Pandeglang ternyata menyimpan pesona luar biasa dengan Desa Banyuasih-nya. Saya datang ke desa yang berjarak sekitar 5 jam perjalanan dari Jakarta ini untuk berbagi cerita dan memotivasi anak-anak setempat. Sore itu, saya menempuh perjalanan dengan perasaan bahagia karena ilmu dan tenaga ini begitu dibutuhkan. Begitu hampir sampai lokasi, bus yang saya tumpangi terperosok di kubangan lumpur karena kondisi jalan yang masih jauh dari layak. Saya pun sempat terpaksa menggunakan WC darurat yang hanya berupa parit kecil berpenutup lembaran plastik, karena hanya itulah fasilitas yang bisa digunakan.
Adzan subuh hampir berkumandang ketika bus sampai di sebuah pantai. Untuk sampai di desa, saya harus berjalan kaki lagi selama 40 menit. Suasana sangat gelap karena sepanjang jalan sama sekali tidak ada listrik. Dengan bantuan senter, saya berjalan kaki menempuh medan yang menanjak.
Dengan penerangan seadanya, saya hanya bisa merasakan angin berembus meniup berbagai pohon dan ilalang di kanan dan kiri jalan. Sampainya di desa, baru ada penerangan. Puluhan anak menyambut saya. Hati ini bergetar ketika mereka mencium tangan saya dengan wajah ceria. Anak-anak penuh semangat yang menyongsong pagi dengan beribadah.
Saya menginap di salah satu rumah warga yang sudah ditunjuk. Rumah tanpa kamar mandi, apalagi WC ini berdinding bilik. Kalau ingin mandi atau menggunakan WC, saya harus menumpang di rumah yang letaknya agak ke atas. Di sebelah rumah mengalir sungai yang airnya sejuk dan jernih. Di sinilah saya bisa mengambil air wudhu kalau tidak ingin ke pancuran yang agak jauh.
Keadaan desa masih alami. Jalan sama sekali belum tersentuh aspal. Rumah dengan dinding batu bisa dihitung dengan jari. Tidak ada angkutan umum. Sepeda motor pun masih menjadi barang langka. Yang ada hanyalah mobil bak terbuka sebagai pengangkut kelapa atau hasil pertanian lain. Yang menakjubkan, semua penduduk tetap bisa tersenyum ceria menjalani aktivitas. Bagi saya, mereka luar biasa.
Siang menjelang. Anak-anak yang tadi pagi merubung rombongan kami, kini sudah berada di sekolah. Saya menyusul mereka untuk memberi pengarahan dan motivasi. Betapa tercengangnya saya ketika menempuh perjalanan. Dari desa ke sekolah, saya harus berjalan kaki sepanjang 2 km! Kadang saya melewati rerimbunan pohon sereh, tanaman ilalang, jalan setapak, bahkan hutan kecil yang penuh pohon kecapi. Tak terbayangkan betapa kuatnya anak-anak itu menempuh perjalanan 4 km pulang pergi setiap harinya untuk menimba ilmu.
Di sisi lain, saya mendapat bonus pemandangan indah. Langit biru yang mencerahkan hati, sawah hijau yang menyegarkan mata, pematang sawah yang tidak ada di Jakarta, rumah penduduk dengan tumpukan kayu bakar di depannya, juga jalan becek yang membuat saya seperti sedang bermain di masa kecil yang indah. Ah, Banyuasih punya pesona yang hebat.
Sampai di sekolah, saya melihat wajah-wajah kecil itu lagi. Tak ada sedikit pun ekspresi kesal dan sedih di wajah mereka dengan keadaan desa yang minim fasilitas. Saya pun berbagi keceriaan dengan membuat game. Acara dilanjutkan dengan bermain di belakang sekolah. Oh! Desa ini punya pantai yang cantik di belakang sekolah! Pantai dengan debur ombak yang indah dengan karang-karang yang menantang! Di dekat pantai, rumput-rumput halus terhampar luas, menutupi tebing di bibir laut.
Saya semakin terhibur dengan anak-anak yang berlompatan ke laut untuk berenang. Keindahan tempat ini bertambah dengan adanya danau yang berdekatan dengan pantai. Air laut dan air tawar bersanding, seperti berdamainya para penduduk dengan kehidupan yang serbakekurangan. Saya banyak belajar dari mereka bahwa hidup itu harus dihadapi, bukan diratapi. Sorenya, saya kembali ke desa dengan cara menyusuri hutan kecil dengan berbagai rintangannya.
Ternyata, perjalanan bukan sekadar tujuan, melainkan menjadi salah satu cara mengelola hati agar hidup terasa lebih ringan.
Note:Β
Foto oleh Mas Andi Angger
Sawahnya menyegarkan. Jadi ingat kampung halaman.
Kangen sama Banyuasih ya, Mba? π
Banget, Piiitt. Kepengen ke sana lagi. Apalagi sebagian besar fotoku hilang :((
Pandeglang? Padahal dekat banget dari ibu kota. Membacanya jadi miris banget Mbak. Tapi memang dipelosok Banten banyak banget daerah tertinggal π
Itu dia, Mbak Evi. Kontras banget sama pemandangan Jakarta, padahal dekaat banget. Waktu pulang dari sana, sampai Jakarta lihat jalan tol yang bertingkat-tingkat, rasanya jadi aneh banget.
Bagus banget view nya Mba Nunik…..kalo kesana ajak yah hehehe. Baca artikelnya mengingatkan bahwa aku harus banyak berucap syukur.
Yuk, aku juga pengen ke sana lagi. Pengen metik sereh trus dihirup aromanya. Seger banget.
berasa di kampungku mak
Eh, kampungnya di mana? Berarti enak banget, tuh π
Itu pantainya biru, bersih begitu aih jadi pengin ke Banyuasih.
Sebelah pantai ada danau, Mbak. Sama rumput-rumputan. Kereeen banget.
Foto kita yg lompat2 itu siapa yang moto yak? Mau minta hehehe…
Kayaknya sih, Mas Angger, Fit. Aku juga mau minta. Hehehehe
pemandangannya indah bnget yah mbak… haduh sayang ya mbak fotonya pada ilang… padahal kenangan bagus tu mbak… kesana lgi aja yuk mbak… hehe..
Jalan-jalan ke Banyuasih memang layak diulang.
Lihat foto2nya jadi pengen ke banyuasih. Keren banget Mbak Nunik. Selama ini sy traveling selalu cari yg jauh. Padahal gak jauh dr Jkt ada tempat yg cantik spt Banyuasih.
Nggak nyangka ya, Bang. Biasanya yang dekat-dekat seringnya malah nggak kelihatan. Sayangnya, transportasi ke sana juga masih harus diusahakan banget. Harus sewa mobil dari Jakarta.
Viewnya keren, mba. Masih asri ya. Baca ini jadi kangen pengen liburan. Hehe
Yuk, siapin fisik untuk ke sana. Hehehe…