Manis, ramah, dan murah senyum. Itulah kesan pertama saya saat melihat perempuan muda itu di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Sore itu, saya bertemu dengan Risa (bukan nama sebenarnya), ketika mengunjungi klinik khusus penderita TB MDR.
Risa tidak mengenakan masker, seperti saya dan teman-teman sesama pengunjung. Risa tampak mengobrol bersama beberapa perempuan cantik yang sedang duduk-duduk santai. Eh, duduk santai? Sebentar! Mereka memang sedang duduk, tapi di hadapan mereka ada belasan butir obat. Obat-obat itu harus dihabiskan saat itu juga. Tidak boleh dibawa pulang.
Salah seorang perempuan itu berbicara dengan nada lirih. “Enam butir lagi,” begitu katanya. Tubuhnya segar berisi, tapi tampak lemah tak bertenaga. Perempuan lainnya, berusaha mengabiskan semangkuk lontong sayur, dengan beberapa butir obat yang sedang berusaha ditelan, disela-sela melahap lontong sayur.
Risa tetap tersenyum pada perempuan-perempuan cantik itu, sambil terus memberi semangat agar mereka lekas menyelesikan “tugas” menghabiskan obat-obat itu. Saya menghela napas. Begitu beratnya perjuangan mereka untuk sembuh dari TB MDR. Seketika, saya merasa bersyukur berada di “pihak” yang sehat.
Malamnya, saya bertemu lagi dengan Risa di Hotel Aston Tropicana, masih di Bandung. Dia dan tiga temannya menjadi tamu di acara workshop bertajuk #Sahabat JKN #LawanTB yang saya ikuti bersama teman-teman blogger. Di sini saya kembali trenyuh dengan cerita yang dipaparkan Risa.
Risa adalah mantan penderita TB MDR. TB MDR adalah salah satu jenis penyakit TB (Tuberculosis) yang dulu kita kenal sebagai TBC. Parahnya, TB MDR bukan sekadar TB biasa. TB MDR (Multi Drug Resistant) adalah jenis TB yang sudah kebal terhadap obat yang biasa diberikan oleh penderita TB Regular. Jadi, proses pengobatannya lebih rumit, lama, obatnya lebih banyak, efek obatnya pun bukan hanya menyembuhkan, tapi menyebabkan ketidaknyamanan dalam bentuk lain. Beberapa efek samping yang dialami pasien TB MDR setelah mengonsumsi obat adalah mual, pusing, kemampuan pendengaran berkurang, kemampuan penglihatan menurun, sampai halusinasi, dan depresi.
Sampai di sini, lagi-lagi saya menghela napas. Tapi, ini belum apa-apa. Risa pun melanjutkan cerita tentang pengalamannya ketika masih menderita TB MDR.
Saat itu, Risa harus bolak-balik masuk IGD karena batuk darah yang parah. Berbagai pemeriksaan pun dijalani. Risa positif terinfeksi TB. Beberapa bulan menjalani pengobatan, Risa tak sembuh juga. Pemeriksaan pun dilanjutkan. Ternyata, TB yang dideritanya adalah jenis TB MDR. Yang sangat disayangkan, saat itu di Bandung belum ada obat untuk TB MDR. Obat tersebut baru diperkirakan akan ada dua tahun lagi. Risa kecewa dan sedih. Namun, keinginan untuk sembuh sangat kuat.
Penyakit yang dideritanya ini berdampak ke kehidupan rumah tangga. Suaminya menjadi sering marah dan tidak sabar. Sang suami sangat berharap Risa segera sembuh, karena mendambakan kehidupan seperti keluarga-keluarga yang lain. Sehat, punya anak, dan bisa jalan-jalan bersama. Risa terus berharap, semoga dua tahun lagi obat untuk penderita TB MDR benar-benar ada.
Do’a Risa pun didengar Tuhan. Setelah masa penantian panjang yang melelahkan dan menyakitkan, obat yang ditunggu pun tersedia. Dengan penuh harapan akan kesembuhan, Risa menjalani pengobatan. Kalau TB Regular hanya perlu mengonsumsi obat setiap hari selama 6-8 bulan, tidak demikian dengan TB MDR. Khusus penyakit yang satu ini, pasien harus menerima obat dengan cara disuntik setiap hari, selama minimal 2 bulan. Juga, tetap harus minum obat sampai sekitar dua tahun, tanpa terputus.
Berat? Pasti. Sedih? Jelas. Tapi, harapan masih sangat tinggi. Penyakit TB MDR sangat bisa disembuhkan. Obatnya pun gratis. Jadi, apa yang memberatkan? Tidak ada. Pemerintah sudah siap dengan semua obat yang dibutuhkan. Pemerintah sangat peduli dengan para penderita TB MDR.
