Kupandangi lagi foto-fotoku yang kujajarkan dimeja. Hmmm…lumayan bagus. Tapi kenapa sampai sekarang belum ada panggilan ya? Padahal sudah banyak Production House yang aku kirimi. Ah, ingin jadi model saja kok susah ya… Tidak seperti Sandra. Dia hanya berjalan-jalan di mall saja tiba-tiba ada yang mengajak jadi model.
“Belum, kali Din..Coba lagi dong kirim foto-foto lo ke PH.” Vini, teman sekamarku tetap memberi semangat.
“ Ah, udah sering Vin..Udah gak terhitung malah…Nih coba deh liat foto gue. Gak jelek kan? Gak kalah bagus sama fotonya Sandra yang di majalah.” Kuperlihatkan foto-fotoku pada Vini.
“Hmm..iya..bagus kok…Cuma…”
“Cuma apa???”
“Cuma….gaya lo kurang berani…”
“Kurang berani gimana?”
“Lo liat kan foto-foto Sandra? Dia berani pakai baju yang agak terbuka gitu,”
“Hah??? Gila lo….”
“Lho kok gila??? Gila kenapa?”
“Ya gila lah…kalo gue berani pake baju model-model begitu bisa di lecehkan orang seumur hidup!!!”
“Ya memang begitulah kalo mau terkenal. Harus beda.”
Aku jadi termenung. Kata-kata Vini benar juga ya… Tapi baju model terbuka? Waahhh…bukan aku bangettt…
“Hayo-hayo…coba dulu nih bikinan Ibu .” Bu Arya, Ibu kostku yang baik tapi super disiplin itu sudah muncul di pintu kamarku dengan sepiring pisang goreng. Aku tak bisa membayangkan jika Bu Arya dan semua penghuni disini melihatku difoto memakai baju agak terbuka seperti Sandra.
Kami, anak-anak kost disini kalau pulang kemalaman pasti ditegur. Karena ia tak ingin tempat kostnya dicap tak baik oleh penduduk sekitar. Apalagi kalau anak kostnya macam-macam seperti mabuk atau ke arah yang nggak benar bukan tak mungkin akan diusir dari sini. Memang terdengar kurang bebas sih, tapi aku yakin ini untuk kebaikan bersama, dan juga uang kost disini paling murah dibanding yang lain. Makanya kamar disini selalu penuh.
Vini langsung melompat dari tempat tidur dan menyambar pisang goreng itu. Aku juga mencomot satu.
“Dinda, kira-kira kapan ya kamu melunasi uang kos?” tiba-tiba Bu Arya berkata begitu. Membuat pisang goreng yang kumakan terhenti di tenggorokan. “ sudah dua bulan, lho Din,”
Aku melirik ke arah Vini. Kemarin sempat mengharap pinjaman darinya, tapi percuma, Vini juga tak punya uang. Sementara kiriman dari ayah memang sudah dua bulan ini tak datang, karena dipakai dulu untuk biaya Kak Iva – kakakku – diwisuda.
“Ngg…iya, bu. Nanti saya tunggu kiriman dari ayah dulu ya,” aku mencoba cari alasan.
“Ya sudah, tapi cepat, ya. Kalau sampai tiga bulan belum bayar juga, banyak kok yang mau pakai kamar kamu,” Bu Arya berkata tegas kemudian berlalu dari kamarku.
Uuufff…kalau sampai bulan depan aku belum bayar, itu berarti aku akan diusir dari sini.
***
Sejak SMA aku ingin sekali menjadi model. Tubuhku yang tinggi semampai membuatku yakin bahwa suatu saat aku bisa mewujudkan impianku itu. Tinggal tunggu kesempatan saja. Rasanya bahagia sekali kalau bisa tampil di majalah. Memakai pakaian-pakaian bagus. Pasti teman-teman juga akan kagum. Seperti Sandra, sejak wajahnya menghiasai majalah itu ia jadi ngetop. Semua orang dikampus mengenalnya. Mulai tukang kebun, teman-teman, dosen dan semuanya. Termasuk Rama, cowok terganteng seantero kampus yang digilai cewek-cewek, belakangan malah pacaran dengan Sandra….
Lagipula aku ingin mencari uang. Untuk bayar uang kost agar tak terlambat lagi. Aku sudah malu pada Bu Arya yang sudah berkali-kali menagih, malu pada teman-teman yang tahu hal ini, malu juga pada Doni, cowok sekampus yang baru sebulan jadian denganku dan malu pada ayah, karena sudah besar masih megharap kiriman uang.
Penasaran, aku coba telepon ke salah satu PH yang sudah aku kirimi foto.
“Halo, dengan mbak Intan bisa?”
“Saya sendiri, dari mana nih?”
