.
“Sabar, ya Nak. Kita tunggu saja,”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu tenggelam lagi dalam pelukan Ibu.
Aku selalu menghitung hari. Satu, dua, tiga, dan berbulan-bulan kemudian, akhirnya aku akan punya adik. Perut Ibu yang semakin hari semakin buncit, membuatku tidak sabar ingin cepat-cepat melihat rupa adikku.
“Anindya, nanti kalau adikmu lahir, kamu harus membimbingnya,” kata Ibu.
Aku mengangguk.
“Kamu harus menceritakan tentang bunga kamboja berkelopak genap yang selalu membawa keberuntungan,”
Aku mengangguk lagi.
“Selipkan bunga kamboja berkelopak genap di dalam buku tulismu. Itu akan membuatmu semangat belajar dan menjadi juara kelas.”
Ibu mengelus rambutku.
“Simpan bunga itu didalam dompetmu agar semangat menabungmu timbul,”
Aku tersenyum.
“Rangkaikan bunga itu, lalu pajang di dalam kamar. Harumnya bisa membuat mimpimu menjadi kenyataan,”
Aku mengelus perut Ibu.
“Juga, taburkan bunga-bunga itu di pusara Ibu jika Ibu sudah tidak ada umur lagi.”
Aku terhenyak!
Aku seperti telah mendapatkan firasat.
Benar saja. Udara dunia yang diperoleh bayi dalam rahim Ibu, harus ditukar dengan embusan napas terakhir milik orang yang pernah melahirkan aku.
Kebahagiaan yang seharusnya kudapat –karena impianku untuk memiliki adik, tercapai sudah- berubah seratus delapan puluh derajat. Orang nomor satu yang paling kucintai harus pergi selamanya demi manusia kecil yang tidak tahu diuntung.
Gara-gara bayi itu, Ibu pergi meninggalkanku!
***
Kebencianku pada Aningka, membuatku juga membenci rumah. Setiap hari, saat kakiku mulai menyentuh pekarangan, perutku selalu meronta-ronta. Gumpalan-gumpalan kebencian serasa hampir menghambur bersama isi perutku.
Kelopak-kelopak kamboja yang berjatuhan dari pohonnya di pekarangan, semakin membuat aku merasa harus pergi dari rumah.
Ketika kelopak-kelopak yang masih basah oleh embun itu menyentuh kakiku, tiba-tiba tubuhku lunglai seperti tanpa tulang. Perutku melilit-lilit. Dari dalamnya terasa seperti ada lintah yang memaksa ingin dikeluarkan. Bau kamboja membuat napasku sesak.
Aku terduduk lemas.
“Anindya, kamu sakit?!” suara Ayah yang tiba-tiba muncul, membuatku terkejut. Dari nada suaranya, aku tahu bahwa Ayah menghawatirkanku.
Aku menggeleng. Sementara itu cairan keruh terus keluar dari mulutku. Menghambur begitu saja seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
Esoknya, pohon-pohon kamboja kesayangan Ibu, habis ditebang oleh Ayah.
****
Kelopak-kelopak kamboja di pekarangan rumah tidak lagi menggangguku. Namun perempuan kecil itu tidak juga bisa membuatku tenang. Suaranya, gerak tubuhnya, mata bulatnya, begitu mengingatkanku pada Ibu. Kecintaannya pada kamboja berkelopak genap, juga mengingatkanku pada binar mata Ibu saat menatap bunga itu.
Aku terhenyak. Tiba-tiba nyanyian itu terdengar lagi. Tembang suara Ibu yang selalu menemani tidurku, begitu merdu keluar dari kamar. Bagaikan terhipnotis, tubuhku melayang ke dalam kamar.
“Ibu….,” desahku.
“Ibu…. Pulang, Bu… Aku rindu…”
Nyanyian itu terus membuatku hanyut. Di depanku, sosok Ibu sedang tersenyum hangat.
Aku begitu merindukan keteduhan pelukannya. Suara lembutnya membuatku merasa damai. Seperti seruling Raja yang ditiupkan di padang senja dalam dongeng yang selalu diceritakan Ibu.
“Ibu…. Pulang, Bu….”
Aku terus menggapai-gapai. Aku ingin memeluk Ibu.