Selama masa pengobatan, penderita tidak diperkenankan untuk hamil. Tapi, Risa terlanjur hamil. Pasangan yang sudah lama mendambakan buah hati ini pun bahagia. Sayang, kebahagiaan ini tidak berlangsung lama. Bukan TB MDR yang memaksa mereka harus menunda punya anak. Ternyata, Risa mengalami kehamilan di luar kandungan. Saya tercengang. Betapa beratnya penderitaan yang harus ditanggung Risa. Tak terasa, air mata saya meleleh.
Lagi-lagi, suami Risa tak sabar. Risa menceritakan betapa pria ini tidak kuat dengan keadaan yang dialami istrinya. Risa yang sakit, yang sedih karena kehilangan calon buah hati, yang tubuhnya kurus kering, harus menanggung satu kepedihan lagi. Suaminya meninggalkannya begitu saja, dan tak mau tahu lagi dengan semua yang terjadi pada istrinya
Sudah jatuh, tertimpa tangga, terhantam batu, tersiram air pula. Oke, mungkin saya berlebihan. Tapi, saat itu, saya sungguh sulit menahan air mata. Saya tersedu-sedu dan tak mampu cepat-cepat meredam kesedihan. Di balik senyum yang manis, Risa menyimpan masa lalu yang sangat kelam. Saya pun belum tentu sanggup kalau harus mengalami kenyataan hidup seperti itu. Lagi-lagi, cerita Risa membuat saya bersyukur dengan diri saya yang sekarang ini. Sehat dan bahagia.
Kini, Risa sudah sembuh. Dia telah lulus dari ujian berat dalam kehidupannya. TB MDR membuat Risa tangguh dan mampu memotivasi teman-teman yang masih berjuang demi kesembuhan, di RS. Hasan Sadikin. Proses penyembuhan TB MDR memang panjang, tapi pasti akan berujung pada kesembuhan.
Tubuh Risa kembali normal. Tidak terlalu kurus seperti dulu. Kehidupannya sudah lebih baik. Sudah sehat, dan tidak perlu mengonsumsi obat-obatan lagi. Bahkan, suami yang dulu pernah meninggalkannya, mengajaknya membina rumah tangga kembali. Sayang, Risa memilih untuk tetap berpisah dengan mantan suaminya itu.
Risa pun menutup ceritanya dengan senyum manis yang sangat menampakkan kelegaannya.
Oh ya, tentang TB MDR dan seluk beluknya, dapat dibaca di artikel ini.
Fita Chakra says
Sedih bacanya 🙁
Nunik Utami says
Banget, Fit.
Ika Koentjoro says
Ya Allah… hidup sedemikian berat ya buat Risa.
Nunik Utami says
Iya, Mbak. Dia hebat, bisa bangkit dari semua masalah ini.
Indah Nuria Savitri says
semoga semakin banyak Risa yang isa tertolong dari TB dan kembali menjalani hidup yang normal :)..terima kasih sudah berbagi mak..
Nunik Utami says
Aamiin. Sama-sama, Mak InSav 🙂
putri says
Ya Allah, sampe segitunya ya ternyata.
Nunik Utami says
Iya, Mbak Putri. Aku juga sediih banget diceritain kayak gini 🙁
Rachmat says
Assalamualaikum
Klo boleh sy minta kontaknya narasumber.bisa hub email sy rachmat_kusumah@yahoo.com
Dgn izin Alloh semua bisa terjadi,.saat ini Kaka ipar saya salah satu penderitanya,sudah berobat 11 bulan tinggal 11 bulan lagi klo menurut dokter,utk mengkonsumsi obat2an 19 butir klo gak salah.tp kakak ipar saya sangat butuh dorongan dari org2 yg pernah mengalaminya,alhamdulillah kami tetap kompak bisa merawat kakak ipar sy itu tp klo dimasa2 kaya saat ini kakak sy udah depresi berat..tdk mau minum obat udah ngelantur aja. Kadang kami bingung harus d bawa kemana atau dgn cara apa supaya kaka ipar saya tdk putus asa…….
.
.
Mohon bantuannya….terimakasih..
Nunik Utami says
Halo, Mas Rachmat.
Saya turut prihatin dengan keadaan kakak ipar. Semoga keadaannya cepat membaik ya, Mas.
Mengenai kontak Mbak Risa, maaf, saya nggak punya. Dulu kami nggak tukar nomor hp atau email atau apa pun. Apalagi ini acaranya sudah lama ya.
Saran saya, coba tanya atau datang ke RS. Hasan Sadikin Bandung tentang para survivor TB MDR. Saya lihat sih, di sana para survivor bebas datang menemui teman-teman yang masih dalam pengobatan. Jadi mungkin Mas Rachmat bisa menemui mereka juga di sana.
Semoga membantu ya, Mas 🙂