
Aku memanggilnya mamak. Bukan mama (tanpa ‘k’), juga bukan mamah (dengan ‘h’). Kalau aku bercerita tentang Mamak, pasti kamu akan menghujatku. Namun, biarlah. Akan kuceritakan semuanya di sini.
Aku benci Mamak. Hidupnya selalu penuh kesulitan. Apa-apa dibuat sulit. Apa-apa tidak diambil mudahnya. Contohnya? Banyak.
Setiap salat, Mamak tidak mau memakai mukena barunya. Dia setia —bahkan terlalu setia— pada mukena butut yang sudah dimiliki sejak aku balita. Mukena itu sudah lusuh. Modelnya sudah kuno. Warnanya sudah kusam karena kainnya sudah usang. Padahal Mamak punya mukena baru. Kalau kutanya mengapa selalu memakai mukena jeleknya, Mamak hanya menjawab: agar mukena barunya awet. Duh, aku kesal.
Saat kuajak ke toko pakaian, Mamak menggeleng ketika kusodorkan baju yang menurutku cocok untuknya. Kupikir Mamak tidak suka dengan modelnya. Namun, ketika kutawarkan model lain, Mamak kembali menggeleng. Begitu juga saat kusodorkan warna dan corak lain. Lagi-lagi Mamak menggeleng. Aku jengkel. Seleranya susah amat, sih, gerutuku.
Suatu hari Mamak menginginkan guci untuk pajangan. Pergilah kami ke toko khusus penjual guci. Mamak memilih-milih. Aku mendengarkan Mamak menawar. Setelah itu Mamak pindah ke pedagang sebelahnya. Saat kutanya mengapa pindah, Mamak menjawab, “Harganya kemahalan lima ribu rupiah. Aku geleng-geleng. Hanya lima ribu rupiah, mengapa harus pindah ke pedagang lain yang artinya harus menawar dari awal? Buang-buang energi saja, pikirku.
Mamak terus berpindah dari pedagang yang satu ke pedagang yang lain. Dari lapak yang satu ke lapak yang lain. Dengan sekuat tenaga, Mamak menawar harga guci itu habis-habisan. Hampir seluruh penjual guci kami datangi. Padahal hanya membeli satu guci. Akhirnya Mamak berhasil mendapatkan guci yang harganya sepuluh ribu rupiah lebih murah dari penjual guci pertama. Fiyuhhh … Sudah harganya tidak jauh beda, kaki pegal pula karena harus berkeliling. Saat itu aku berpikir betapa iritnya ibuku ini.
Mamak juga ‘susah’ dalam hal masak-memasak. Mamak tidak pernah mau memasak kalau bumbunya ada yang kurang. Meski hanya kurang satu ruas jahe atau kunyit, Mamak akan menyuruh aku atau adik-adikku keliling pasar. Kalau perlu, pindah ke pasar lain jika di pasar pertama bumbu itu tidak berhasil didapat. Kata Mamak, kalau masakan kurang satu bumbu saja, rasanya tidak enak. Ah, nggak segitunya, kali, pikirku waktu itu.
Mamak “mempersulit” hidupnya lagi saat dia berbelanja. Mamak sangat kuat menenteng kantung plastik yang penuh belanjaan, di kedua tangannya. Aku yang melihat tangan Mamak sampai keluar urat-uratnya akibat mengangkat belanjaan yang berat —dan membawanya dengan berjalan kaki sejauh hampir satu km —, geleng-geleng . Padahal di depan sana banyak ojek yang siap mengantar. Ongkosnya murah, kok. Hanya Rp. 5.000 sekali antar. Ketika kutanya mengapa Mamak tidak naik ojek, jawabnya: nggak, ah, sayang uangnya. Ya ampuun ….
Aku benci pada sikap Mamak. Mengapa harus bersusah payah membawa beban berat kalau ada ojek? Mengapa harus kelelahan mencari bumbu yang langka kalau bumbu siap pakai bisa didapat dengan mudah? Mengapa harus menawar harga sekuat tenaga kalau harga yang didapat hanya selisih lima hingga sepuluh ribu rupiah?
Tiba-tiba dunia berputar. Roda kehidupan seperti terbalik. Mamak yang kuat berkeliling toko untuk membeli satu buah guci, yang tahan berjam-jam keliling pasar hanya untuk mencari satu bumbu, yang sanggup berjalan kaki ratusan meter sambil menenteng belanjaan berat, kini tidak berdaya.