“Bu… Tunggu aku…,”
“Kak Nindya.. Kak… Ini aku, Kak. Ini Aningka!”
Tiba-tiba aku tersadar. Aku sudah berada di kamar perempuan kecil yang amat kubenci!
“Kak..,” Aningka merengkuh bahuku.
Aku menepis lengannya. Aku benci berada di kamar ini. Bau kamboja membuatku sesak. Membuat isi perutku meronta. Tak lama, cairan keruh menghambur melalui mulutku.
Secepat kilat, kusambar untaian bunga kamboja di atas meja, lalu kulempar sejauh-jauhnya.
“KAMU YANG MEMBUNUH IBU!” jeritku membelah kesunyian senja.
***
Aku merebahkan diri di kamar. Suara gemerisik angin membuatku sedikit terhibur.
Hujan mulai turun rintik-rintik. Dulu, sewaktu masih ada Ibu, aku bersembunyi di pelukannya ketika petir menggelegar.
Ibu selalu menghiburku. Katanya, petir itu tidak perlu ditakuti. Sebab petir adalah kendaraan yang membawa Pangeran Malam yang sedang berkeliling. Sejak itu aku selalu menyukai hujan. Aku bahkan menanti-nanti petir, berharap dapat melihat wajah Pangeran Malam sejelas-jelasnya.
Harum tanah tersiram hujan membuatku lega. Penciumanku mencari-cari bau kamboja itu, untunglah sudah tidak ada. Aku tidak mau bau itu mengganggu ketenanganku. Aku lelah dengan sesak dan isi perut yang hendak melompat.
“Kak….”
Tiba-tiba sosok yang kubenci itu sudah ada di pintu kamarku.
Jemariku mencengkeram. Seluruh ototku menegang. Emosiku memuncak. Mengapa ketenanganku harus terusik dengan kehadirannya?
“Kak… Aku mau bicara…,”
Jangankan bicara, satu patah kata darinya pun membuatku menyesal memiliki telinga!
“Tolong, Kak. Kali ini saja…”
Ekor mataku sempat menangkap wajahnya yang pasi.
“Keluar! Aku sedang tidak ingin diganggu,” suaraku tertahan. Aku sendiri bahkan merasa aneh mendengar nada dingin mengerikan yang keluar dari pita suaraku.
Wajah pucat pasi itu pun menghilang.
Aku bangkit menuju jendela. Dari jendela ini aku bisa melihat pekarangan rumah yang gundul. Masih jelas di pelupuk mataku bagaimana Ibu begitu bahagia menatap kelopak-kelopak kamboja yang berserakan. Pohon-pohon kamboja yang tertanam kokoh waktu itu adalah permintaan Ibu. Kata Ibu, bunga kamboja itu begitu menyentuh di hati. Ibu punya banyak kenangan dengan bunga itu.
Tidak berbeda, sekarang aku juga punya banyak kenangan dengan bunga lambang kematian itu. Bedanya, aku jadi membenci bunga itu karena kenangan yang kumiliki adalah kenangan pahit! Bunga yang seharusnya bisa membuatku bahagia mengenang Ibu, jadi membuatku muak gara-gara perempuan kecil itu.
Aningka, perempuan kecil yang sangat kubenci itu, benar-benar titisan Ibu. Aku sering terkejut melihat gerakan tubuhnya. Sama sekali mirip dengan Ibu! Begitu juga dengan kecintaannya meronce kamboja. Aku hampir pingsan ketika Aningka berusaha keras mencari kamboja berkelopak genap, dan memajangnya di kamar! Benar-benar sama dengan kesukaan Ibu.
Mengingat itu, dadaku sesak lagi. Bau kamboja yang tidak ada wujudnya, kembali menguar. Halusinasi membawa sukma dan ragaku ke suatu tempat yang penuh dengan kamboja berkelopak genap. Aku semakin sesak. Bau itu begitu menusuk! Aku tak kuat lagi!
***
Inilah saat yang paling membuatku bahagia. Tidak ada lagi pengacau di rumah ini. Tidak ada lagi perempuan kecil yang kubenci. Tidak ada lagi bau kamboja yang akan mengingatkanku pada Ibu, yang dapat membuatku sesak.
