Juara Harapan Lomba Menulis Cerita Remaja Rohto-Lip Ice 2013
Stupa-stupa berleret menantang bumantara, bermandikan pendar yang tersorot kuat dari sang surya. Kuhentikan langkah ini sesaat. Tungkai yang lemas, semakin lunglai saat menjejak di pelataran kamadhatu. Sepasang netra ini nanar memindai. Bentangan relief dan barisan arca memaksaku berputar di lorong waktu, lalu terjebak pada suatu masa.
“Orang pincang mau naik ke puncak Borobudur? Yang benar saja.”
Sepenggal asa terbang begitu saja ketika gelombang bunyi menyiarkan nada miring dari bibir-bibir yang tak pernah mengenal santun. Beribu pisau tak hanya mengiris hati, tapi juga membelah seluruh tubuh.
“Pegang tanganku,” ujar seorang laki-laki dari arah berlawanan, saat tungkai tak tahu diri ini membuatku terjerembab.
Aku menggeleng. Si pecundang terlalu yakin dapat melakukannya tanpa bantuan.
Ketika aku terjatuh untuk kali kedua, suara-suara sumbang itu riuh lagi.
“Jangan pedulikan!” wajah itu mengeras memandangi pemilik suara sumbang, tapi melembut saat menatapku.
Kalbuku menghangat. Senyumnya merekah, membentur sanubariku. Dia tidak seperti yang lain.
“Aku Sena. Kamu ingin ke atas?” frekuensi rendah itu memupuk kepercayaan diri dan membuatku menyambut ulurannya.
Aku menuai kedamaian di sisinya. Pertemuan tanpa sengaja itu mencipta ruang khusus yang merekatkan hati kami. Bersamanya, asaku mendaki hingga puncak Mahakarya Abadi ini, tersampaikan. Bahkan, bangunan ini menjadi tempat bermain kami.
Saat mentari belum tinggi benar, kami merencah lorong-lorong panjang penuh relief dan arca. Tatihku tak membuat Sena malu berada di sampingku. Perasaanku melambung. Sena akan menuntunku rehat, ketika penat menerpa dan tungkai ini tak lagi bisa diajak berkompromi.
“Kecelakaan, Sena. Setahun yang lalu,” desahku, ketika mata Sena menginginkan aku bercerita perihal penopang yang tak lumrah ini.
Sena bergeming sesaat, lalu mengangguk tanpa suara. Bibirnya menyungging senyum. Sorot matanya menguatkanku. Di bawah sinar matahari yang menyengat, Sena berkata lirih.
“Tidak ada sebutir debu pun yang terbang, tanpa seizinNya.”
Laki-laki berambut cokelat pekat dengan mata bak manik hitam itu bukan sekadar sahabat. Dia adalah kaki yang selalu membawaku menuju bidang yang lebih jauh. Mata yang selalu mendedahkan bahwa kekurangan fisik tak perlu ditangisi. Tangan yang selalu terulur setiap kali kubutuhkan. Dan, cahaya yang mengirimkan pendarnya pada hatiku yang penuh jelaga.
Bersamanya, duniaku semakin luas. Borobudur yang semula hampir mustahil kujelajahi, kini setiap sudutnya telah memberi cerita tersendiri.
“Area yang paling bawah ini dinamakan kamadhatu. Tempat paling rendah dalam kehidupan manusia, di mana nafsu masih menjadi raja.”
Bibirku membentuk huruf o. Kepalaku mengangguk. Usia Sena hanya satu tahun lebih tua dariku, tapi benaknya luas. Untaian aksaranya dalam dan menyejukkan.
“Nafsu untuk memiliki segalanya. Nafsu ingin mengalahkan orang lain dalam hal apa pun, dengan cara apa pun, walau harus merendahkan orang lain,” Sena berbicara di antara arca dan stupa. Sinar matahari menyirami wajahnya, juga wajahku yang duduk di sebelahnya.
Sesekali, dia memicingkan mata, melindungi retinanya dari sengatan raja siang. Dan, aku menikmatinya. Menikmati frekuensi rendah yang keluar dari pita suaranya. Menikmati caranya memandangi siluet Bukit Menoreh dari puncak Borobudur. Juga, menikmati kata-katanya.