Jangankan keliling toko untuk mencari guci, berdiri saja Mamak tidak mampu. Jangankan keliling pasar selama berjam-jam, bangun dari tempat duduk saja Mamak harus digandeng. Jangankan berjalan kaki ratusan meter sambil membawa beban, melangkah ke kamar mandi saja Mamak harus dibantu. Ya, kanker paru-paru merebut kesehatan dan kekuatan mamak.
Aku semakin membenci Mamak. Kali ini disertai penyesalan. Inilah akibatnya kalau hidup terlalu ‘susah’. Mamak terlalu idealis. Terlalu mengikuti ‘aturan’. Aku marah besar. Penyesalanku tidak pernah berhenti. Mengapa dulu, sewaktu Mamak masih sehat, aku tidak melarang keras Mamak melakukan hal-hal yang terlalu membuatnya lelah?
Mamak yang selama ini sigap, kini lemah tak berdaya. Namun, saat tidak berdaya itulah aku mendapatkan jawaban atas segalanya.
Aku duduk di damping Mamak. Dalam suasana yang tenang, Mamak memberi tahu sesuatu yang membuatku terkesiap. Selama ini Mamak sengaja memangkas segala kesenangan dan kemudahan hidupnya, agar kehidupan lain dapat terus berjalan.
Mamak sengaja memakai mukena lama, agar mukena baru bisa tahan lama. Dengan begitu, uang untuk membeli mukena baru dapat digunakan untuk membeli seragam sekolah adikku. Mamak ikhlas berjalan jauh dengan beban berat, agar uang yang seharusnya untuk ongkos ojek, esok harinya dapat digunakan untuk membeli sarapan aku dan adik-adik.
Mamak sengaja menolak baju-baju yang aku tawarkan di toko, agar aku bisa punya tabungan. Mamak sengaja gigih menawar barang di pasar —meskipun hanya selisih lima hingga sepuluh ribu rupiah— agar dapat mengumpulkan uang untuk membayar tagihan listrik, membayar uang bulanan sekolah, dan untuk melanjutkan hidup.
Mamak juga sengaja menjelajahi pasar mencari bumbu dapur agar dapat menghidangkan makanan paling lezat untuk kami sekeluarga.
Mamak juga sengaja menjelajahi pasar mencari bumbu dapur agar dapat menghidangkan makanan paling lezat untuk kami sekeluarga.
Sekuat tenaga kutahan agar bendungan di mataku tidak jebol. Betapa bodohnya aku. Betapa salahnya aku menilai Mamak. Betapa aku tidak mengenal orang yang sehari-hari berhadapan denganku.
Rasa benciku pada sikap Mamak, berganti menjadi benci pada diri sendiri. Penyesalanku semakin menjadi. Kalau saja aku tahu dari dulu, aku tidak akan membiarkan Mamak berpikir dan bersikap terlalu keras pada diri sendiri. Sikap yang membuatnya terserang penyakit berat. Akhirnya, Mamak berpulang di usia yang masih terbilang muda, 44 tahun.
Kalau kamu ingin marah padaku, silakan. Aku ikhlas. Kesalahanku memang fatal: membenci sikap Mamak tanpa sedikit pun mencari tahu alasan dia berbuat seperti itu. Ibarat lilin, Mamak rela ‘terbakar’ demi menerangi sekitarnya.
Note : dalam rangka mengikuti Kontes Cerita Ibu Tercinta (Please Look After Mom)-Gramedia
Nuniiikkkk, jadi pengen nangiiiisss bacanyaa huhuhu :(((((
Cup cup Gege …. Nanti aku jadi ikutan nangis lagi. Hehehehe 😀
simple end suit dear… love it, 🙂
Mawar, lo harus coba ikut-ikut nulis yang kayak gini, Bu. Sebagai permulaan kegiatan menulis lo 😀
Jujur… saya gerimis nih baca postingan ini. Baguuuusss banget!!!#ambiltissue
Eh, Mas Iman. Hehehe, ma kasih banget, Mas. Jadi malu, nih 😀
sedih 🙁
Mbak Mirma, hehehe
huaaaaaa….T_T
Kenapa, Zee? 😛
Keren banget Nik, pantas bisa menang:D
Hihihihi, ma kasih, Mbak Rini. Malu ahh 😛
Co cweet. You mom must be so proud of you *_^
Hehehehe, Ratih bisa aja 😛