Aku menoleh sekali lagi, sebelum benar-benar kutinggalkan pusara itu selamanya. Ya, Aningka telah tiada. Leukemia membuatnya menyerah. Aku teringat kembali saat ia memasuki kamarku dalam keadaan pasi. Saat ia ingin bicara padaku. Mungkinkah waktu itu ia akan bercerita mengenai penyakitnya? Entahlah.
Hari-hariku menjadi lebih tenang tanpa Aningka. Aku tidak perlu merasa muak melihat wajahnya. Aku tidak perlu menarik otot dan menahan emosi setiap menginjakkan kaki di rumah. Ah, andaikan waktu bisa mengembalikan Ibu… Pasti aku bisa hidup bahagia seperti dulu.
Kehidupanku bersama Ayah tidak banyak berubah. Ayah tetap pendiam seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Yang mengusik pikiranku, mengapa Ayah tampak acuh tak acuh padaku? Memang kuakui Ayah lebih sayang pada Aningka. Tapi sekarang, Ayah sepertinya terus menghindariku.
Sebenarnya usia Ayah belum terlalu tua. Tapi tatapan matanya begitu menyiratkan beban yang berat. Tubuh kurusnya juga semakin rapuh. Ditambah lagi batuk Ayah yang tak kunjung sembuh, membuat Ayah tampak jauh lebih tua dari usianya. Aku bisa merasakan, sepertinya Ayah menyembunyikan rasa pedih karena kehilangan orang-orang tercintanya. Sama seperti saat aku kehilangan Abu.
Meski seribu satu macam pertanyaan berkelebat di benakku, aku tetap diam. Bertolak belakang dengan rasa bahagiaku hidup tanpa Aningka, Ayah justru semakin lemah. Kini segala aktivitasnya hanya bisa dilakukan di atas tempat tidur. Ayah tidak lagi memiliki semangat. Batuk yang tak kunjung sembuh membuatnya terus-menerus tergeletak.
Hingga suatu malam, Ayah memanggilku
“Anindya…,” untunglah aku bisa mendengar suaranya yang hampir ditelan angin.
Suasana kamar Ayah begitu mencekam. Bulu kudukku meremang melihat wajah ayah yang tampak seperti tak ada kehidupan lagi. Matanya cekung. Pipinya tidak lagi bisa disebut pipi, karena hanya berupa tonjolan tulang. Wajahnya berwarna kelabu pucat. Sepertinya darah yang mengalir di wajah Ayah tidak lagi berwarna merah.
“Ya, Ayah,” sahutku serak.
“Mungkin sekaranglah waktu yang tepat,” lagi-lagi suara Ayah hampir hilang.
Aku benar-benar tercekat. Apakah Ayah akan segera meninggalkanku? Oh! Betapa hidup itu begitu singkat. Aku bahkan belum pernah membahagiakan Ayah. Pikiranku terlalu terpusat pada rasa kehilangan Abu. Juga tertuju pada kebencianku terhadap Aningka.
“Anindya… Sudah bertahun-tahun ini kami rahasiakan.”
Kami?
Aku sama sekali tidak mengerti maksud kata-kata Ayah.
“Ayah sedih melihat kamu tidak sayang pada adikmu.”
Ah, itu lagi! Aku benci mendengarnya. Selama ini Ayah –dan mungkin juga Ibu, kalau masih hidup?- lebih menyayangi Aningka. Ayah lebih banyak mencurahkan perhatian pada adik yang sangat kubenci itu. Sekarang, Ayah menyatakan penyesalannya atas sikapku pada anak kecil tak tahu diuntung itu.
“Semestinya kau menyayangi adikmu, selagi kau masih memiliki kesempatan. Tapi… Ya sudahlah… Semuanya telah telanjur. Aningka tidak mungkin hidup lagi,” mata Ayah yang penuh kerut menerawang menembus langit-langit kamar.
Aku semakin terhenyak. Ayah berhasil membangkitkan rasa benci itu membara lagi di hatiku. Gara-gara berjuang keras melahirkan Aningka, Ibu tidak lagi bisa memelukku. Bukankah itu sudah cukup bukti bahwa Aningka benar-benar tidak tahu terima kasih? Bukankah itu suatu pertanda bahwa Aningka sengaja mencuri napas milik Ibu? Tapi sekarang? Ayah telah seenaknya menuduhku tidak menyayangi Aningka. Bukankah itu wajar saja? Mana bisa aku menyayangi orang yang telah membuat ibuku tidak bisa hidup lagi?