“Saya Adinda, mbak. Mau tanya kira-kira sudah ada tawaran casting untuk saya belum ya? Saya sudah kirim foto.”
“Ooohh.. .belum ada tuh, tunggu aja deh ya, nanti kalau ada dihubungi kok.”
Ku coba lagi menghubungi PH lain. Alasannya macam-macam, tapi sama. Belum ada tawaran castinglah, lagi sepi order lah, suruh tunggu diteleponlah….huhh…
“Udahlah, Din…Mungkin rejeki lo bukan disitu. Mending cari kegiatan lain.” Biasa deh, Vini mulai menghibur kalau aku sudah mulai bete.
“Dari kemarin kan lo gue tawarin ikut kejuaraan. Kenapa nggak mau ikut sih?”
“Apa? Ikut kejuaraan tenis lagi? Malas ah. Tenis nggak keren. Nggak gaul…”
“Eh, siapa bilang…justru bagus lho. Sekalian olahraga. Lagian Papa kehilangan murid terbaiknya tuh semenjak lo gak gabung lagi,”
Hmmm..tenis…memang sih aku sudah beberapa kali ikut kejuaraan tenis semenjak gabung di tempat Om Hendro, Papa Vini yang pelatih tenis. Di lapangan tenis, Vini adalah saingan terberatku. Lawan yang tangguh.
***
Aku dan Doni sudah sampai di gerbang kampus ketika Nadia –si biang kerok, mantan pacar Doni – menghampiri.
“Ohh, ini ya pacar barunya Doni?” Nadia berkata sinis padaku. “ …eh, Don, rugi banget lo dapat pacar begitu. Memang lo nggak tau ya dia itu nggak bayar kost sampai dua bulan? Cewek miskin begitu ya yang jadi selera lo”
Doni tampak berang. “ Ada apa sih? Maksud lo apa?”
“Nggak sih, gue cuma mau ingetin lo. Mending balik deh sama gue, biar nggak sengsara kayak monyet ini,” Nadia menunjuk mukaku. Shit!!
“Heh, lo kalo ngomong ati-ati ya…”
“Don! Jangan Don!!” untung saja aku reflek menahan tangan Doni yang hampir menampar mulut Nadia. Ufff..hampir saja…
“Inget, ya. Gue pasti bisa merebut hati lo lagi dari tangan cewek memalukan ini,” Nadia sempat mengelus pipi Doni dengan gaya genitnya sebelum berlalu. Hueekkkk..tingkahnya membuatku hampir muntah. Awas, ya kalau aku jadi model, dia pasti tau siapa aku, rutukku dalam hati. Mau merebut Doni lagi? Enak saja!
***
Sudah jam delapan pagi. Tapi aku belum mandi dan masih membolak balik halaman majalah. Kalau-kalau ada lowongan jadi model.
“Nggak ke kampus lo?” Vini yang sudah rapi memandang heran ke arahku.
“Males, ah. Nanti tolong titip absen aja ya.”
“Mau kemana sih lo?”
“Refreshing. Pusing gue. Pengen jalan-jalan sendiri aja, ah”
“Tanggal segini jalan-jalan. Punya duit?”
Kupandangi Vini. Wah…buat anak kost seperti aku, tanggal tua memang benar-benar terasa. Kiriman uang dari ayah belum datang juga, tapi kebutuhan hidup tentu saja harus dipenuhi. Apalagi tunggakan uang kost. Aku jadi teringat lagi foto-foto yang sudah kukirim ke PH. Andai saja aku sudah menjadi model, tentu tak perlu khawatir dengan tanggal tua. Honor menjadi model pasti cukup untuk memenuhi kebutuhanku setiap bulan.
Siang ini aku hanya menyusuri trotoar di jalan raya yang tak jauh dari tempat kostku. Aku juga tak punya tujuan mau kemana. Yang jelas hari ini aku malas ke kampus. Aku benar-benar ingin mencari cara bagaimana agar aku bisa menjadi model seperti Sandra.
Sandra?! Astaga!!! Kenapa aku baru dapat ide sekarang kalau aku bisa minta tolong Sandra untuk menjadi model? Pasti Sandra sudah kenal orang-orang majalah karena ia sering difoto untuk majalah itu. Lalu cepat-cepat kuhubungi Sandra…
Yesss..Sandra sudah menolongku untuk memberikan fotoku pada Bang Rico, fotografer majalah itu. Sandra bilang bahwa dalam waktu dekat ini Bang Rico memang membutuhkan seorang model untuk iklan produk.
***
“Heh…tuli ya? Hp lo bunyi tuh…” ups..Vini bikin kaget saja…
Dari siapa ya…
“Halo?”
“Halo? Dengan Adinda?” suara cowok diseberang juga tidak ku kenal.