“Nafsu. Bahkan, aku tak tahu apakah masih menyimpan keinginan untuk menjadi pelukis atau tidak. Aku hanya ingin kakiku yang utuh, kembali lagi,” mataku memburam. Tirai bening menutupi pandangan.
“Punya keinginan mengembalikan waktu demi mendapatkan sesuatu yang sudah hilang, sama saja dengan menuruti hawa nafsu.”
Aku melengak. Kuhujani Sena dengan ribuan anak panah yang melesat lewat tatapan bola mataku. Dia bergeming.
“Aku bersedia mempertaruhkan seluruh yang kupunya, asalkan kakiku kembali,” leherku nyaris tercekik saat mengucapkannya. Bagaimana bisa Sena menganggapku menghamba hawa nafsu?
“Untuk apa?”
Gelombang bunyi penuh ketenangan yang biasanya amat kusukai, kini membuatku meradang.
“Untuk apa? Kamu tidak tahu betapa sengsaranya aku dengan kaki seperti ini, Sena. Orang normal seperti kamu tidak pernah tahu rasanya menjadi cacat!” suaraku melengking.
“Itu karena kamu memandangnya dari sisi yang salah,” laki-laki itu balas menatapku.
“Maksudmu?” alisku bertaut.
“Kamu selalu berpikir bahwa orang cacat tak bisa apa-apa. Kamu terlalu mengasihani dirimu.”
Darahku mendidih. Amarah telah sampai di puncaknya. Adu mulut tak terelakkan. Aku dengan intonasi puluhan oktaf, Sena dengan kata-kata sedingin salju. Emosi membuat aku dan Sena bak kucing dan tikus selama berhari-hari.
Pagi itu, setahun yang lalu, tirai bening seperti tumpah dari langit. Semakin lama semakin pekat. Cakrawala bagai terselubung arang, menciptakan jalan licin berkilauan. Ibu melarangku mengendarai motor. Aku yang bangun saat mentari mulai tinggi dan harus segera tiba di sekolah, tak mungkin menuruti kata-kata ibu.
Tak ada firasat apa pun yang membisikkan sesuatu. Petaka itu datang begitu saja. Saat menurunkan kecepatan dan hendak berbelok ke gerbang sekolah, sebuah roda raksasa hitam menghantam dengan kecepatan tinggi. Aku terlempar sesaat, lalu mendarat di kubus hampa udara yang penuh balok. Benda-benda itu seakan menjepitku tanpa ampun. Dan, semuanya menjadi gelap.
“Kakikuuu! Kakiii!” hanya jerit tak berkesudahan yang dapat terlontar dari pita suara, begitu aku mendapati tungkai ini tak lagi utuh. Ruangan serbaputih menjadi saksi dari setiap gelombang pasang yang menggulung masa depanku, dan membuatku histeris.
Pemandangan berupa daging tak berbentuk di tubuh bagian bawah, membenamkanku pada lorong sempit. Aku tercekik di dalamnya. Ingin rasanya melesakkan tubuh lebih dalam ke dasar bumi, agar napasku terhenti dan tak usah melihat lagi kaki yang tak lazim ini.
Mulai detik itu, hidupku tak sama lagi. Setiap saat seakan ribuan ton baja menggayuti hati. Balok-balok tinggi besar seperti menghadang di muka, memisahkanku dengan masa depan. Segalanya menjadi jauh lebih berat. Purnama telah berganti beberapa kali, tapi aku belum dapat menerima keadaan yang menyiksa ini. Aku harus memikul cemoohan, akibat kesalahan yang tidak kuperbuat. Aku menjauh pada segala hal, termasuk kanvas, palet, dan cat-cat minyak yang sebelumnya menjadi sahabat terbaik.
“Kasihan kanvas-kanvas itu dibiarkan kosong. Dia merindukan goresan kuas dari pemiliknya.”
Sena merajut asa dan mengirimkan benang-benangnya ke dalam kalbuku, demi mengembalikan semangatku untuk melukis. Dia membawakan gulungan kanvas, menggelarnya, dan menyiapkan tempat duduk nyaman di salah satu sudut halaman Borobudur.
“Kamu lihat kanvas kosong ini? Benda ini seperti hati manusia. Hanya pemiliknya yang dapat menentukan, apakah akan diisi dengan sesuatu yang berwarna-warni, atau dibiarkan tanpa warna.”