“Anindya… Dulu Ayah dan Ibu begitu mendambakan seorang anak…”
Aku diam. Bukan bermaksud mendengarkan kata-kata Ayah dengan seksama, melainkan berusaha sekuat tenaga menahan emosiku yang siap meledak.
“Tapi Tuhan berkehendak lain,”
Aku mengernyit. Apa maksudnya?
“Sampai tahun keduabelas dalam pernikahan kami, Tuhan belum juga berkenan memberi momongan. Hingga akhirnya….”
Ayah menghentikan ucapannya. Aku benar-benar tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini. Tapi ada perasaan aneh menyelinap di hatiku. Rasa ingin tahu yang amat sangat.
Aku tidak sabar menunggu kelanjutan kata-kata Ayah. Aku langsung memasang telinga baik-baik. Jangan sampai ada sepatah kata pun yang terlewat terbawa angin.
“Hingga akhirnya Ayah dan Ibu sepakat mengambilmu dari panti asuhan….”
Aku tercekat! Aliran darahku seakan tiba-tiba berhenti! Kepalaku dipenuhi cairan panas yang siap meledak kapan saja.
Jadi? Aku anak panti asuhan yang diambil oleh Ayah dan Ibu?
Aku bukan anak kandung mereka?
Ah, mimpi buruk apalagi ini?
Ada rasa yang begitu meyesakkan dada. Lebih menyesakkan daripada aroma kamboja berkelopak genap yang selalu terpajang di kamar Aningka. Otot di seluruh tubuhku juga lebih mengejang daripada saat Aningka hadir di hadapanku.
Air mata bersimpah di pipiku. Aku langsung lunglai. Lalu terkulai di lantai.
***
Aningka, aku telah selesai mengerjakannya. Untaian kamboja berkelopak genap ini akan segera kupasang di pusaramu. Semua ini kulakukan untuk menebus dosaku.
Seharusnya kamulah yang mendapat kasih sayang lebih banyak dari Ayah dan Ibu.
Seharusnya aku tidak berhak menganggapmu yang menyebabkan Ibu tiada. Kamulah anak Ayah dan Ibu yang sebenarnya. Bukan aku.
Aningka, pantas saja wajahmu lembut, berbeda dengan wajahku yang keras dan angkuh. Kamu mewarisi wajah Ibu, yang merupakan ibu angkatku. Hatimu penuh sabar. Mewarisi hati Ayah yang begitu sabar menghadapi aku –yang bukan siapa-siapa- yang selalu menuduhmu sebagai biang keladi dari segala kesedihanku.
Aningka, sebaliknyalah yang terjadi. Akulah yang membuat hidupmu penuh kepedihan. Kalau saja aku tahu sejak awal, aku pasti menyayangimu sepenuh hati. Ah, maafkan aku yang tidak tahu diri ini, Aningka.
Aningka, aku berjanji akan selalu merangkai bunga kamboja berkelopak genap ini untukmu, untuk Ibu, juga untuk ayah. Aku akan memajangnya di kamar, memasangnya di batu nisan kalian, juga menanam pohonnya di halaman rumah.
Aningka, selamat berbahagia bersama kedua orangtuamu. Sudah sepantasnya aku hidup sendiri di sini, karena aku memang bukan siapa-siapa bagi kalian.
Aningka, aku titip rindu buat Ayah dan Ibu. Maafkan segala kesalahanku. Besok pagi, aku akan pergi meninggalkan kota ini.
Pemalang, Jawa Tengah, 14 Desember 2005.
Anindya.
***
Matahari bersinar terik. Sekali lagi, aku menoleh ke tiga pusara di belakangku. Tiga pusara itu berhias untaian kamboja berkelopak genap. Mereka bertiga telah beristirahat di bawah pohon kamboja yang teduh.
Aku segera melangkahkan kaki. Meninggalkan mereka.
-Selesai-
zuliana says
sangat menyentuh mba kaya mna bsa buat cerpen sperti mba