“Iya, betul…Dari siapa?”
“Saya Rico dari Majalah Nuansa. Besok sore bisa datang ke studio kami untuk tes foto buat iklan?”
“A..ap..apa? Eh..jam berapa, Bang?” astaga..aku tergagap…senang..
“Jam tiga sore, ya dijalan mawar nomor tujuh”
Cihuuuyyyy…tak sadar aku dan Vini melompat-lompat kegirangan…
“Vin..akhirnyaaaa….bintang iklan!!!!”
“Waaaahhh…Dindaaaa…lo bisa muncul di TV…”
Ah, tidak sia-sia pertolongan Sandra. Sekarang ada panggilan untuk bintang iklan. Yess….aku akan jadi model!!
Esoknya, sepulang kampus aku dan Vini berpisah di pintu utama. Vini akan segera ke gelanggang olahraga untuk daftar kejuaraan tenis. Sedangkan aku langsung menuju studio Bang Rico untuk tes foto.
“Halo..ini pasti Adinda ya?” Seorang cowok yang masih muda langsung menyapaku ketika aku sampai. Bang Rico. Dari gaya berpakaiannya sudah terlihat bahwa ia pekerja seni. Wah, ternyata Bang Rico orang yang ramah. Padahal baru kali ini aku bertemu.
Bang Rico memperkenalkanku pada semua pegawainya. Studio ini lumayan luas. Diruang foto banyak sekali background untuk pengambilan gambar. Dindingnya juga penuh dengan foto-foto wanita cantik. Wah, kebanyakan wanita cantik yang difoto dengan pakaian minim. Dan ada foto Sandra juga menghiasi dinding studio ini. Juga memakai pakaian yang “berani”.
Mbak Amira – petugas bagian kostum – sedang memilihkan kostum untuk seorang laki-laki ganteng yang sedang duduk didepan mejanya. Hmmm, model rupanya. Wajahnya sudah sering kulihat di TV. Mbak Rana, si perias mulai merias wajahku. Rambutku ditata keatas. Seperti dandanan pesta. Ada perasaan bahagia yang menyelinap. Aku dirias oleh penata rias studio. Untuk iklan. Wah…
Setelah itu aku diajak ke ruang ganti oleh Mbak Amira untuk berganti kostum. Dan…Oh, tampaknya Mbak Amira salah. Ia memberiku setelan pakaian…Apa? Bikini??? Pakaian mungil itu ternyata bikini. Sebentuk bra berwarna merah menyala dengan gambar hati dan bertali warna putih. Bawahannya berwarna dasar putih dengan gambar hati warna merah, senada dengan atasannya. Aku jadi bingung…
“Lho? Memang kamu pikir kamu difoto untuk iklan apa?”
Astaga!! Mbak Amira ternyata tak salah. Sewaktu aku menawarkan pakaianku yang kubawa dari rumah untuk dipakai berfoto, dengan galaknya ia memberitahu bahwa aku dipanggil untuk tes foto iklan produk pakaian renang.
Aku semakin bingung…
Belum hilang rasa bingungku, tiba-tiba Bang Rico memanggilku untuk cepat keruang pengambilan foto. Bikini itu belum kukenakan ketika aku datang keruang foto. Dan… disitu kulihat cowok model tadi telah siap difoto mengenakan….Ya Tuhan…. Cowok itu mengenakan pakaian renang!! Ditengah-tengah kami!! Tapi tampaknya ia tak risih dengan penampilannya . Ternyata ia pasanganku untuk iklan itu.
Bang Rico marah melihatku belum berganti pakaian. Wajahnya sama sekali berubah, tidak ramah lagi seperti tadi. Ya Tuhan… aku belum siap kalau harus memamerkan tubuhku untuk orang lain. Aku bukan orang seperti itu. Aku tidak seperti Sandra.
Ini masalah harga diri. Aku merasa tertipu. Aku tak mau dipermainkan. Bang Rico masih saja menghamburkan kata-kata kasarnya kepadaku. Ia marah besar karena Sandra telah mengenalkannya pada orang yang salah. Bang Rico kecewa karena aku tak bersedia berpakaian renang untuk foto.
Aku tak kuat lagi mendengar makian Bang Rico. Air mata sudah deras membasahi wajahku. Buyar sudah mimpiku untuk menjadi seorang model. Tidak. Bukan model seperti itu cita-citaku. Bikini yang sejak tadi masih kupegang, kulempar ke lantai. Lalu aku berlari keluar.
Rasanya belum terlambat untuk menyusul Vini ikut kejuaraan tenis. Demi membayar uang kostku, demi membalas sakit hati pada Nadia, demi menunjukkan kualitas pada Doni, dan demi nama baikku…
THE END
Leave a Reply