Ruang Publik KBR yang bekerja sama dengan NLR Indonesia mengadakan talkshow lagi tentang kusta. Kali ini tema khususnya adalah Pendidikan Bagi Anak Disabilitas dan Kusta. Saat menyimak talkshow ini saya baru menyadari, anak disabilitas akibat kusta bagaimana nasibnya, ya?
Pada talkshow kali ini ada tiga narasumber. Kita simak penjelasan para narasumber, yuk!
Anselmus Gabies Kartono dari Yayasan Kita Juga (Sankita)
Bapak Anselmus adalah perwakilan dari Sankita. Sankita yang berlokasi di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, didirikan tahun 2007. Sepuluh tahun kemudian, yaitu 2017, barulah resmi menjadi yayasan.
Fokus utama Sankita adalah mempromosikan pendidikan inklusi di daerah tersebut. Sebab, di sini banyak anak berkebutuhan khusus yang putus sekolah. Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang menerima anak berkebutuhan khusus. Sekolah yang dipilih adalah SDN Rangga Watu.
Menurut data dari WHO, Indonesia masih memiliki kusta dengan kasus baru, sebesar 8 persen, dan berada di nomor 3 dunia. Jumlah ini terbilang besar karena ada 9.000 kasus baru kusta, termasuk pada anak. Banyak juga, ya. Tadinya saya kira Indonesia sudah bebas kusta. Ternyata masih banyak.
Anak berkebutuhan khusus penyandang disabilitas yang bersekolah di SDN Rangga Watu ini sebagian besar pernah mengidap kusta. Betul, disabilitas yang mereka alami adalah akibat kusta.
Pak Anselmus menginisiasi Sankita berbekal dari rasa kemanusiaan yang tinggi. Beliau banyak melakukan pendampingan dengan menghadiri desa-desa di daerah tersebut. Pada saat itulah beliau melihat banyak disabilitas yang putus sekolah. Ada yang tidak mau sekolah karena malu, ada juga yang orangtuanya memang tidak mendaftarkan sekolah.
Rupanya menyekolahkan anak disabilitas karena kusta, banyak tantangannya. Tantangan paling utama adalah anak-anak tersebut tertekan oleh stigma masyarakat. Tantangan lain, sekolah khusus untuk disabilitas (SLB), lokasinya jauh dan hampir tidak terjangkau. Selain itu, masih banyak orangtua yang kurang kesadarannya untuk menyekolahkan anak, serta kurangnya sarana, prasarana, serta tenaga pendidik untuk penyandang disabilitas.
Melihat kenyataan ini, Bapak Anselmus terus menerus berkampanye tentang pendidikan inklusif, agar anak-anak itu bisa mendapat pendidikan.
Fransiskus Borgias Patut, Kepala Sekolah SDN Rangga Watu, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur
Sejalan dengan Bapak Anselmus, Bapak Frans selaku Kepala Sekolah SDN Rangga Watu juga mengatakan bahwa di daerah Manggarai Barat masih jarang sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Padahal, hampir setiap daerah di sini ada anak disabilitas yang usianya sudah masuk usia sekolah.
Padahal, menurut Bapak Frans, anak-anak tersebut berhak mendapatkan pendidikan layak. Mereka adalah generasi penerus, yang kelas akan membawa daerah ini menjadi lebih maju. Pemenuhan kebutuhan anak-anak akan pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak.
Untuk itulah Bapak Frans setuju berkolaborasi dengan Bapak Anselmus dari Sankita, untuk menjadikan SDN Rangga Watu sebagai sekolah inklusi. Sudah ada tujuh anak disabilitas kusta yang bersekolah di sini. Pada awalnya masih ada diskriminasi dari anak-anak yang bukan penyandang disabilitas kepada anak disabilitas.
Bapak Frans dan Bapak Anselmus pun berbagai peran. Pak Frans mengondisikan agar anak disabilitas bisa mendapatkan pendidikan yang baik, dan Pak Anselmus menyiapkan tenaga pendidik khusus disabilitas. Caranya adalah dengan mengadakan pelatihan-pelatihan agar tercipta guru pendamping yang bagus untuk anak-anak disabilitas.
Selain untuk memberikan pengetahuan pada anak disabilitas, adanya guru pendamping yang terlatih dapat mencegah dan menghapuskan diskriminasi di sekolah inklusi ini.
Ignas Carly
Selain Bapak Anselmus dan Bapak Frans, ada Ignas Carly yang menjadi narasumber acara ini. Ignas adalah murid kelas 5 di SDN Rangga Watu, Manggarai Barat. Ignas juga salah satu anak disabilitas yang bersekolah di sini.
Ignas menceritakan, awalnya di sini terjadi diskriminasi yang dilakukan oleh anak-anak yang bukan penyandang disabilitas kepada anak disabilitas kusta. Mereka masih beradaptasi dengan sistem inklusi seperti ini. Ignas pun tidak pernah menanggapi diskriminasi tersebut dan tetap fokus belajar.
Lama kelamaan, berkat adanya guru pendamping yang terlatih, diskriminasi itu pun hilang. Semua murid bisa menerima murid disabilitas kusta dengan baik.
Semua anak, termasuk penyandang disabilitas, berhak mendapatkan ilmu. Tidak ada diskriminasi atau perbedaan soal pendidikan, bagi anak-anak usia sekolah. Oleh karena itu, semua pihak harus saling membantu agar terwujud pendidikan layak bagi semua anak. Pemerintah, masyarakat, orangtua, dan semua pihak terkait, harus bergandeng tangan demi terciptanya generasi penerus, baik yang menyandang disabilitas, maupun tidak.
Kalau teman-teman juga ingin menyimak talkshow ini, masih bisa, kok. Langsung saja buka channel YouTube Berita KBR di https://www.youtube.com/watch?v=VAoemQmPseU
Leave a Reply