Aksara dingin itu menyesap ke dalam hati, menyejukkan seluruh jiwa.
“Ayolah, Sekar. Kamu tidak dapat membohongi hatimu terus menerus. Mulailah melukis lagi. Itu yang sebenarnya kamu inginkan, bukan?”
Aku menjelma menjadi arca tanpa gerak. Tapi, Sena benar. Jika aku tidak melepas semua jerat yang menjebak, bukan hanya kakiku yang kehilangan fungsi, tapi juga hatiku.
“Kamu tidak ingin kehilangan masa depan, kan?”
Senyum itu yang memendarkan kembali serat-serat cahaya yang sudah mati, di jiwa ini. Satu serat mulai hidup. Ketika seluruh serat telah bercahaya lagi, untuk pertama kalinya sejak peristiwa kelabu itu, senyumku merekah.
Kanvas hampa itu kembali terisi. Lembar putih polos, mulai berpelangi. Pagi makin berseri. Kicau burung terasa lebih merdu. Sorot Sang Raja Siang terasa lebih lembut dan hangat. Gelombang bunyi yang menggelontorkan suara sumbang itu, tak lagi dapat menembus gendang telingaku. Bukan jagat raya yang menerimaku, tapi akulah yang telah mengizinkan semuanya kembali.
“Kita sudah sampai lantai ketujuh, Sekar. Area ini dan dua area di atasnya disebut rupadhatu. Jika sudah sampai pada tahapan ini, manusia masih berwujud, tapi sudah tidak lagi mementingkan hawa nafsu. Sudah ikhlas pada semua yang digariskan,” wajah Sena berseri-seri.
Retinaku memindai tungkai, lalu berpindah ke manik hitam milik Sena. Kurasakan bibirku tertarik ke atas. Relief, arca, dan stupa yang bertebaran, menjadi saksi kembalinya asa.
“Mulai detik ini, kamu tidak boleh lagi menyesali yang terjadi. Janji?”
Aku melambung karena sorot matanya. Hatiku hangat karena kata-katanya. Hidupku telah kembali. Ya, aku mau berjanji.
Perlahan, aku mengangguk.
Kami lanjut merencah seluruh lorong Borobudur. Pandangan-pandangan aneh dari mata tak tahu diri, masih tertuju ke tungkaiku. Tapi, aku tak peduli. Cagak yang terlanjur koyak ini tak akan kuizinkan mengoyak masa depanku.
“Arupadhatu,” ujar Sena. Napasnya tak beraturan setelah mendaki hingga lantai kesepuluh, sambil menuntun sahabat pemilik tungkai istimewa.
Aku tersenyum sambil menyeka kristal-kristal peluh di dahi.
“Kita sudah sampai nirwana, dunia terakhir yang tidak mengizinkan hawa nafsu mengikat apa pun. Di sini, manusia sudah tidak berwujud lagi. Tapi, manusia bisa merasakan kebahagiaan karena tidak lagi dipengaruhi keinginan. Inilah pencapaian terakhir.”
Saat melontarkan kata-kata itu, manik hitam milik Sena meredup. Sorotnya teduh, bermandikan kearifan yang mencerminkan isi hatinya.
“Di titik inilah tugas sebagai manusia telah usai.”
Aku mengangguk, menangkap semua makna, menyimpan ke dalam benak, dan mencerna semua kata-katanya. Dalam akalku, kata-kata itu menyimpan berjuta misteri yang penuh arti.
Aku dan Sena menjadikan stupa terbesar di Mahakarya Abadi ini sebagai sandaran. Di lantai tertinggi ini, tidak ada lagi relief yang bertaburan. Dinding candi tampil tanpa ornamen, pertanda manusia tak lagi memerlukan hiasan kasat mata.
“Pelajaran telah selesai, Sekar. Tidak ada lagi yang harus kusampaikan padamu.”
Benar. Sena telah menyampaikan semua ilmu. Dan, dia berhasil. Kepercayaan diriku telah pulih. Kekecewaanku sirna. Rasa rendah diri telah mengepakkan sayap, entah ke mana. Rasa malu, tak bersisa lagi di hatiku.
Aku ingin berada di zona ini, selamanya. Rasa terima kasihku pada Sena, kutuangkan lewat lukisan. Kurekam tawanya di benak, lalu kuukir di atas kanvas. Inilah hadiah kecil, wujud kebahagiaanku.
Sayang, Sena tak tahu terima kasih. Pada senja dengan cakrawala keemasan, tiba-tiba petir menggelegar di dalam kepalaku. Sena telah merebut segalanya. Seluruh asa yang telah tertanam di jiwaku, tercerabut berikut akar-akarnya. Laki-laki berambut cokelat dan bermata manik hitam itu, mengambil kembali leret-leret cahaya yang selama ini menjadi pelita dalam hidupku. Penyesalan menjalar di seluruh urat nadiku.
Aku bersimpuh di sisi pusara. Tenggorokanku tercekat. Air mata telah beku. Nurani menjelma menjadi ruang hampa yang siap menggelontorkan keputusasaan. Gunungan lempung di hadapanku, lebih berhak menyimpan jasad Sena.
Balok-balok kayu hitam pekat itu menghimpitku kembali. Empedu yang kutelan saat roda raksasa itu menghantamku, tak sepahit saat aku harus mengikhlaskan Sena pergi. Lagi-lagi, roda-roda gila menjarah nyawa di lintasan. Kini, aku bukan hanya kehilangan sepasang tungkai, tapi juga mata, tangan, hati, dan seluruh jiwaku.
“Sena … selamat jalan ke nirwana,” tulang belulang seakan terbang dari ragaku. Andai bisa, ingin kutukar semua yang kumiliki, untuk mendapatkan Sena kembali.
Oh, tidak! Aku tidak ingin kerja keras Sena sia-sia. Aku harus bangkit dari area kamadhatu, untuk mencapai nirwana. Seperti Sena.
Raja siang menancapkan sengatnya ke jagat. Stupa-stupa berleret menantang bumantara, bermandikan pendar yang tersorot kuat. Kuhentikan langkah ini sesaat. Tungkai yang lemas, semakin lunglai saat menjejak di pelataran kamadhatu. Sepasang netra ini nanar memindai. Bentangan relief dan barisan arca tak akan mengembalikan Sena ke sini.
Kuseret tungkai ini menyusuri lorong-lorong rupadhatu. Kuraba liuk-liuk relief yang membentuk cerita. Arca-arca masih tegak di tempatnya. Bayangan Sena muncul di antaranya. Aku tertegun. Bayangan itu tersenyum, lalu menyublim bersama partikel di awang-awang.
Aku tertatih meniti jenjang, bersusah payah hingga zona arupadhatu. Kuhujani stupa besar itu dengan kekaguman tak terbatas.
“Sena, aku sudah sampai di arupadhatu. Aku tidak akan lagi menangisi kekuranganku. Juga kepergianmu,” bisikku.
Kelegaan merajai sanubari. Tepat ketika akan memutar tubuh, sebuah kata menjerat gendang telinga.
“Sena anak baik.”
Aku menoleh. Seorang laki-laki duduk di undakan stupa. Dia memandang lurus di balik lensa berbingkai gelap. Tangannya memegang buku yang terbuka.
Terseok, aku menghampiri. Tuturku terucap.
“Kamu kenal Sena?”
Laki-laki itu tetap memandang lurus, seakan aku tak ada di sampingnya.
“Dia adalah mataku. Mata kepala, sekaligus mata hati. Berkat anak itu, aku berani menerima diri sendiri,” senyum laki-laki itu mengembang, dengan posisi arah pandang yang tak berubah.
“Maksudmu?” tanda tanya membentang di langit-langit, tepat di atas kepalaku.
“Kenalkan. Namaku Arya. Sejak Sena pergi, namanya kububuhkan di belakang namaku. Panggil aku Aryasena,” dengan posisi kepala tetap ke depan, laki-laki itu melepas kacamatanya.
Jiwaku seakan terlontar jauh ke dirgantara saat melihat sesuatu di balik lensa gelap itu. Rongga yang seharusnya berisi bola dengan rangkaian retina, pupil, dan serat-serat penjerat, tidak kutemukan. Sebagai gantinya, kudapati ruang kosong dengan kelopak terkatup.
Sekilas, netraku menangkap sebaran titik di buku yang terbuka di tangannya. Titik-titik itu membentuk jalinan kata dan bersatu menjadi kalimat. Naluriku menemukan jawaban.
Braille.
Leave a Reply